Oleh : Dr.K.Suheimi
Banyak
orang berumah tangga, dan banyak pula yang berantakkan
rumah
tangganya. Padahal dari awal rumah tangga itu didirikan
dengan
penuh harapan dan mimpi-mimpi yang indah dan tekad ingin
bahagia.
Masing-masing pasangan bertekad membahagiakan pasan
gannya.
Didepan saksi berjanji akan sehidup dan semati, selalu
bersama hanya
maut yang akan memisahkan kita. Sukamu sukaku jua.
Ceriamu
ceriaku juga dan sakitmu adalah sakitku. Segunung harapan
untuk menjalin
cinta dan kemesraan. Namun tak semua harapan jadi
kenyataan.
Dalam mengharungi samudra hidup banyak hempasan gelom
bang, dalam
perjalan banyak onak dan duri. Saya
terkesan dengan
beberapa
episode kehidupan yang dijalani oleh pasangan-pasangan
ini. Dan
episode=episode itulah yang terbaca di layar monitor
komputer saya
pagi ini ketika saya membuka jalur Isnet atau Islam
internet.
Saya rasa ini sangat kita perlukan. Saya pelajari dan
ingin
saya sampaikan pada pembaca yang budiman. Tulisan ini di
bagi dua
HARAPAN DAN KENYATAAN.
EPISODE 1
Saat
Fulanah masih seorang gadis, yang ada di benaknya dan yang
kemudian
menjadi tekadnya adalah keinginan menjadi isteri shali
hat yang
taat dan selalu tersenyum manis. Pendeknya, ingin mem
berikan
yang terbaik bagi suaminya kelak sebagai jalan pintas
menuju
surga. Tekad itu diperolehnya setelah mengikuti berbagai
'tabligh',
ceramah, dan seminar keputerian serta membaca sendiri
berbagai
risalah. Bahkan banyak
pula ayat Al-Qur'an dan Hadits
yang
berkaitan dengan hal itu telah dihafalnya,
seperti "Ar
Rijalu
qowwamuna alan nisaa'...","Fasolihatu qonitatu hafizhotu
lilghoibi bima
hafizhallah..." (QS. An-Nisa ayat 34). Juga Hadits
:"Ad
dunya mata', wa khoiru mata'iha al mar'atus
sholihat."
(dunia
adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah isteri
sholihat). Atau,
hadits "Wanita sholihat adalah yang menyenangkan
bila
dipandang, taat bila disuruh dan menjaga apa-apa yang diama
nahkan
padanya. Begitu pula hadits "Jika seorang isteri sholat
lima waktu,
shaum di bulan Ramadhan dan menjaga kehormatan dirin
ya serta
suaminya dalam keadaan ridha padanya saat ia mati, maka
ia boleh
masuk surga lewat pintu yang mana saja. (HR Ahmad dan
Thabrani).
Hadits yang berat dan seram pun dihafalnya,
"Jika
manusia
boleh menyembah manusia lainnya, maka aku perintahkan
isteri
menyembah suaminya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi,Ibnu Majah,
dan Ibnu
Hibban)
Figur isteri yang sholihat, taat, dan setia serta qona'ah seperti
Khadijah
r.a. benar-benar terpatri kuat di benak Fulanah
dan
jelas ingin
ditirunya. Maka, tatkala Allah SWT telah menakdirkan
ia mendapat
jodoh seorang Muslim yang sholih, 'alim dan berkomit
men penuh pada
Islam, Fulanah pun melangkah ke gerbang pernikahan
dengan
mantap. Begitu khidmat dan khusyu karena kesadaran penuh
untuk
beribadah dan menjadikan jihad dan syahid sebagai tujuan
hidup berumah
tangga.
EPISODE 2
Tatkala
Fulan masih menjadi seorang jejaka, ia sering membatin,
berangan-angan,
dan bercita-cita membentuk rumah tangga Islami
dengan seorang
Muslimah sholihat yang menyejukkan hati dan mata.
Alangkah
bahagianya menjadi seorang suami dan seorang
"qowwam"
yang
"qooimin bi nafsihi wa muuqimun lil ghoirihi" (tegak
atas
dirinya
dan mampu menegakkan orang lain, terutama isteri
dan
anak-anaknya).
Juga menjadi 'imam yang adil' yang akan memimpin
dan
mengarahkan isteri dan anak-anaknya.
Alangkah
menenangkannya mempunyai seorang isteri yang akan dija
ganya
lahir dan batin, dilindungi dan disayanginya karena
ia
adalah amanah
Allah SWT yang telah dihalalkan baginya dengan dua
kalimat Allah
SWT. Ia bertekad untuk mempergauli isterinya dengan
ma'ruf
(QS An-Nisa:19) dan memperhatikan hadits Rasulullah SAW
tentang
kewajiban-kewajiban seorang suami. "Hanya
laki-laki
mulialah
yang memuliakan wanita." "Yang paling baik di
antara
kamu, wahai
mu'min, adalah yang paling baik perlakuannya terhadap
isterinya.
Dan akulah (Muhammad SAW) yang paling baik perla
kuannya
terhadap isteri-isteriku." "Wanita seperti tulang rusuk
manakala
dibiarkan ia akan tetap bengkok, dan manakala diluruskan
secara paksa
ia akan patah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Fulan
pun bertekad meneladani Rasulullah SAW yang begitu sayang
dan lembut
pada isterinya. Tidak merasa rendah dengan ikut merin
gankan
beban pekerjaan isteri seperti membantu menyapu, menisik
baju dan
sekali-sekali turun ke dapur seperti ucapan Rasulullah
kepada
Bilal :"Hai Bilal, mari bersenang-senang dengan menolong
wanita di
dapur."Karena Rasulullah suka bergurau dan bermain-main
dengan
isteri seperti berlomba lari dengan Aisyah
r.a. (HR
Ahmad),
maka ia pun berkeinginan meniru hal itu serta menyapa
isteri dengan
panggilan lembut 'Dik' atau 'Yang'.
Dengan tekad
yang demikian Fulanah dan Fulan memabangun Mahligai
rumah
tangga. Tapi apakah harapan itu sesuai
dengan kenyataan?.
Insya Allah
minggu depan akan saya coba sambung.
P a d a n
g 22 Juli 1996
ð73
Š
[1]
àà!
K E N Y A T A
A N
xx!
Oleh : Dr.H.K.Suheimi
[1]
Memang
kenyataan sering tak sesua dengan harapan. Lain yang
di
harap lain pul;a yang terjadi. Mimpi-mimpi indah sering berakhir
dengan
kepahitan. Semua ndak mengira, semua ndak
menyangka.
Siapamengira
pasangan yang dari gadis dan bujangnya sudah menja
lin
cinta, lalu jadi berantakkan. Mari kita coba
menyelusuri
tekad
dari Fulanah dan Fulan yang tadinya bertekad
mengayuh
bahtera
mencapai pulau bahagia.
EPISODE-EPISODE
SELANJUTNYA
Fulan dan
Fulanah pun ditakdirkan Allah SWT untuk menikah. Pasan
gan yang
serasi karena sekufu dalam dien, akhlaq, dan komitmen
dengan Islam.
Waktu pun
terus berjalan. Dan walaupun
tekad dan cita-cita terus
membara,
makin banyak hal-hal realistis yang harus
dihadapi.
Sifat,
karakter, pembawaan, selera, dan kegemaran serta perbedaan
latar
belakang keluarga yang semula mudah terjembatani
oleh
kesatuan
iman, cita-cita, dan komitmen ternyata lambat
laun
menjadi
bahan-bahan perselisihan. Pertengkaran memang bumbunya
perkawinan,
tetapi manakala bumbu yang dibubuhkan terlalu banyak,
tentu rasanya
menjadi tajam dan tak enak lagi.
Ternyata,
segala sesuatunya tak seindah bayangan semula. Antara
harapan dan
kenyataan ada terbentang satu jarak. Taman bunga yang
dilalui
ternyata pendek dan singkat saja. Cukup banyak onak dan
duri
siap menghadang. Sehabis meneguk madu, ternyata
"inggu"
yang
pahitpun harus diteguk. Berbagai masalah kehidupan
dalam
perkawinan
harus dihadapi secara realistis oleh pasangan mujahid
dan
mujahidah sekalipun. Allah tak akan begitu saja menurunkan
malaikat-malaikat
untuk menyelesaikan setiap konflik yang dihada
pi.
"Innallaha laa yughoyyiru ma biqoumi hatta yughoyyiru maa bi
anfusihim"
(QS Ar-Raad : 6).
Ada seorang
isteri yang mengeluhkan cara bicara suaminya terutama
jika
marah atau menegur, terdengar begitu 'nyelekit'. Ada pula
suami
yang mengeluh karena dominasi ibu mertua terlalu besar.
à63 ŠPerselisihan dapat timbul karena perbedaan gaya bicara, pola
à63 ŠPerselisihan dapat timbul karena perbedaan gaya bicara, pola
asuh,
dan latar belakang keluarganya.
Kejengkelan juga mulai
timbul
karena ternyata suami bersikap 'cuek', tidak mau
tahu
kerepotan
rumah tangga, karena beranggapan "itu kan memang tugas
isteri."
Sebaliknya, ada suami yang kesal karena isterinya tidak
gesit
dan terampil dalam urusan rumah tangga, maklum sebelumnya
sibuk kuliah
dan jadi 'kutu buku' saja.
Fulan
pun mulai mengeluh. Ternyata isterinya tidak
se-"qonaah"
yang
diduganya, bahkan cenderung menuntut, kurang bersahaja dan
kurang
bersyukur. Fulanah sebaliknya. Ia mengeluh, sang suami
begitu
irit bahkan cenderung kikir, padahal kebutuhan
rumah
tangga dan
anak-anak terus meningkat.
Seorang
sahabat Fulan juga kesal karena isterinya sulit menerima
keadaan
keluarga. Sebab musababnya sih karena perbedaan status
sosial,
ekonomi dan adat istiadat. Kekesalannya bertambah-tambah
karena
dilihatnya sang isteri malas meningkatkan kemampuan intel
ektual,
manajemen rumah tangga, serta kiat-kiat mendidik anak.
Sebaliknya,
sang isteri menuduh suaminya sebagai "anak mama" yang
kurang mandiri
dan tidak memberi perhatian yang cukup pada isteri
dan
anak-anaknya. Belum lagi problem yang akan dihadapi pasangan-
pasangan
muda yang masih tinggal menumpang di rumah orang tua.
Atau di
dalam rumah mereka ikut tinggal kakak-kakak atau adik-
adik ipar.
Kesemua keadaan itu potensial mengundang konflik bila
tidak
bijak-bijak mengaturnya.
Kadang-kadang
semangat seorang Muslimah untuk da'wah keluar rumah
terlalu
berlebihan. Tidak "tawazun". Hal ini dapat
menyebabkan
seorang suami
mengeluh karena terbebani dengan tugas-tugas rumah
tangga yang
seabregabreg dan mengurus anak-anak. Selanjutnya, ada
pula
Muslimah yang terlalu banyak menceritakan kekurangan suami
nya,
kekecewaan-kekecewaannya pada suaminya. Padahal ia sendiri
kurang
instrospeksi bahwa ia sering lupa melihat kebaikan dan
kelebihan
suaminya.
Ada
suami yang begitu "kikir" dalam memuji, kurang
"sense of
humor"
dan "sedikit" berkata lembut pada isteri. Kalau ada kebai
kan
isteri yang dilihatnya, disimpannya dalam hati, tetapi bila
ia
melihat kekurangan segera diutarakannya. Bahkan
ada pula
pasangan
suami-isteri yang memiliki problem "hubungan
intim
suami-isteri".
Mereka merasa tabu untuk membicarakannya secara
terus
terang di antara mereka berdua. Padahal akibatnya menghi
langkan
kesakinahan rumah tangga.
Kalau
mau dideretkan dan diuraikan lagi, pasti daftar konflik
yang
terjadi di antara pasangan suami-isteri muda Muslim
dan
Muslimah
akan lebih panjang lagi.
Memang, persoalan-persoalan
tidak begitu
saja hilang. Rumah tangga tidak pasti akan berjalan
mulus
tanpa konflik hanya dengan kesamaan fikrah dan cita-cita
menegakkan
Islam. Mereka yakni Fulan dan Fulanah cs tetap manu
sia-manusia
biasa yang bisa membuat kekhilafan dan tidak lepas
dari
kekurangan-kekurangan. Dan mereka pun pasti mengalami juga
fluktuasi
iman.
ð73
ð73
Š
Pasangan
yang bijak dan kuat imannya akan mampu istiqomah dan
lebih
punya kemampuan menepis badai dengan menurunkan standar
harapan.
Tidak perlu berharap muluk-muluk seperti ketika masih
gadis atau
jejaka. Karena,ternyata kita pun belum bisa mewujudkan
tekad kita
itu. Sebagai Muslim dan Muslimah hendaknya kita sadar,
tidak mungkin
kita dapat menjadi isteri atau suami yang sempurna
seperti
bidadari atau malaikat. Maka kita pun tentunya
tidak
perlu menuntut
kesempurnaan dari suami atau isteri kita.
"Just the way you are" lah. Kita terima pasangan hidup
kita
seadanya, lengkap
dengan segala kekurangan (asal tidak melanggar
syar'i) dan
kelebihannya. Kita memang berasal dari latar belakang
keluarga,
kebiasaan, dan karakter yang berbeda, walau tentunya
dien, fikrah,
dan cita-cita kita sama. Pada saat
ghirah tinggi,
iman dalam
kondisi puncak,"Prima", semua perbedaan seolah sirna.
Namun pada
saat "ghirah" turun,iman menurun, semua perbedaan itu
menyembul ke
permukaan, mengganjal, mengganggu, dan menyebalkan.
Akibatnya
tidak terwujud sakinah.
Kiat
utama mengatasi permasalahan dalam rumah tangga, tentunya
setelah berdoa
memohon pertolongan Allah SWT dan mau ber "muhasa
bah"
(introspeksi), adalah mengusahakan adanya komunikasi yang
baik dan
terbuka antara suami-isteri. Masalah yang timbul sedapat
mungkin
diselesaikan secara intern dulu di antara suami-isteri
dengan
pembicaraan dari hati ke hati. "Uneg-uneg" yang ada secara
fair dan bijak
diungkapkan.
Selanjutnya,
yang memang bersalah diharapkan tidak segan-segan
mengakui
kesalahan dan meminta maaf. Yang dimintai maaf
juga
segera
mau memaafkan dan tidak mendendam. Masing-masing pihak
berusaha keras
untuk tidak mengadu ke orang tua, atau orang lain.
Jadi
tidak membongkar atau membeberkan aib dan kekurangan suami
atau
isteri. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak mem
banding-bandingkan
suami atau isteri dengan orang lain, karena
itu akan
menyakitkan pasangan hidup kita. Setelah itu, masing-
masing juga
perlu 'waspada' agar tidak terbiasa kikir pujian dan
royal celaan.
Jika
terpaksa, kadang-kadang memang diperlukan bantuan
pihak
ketiga
(tetapi pastikan yang dapat dipercaya keimanan dan akh
laqnya) untuk
membantu melihat permasalahan secara lebih jernih.
Kadang-kadang
"kacamata" yang kita pakai sudah begitu buram se
hingga semua
kebaikan pasangan hidup kita menjadi tidak terlihat,
bahkan yang
terlihat keburukannya saja. Orang lain
yang terper
caya
InsyaAllah akan bisa membantu menggosok 'kacamata'
yang
buram
itu. Alhamdulillah ada yang tertolong
dengan cara ini dan
mengatakan
setelah konflik terselesaikan mereka pun berbaikan
lagi seperti
baru menikah saja ! Layaknya !
Dengan
berikhtiar maksimal, bermujahadah, dan bersandar
pada
Allah
SWT, InsyaAllah kita dapat mengembalikan kesakinahan dan
kebahagiaan
rumah tangga kita, serta kembali bertekad menjadikan
jihad
dan syahid sebagai tujuan kita berumah tangga. Amiin yaa
Robbal'aalamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar