Oleh :Dr.H.K.Suheimi
Aneh tapi
nyata, itulah kesan saya pertama menginjakkan kaki
di kampung "Taratak". Banyak keanehan-keanehan
yang saya temui
sewaktu menelusuri ngarai dan celah yang terbentuk
sepanjang 2,6
km dan lebar 650 meter dan rengkahan-rengkahan tanah. Walaupun
peristiwa itu sudah satu setengah bulan
berlalu, tepatnya pada
tanggal 16 november hari selasa jam
11.30, tapi hari ini satu
Januari 1994, masih banyak orang yang
berziarah kesini, dari
Pakan Baru, Medan dan dari seluruh pelosok Sumbar,
ingin menyak
sikan dan melihat dari dekat peristiwa langka,
aneh tapi nyata.
Pertama
kali saya melangkahkan kaki di desa Taratak, yang
terkesan adalah penduduk disini
sangat ramah, suka menyapa,
senang menerima tamu yang datang, apalagi melihat
saudara-saudara
nya yang datang dari jauh. Taratak yang
terletak di bukit bari
san di lereng bukit yang tinggi dengan
panorama yang sangat
indah, demikian tingginya kampung ini,
sehingga mobil saya me
raung dan terhenti di tengah pendakian. Maestro
yang biasanya tak
pernah mogok mendaki pendakian setinggi
apapun, sekali ini dia
mengalah
tak kuat di pendakian, padahal masih tergolong
baru
dengan mesin 2000 cc, entah karena saya yang
begok jadi sopir,
atau karena baru pertama kali menempuh
kampung Taratak. Nah di
tempat yang setinggi itu pula saya lihat
lereng-lereng bukit yang
terjal, hampir sampai di puncaknya. Kalau kita lepaskan pandangan
mata ke sekeliling bukit yamg melingkari
kampung teratak, yang
nampak adalah sawah melulu. "Penghasilan utama, kami disini
adalah bersawah" kata penduduk disitu.
Biasanya
padi di lereng bukit, adalah padi ladang, Tapi di
Taratak tidak ada padi ladang, semua sawah,
di tempat yang ter
tinggipun tetap berair. "Lalu
dari mana datangnya air?" tanya
saya sedikit heran. "Dari mata air"
jawab pak kadar yang ikut
bersama kami menelusuri tempat
kejadian itu. Dimana-mana
ada
mata air, di bawah pohon, di balik batu,
didekat puncak bukit.
"Lihatlah di Mesjid yang
besar inipun ada mata airnya, jadi
airnya tidak didatangkan dari mana-mana, tapi
langsung membersit
dari dalam tanah", kata pak kendar
sambil menjukkan air di Mes
jid. Memang setelah saya selusuri lereng-lereng
bukit dan berja
lan di pematang sawah. Sawah disini tak
punya tali bandar, tak
ada irigasi, semua air turun dari sawah yang
diatas langsung ke
sawah yang di bawanya, karena di mana-mana ada
mata air. "Kami
disini tak pernah mengalami musim kemarau dan
kekeringan Kata pak
kadar yang susdah berusia 65 tahun itu,
mengenang, bahwa selama
hidupnya yang dia tahu, dari tanah disini
selalu saja ada air.
"Air ini sumber
kehidupan", ulas beliau lagi. "Dia
telah menghi
dupi ratusan jiwa kami
disini", "daerah disini
adalah tempat
yang paling subur. Beras dari sini yang memenuhi
pasar di kubang
dan Payakumbuh" Kenang beliau sambil meremas
bungkalan tanah yang
sudah rengkah, bekas sawah, namun
padinya masih tumbuh. "Kami
tidak mungkin menggarap sawah dan serta
bermukim disini lagi "
keluhnya.
Saya berfikir, mata air kok
terbitnya, di puncak bukit.
Padahal biasanya mata air itu ada di lurah-lurah. Tak mungkin ada
mata air sampai ke tempat ketinggian kalau
tak ada tenaga pendo
rong yang besar dari dalam. Lalu saya
merenung jangan-jangan di
bawah permukan bumi di Taratak ini ada sebuah
danau dengan teka
nan yang tinggi. Jangan-jangan di bawah kulit bumi
di Taratak ini
ada sebuah kawah gunung berapi yang sekarang mulai
aktif. Dugaan
ini saya hubungkan dengan ceritra seorang ibu yang
rumahya telah
di telan bumi. "Mula-mula tanah itu
menggelegak keatas, seperti
ada tenaga yang mendorongnya keatas,
kemudian tanah ditempat
itupun terban. Lalu di tempat tanah
yang rengkah dan terbalik
itu, ada batu-batu hitam". Kata si ibu
sambil mengambil sebuah
bebatuan yang berwarna coklat ke hitaman,
hitam seperti bekas
terbakar, batu itu lunak dan agak ringan. Saya
lihat batu-batuan
seperti ini pulalah yang banyak terdapat
sewaktu saya masuk
kedalam kawah gunung Tangkuban perahu, ah
jangan-jangan di bawah
kampung teratak ini ada sebuah kawah, karena
sekilas kita lihat,
daerah yang tadinya sawah, di tempat itu sekarang
banyak terserak
bebatuan kehitaman seperti habis
terpanggang, jangan-jangan,
sebelumnya dia merupakan tanah liat yang di
panggang di lapisan
kulit bumi, karena tanah liat yang
selesai di panggang juga
seperti bebatuan itu.
Saya ambil sebuah batu-batuan itu
dan saya bawa pulang,
ingin saya, pada
satu kali nanti bertanya pada yang ahlinya.
Apalagi, adanya bunyi-bunyian
yang masih terdengar menderum-derum
dibawah batu di dalam ngalau
"Goa siak" " batu
Mansajik" kata pak
kadar. Mungkin karena bunyi derum-deruman
yang sering terdengar
dari sebuah batu di dalam ngalau atau goa siak, yang
sampai hari
ini masih tampak bergetar dan di bawahnya
terdengar ber derum-
derum. Goa tersebut di beri nama Goa
siak dan dianggap tempat
keramat. Goa atau Ngalau ini, seperti
ngalau-ngalau yang lain
yang
banyak terdapat di bukit-bukit daerah 50 kota atau seperti
di kamang, "dalamnya sepanjang 70 meter",
kata pak Kadar, disini
juga ada batu stalagnit dan stalagtit.
"Dari zaman dahulu" kata
pak kadar, Goa itu diangap sebagai tempat
keramat, orang sering
pergi ber kaul kesana, di hari baik bulan
baik orang membantai
kambing dan makan-makan bersama di ngalau.
Tapi akhir-akhir ini
tidak dilakukan lagi karena dianggap sisa-sisa
dari ajaran Hindu.
"Tapi yang anehnya", Tukas
pak kadar lagi, beberapa hari yang
lalu seekor induk sapi yang baru saja melahirkan
anak, di pautkan
orang di dekat sawah, kebetulan saja, di
tanah tempat sapi itu
terpaut, tanahnya rengkah dan sapi
terperosok, tapi karena dia
terikat dan terpaut, sapi itu tak bisa
menyelamatkan diri, se
hingga itulah korban nyawa yang pertama
didaerah ini, yaitu
matinya seekor induk sapi yang baru saja ber anak.
Lalu, kata pak
kadar "Ada pula penduduk yang mengatakan,
karena sudah lama tidak
memotong kambing, lalu tanah ini minta
sapi". Tapi banyak yang
tak percaya, karena itu semua kan
ajaran hindu, sapi itu mati
karena yang empunya mengikat sapi, dan waktu tanah
rengkah tidak
di ketahui oleh pemiliknya, sehingga ikatan sapi
itu menjeratnya
dan mematikannya.
Entahlah
dalam suasana yang demikian banyak saja cerita
yang di coba kaitkan dengan hal yang
bermacam-macam. Cuma yang
saya lihat, adalah sebuah kuburan atau pusara
seorang ulama yang
namanya pak kadar lupa. Ternyata di keliling
pusara itu tanahnya
utuh tidak rusak sedikitpun, bahkan
setetes lumpurpun tidak
mencemari rumput yang tumbuh di sekitar
pusara itu, padahal
tempatnya terletak di sepanjang lukasi yang kena
musibah, bahkan
di dataran yang ke rendahan. Tapi kenapa semua itu
terjadi, saya
ndak tahu, sebagaimana, pak kadar
ndak tahu dan orang-orang
kampungpun banyak yang tak tahu, tapi itulah
yang terjadi, aneh
tapi nyata.
Banyak keanehan yang saya lihat sepanjang
menyelusuri ngarai
yang mulai terbentuk. Saya
awali perjalani menelusuri ngarai itu
dari serumpun batang pisang
yang telah terbawa pindah sejauh 200
meter. Dari rumpun pisang ini, saya lepaskan
pandang kedepan atas
arah Selatan, tampak sebuah celah yang lurus
membelah dari sela
tan ke utara sepanjang 2,6 km dengan
lebar 650 meter, jelas
nampak celah itu mulai dari runtuhan di puncak
bukit dan membelah
sejauh 2,6 km dan berhenti di rumpun
pisang. Waktu saya
tanya
tukang martabak yang berjualan dekat sana,
kenapa rangkahan itu
berhenti di dekat rumpun pisang?. Dengan enteng penjual martabak
ini berkata, mungkin dibawah rumpun pisang
itu ada batu karang
yang besar, yang membendung danau yang terbentuk
di bawah kulit
bumi. Sewaktu turun hujan lebat air danau
itu seakan terbendung
oleh batu karang yang besar, sehingga
rengkahan berhenti pada
ketinggian rumpun pisang. Mulai dari rumpun
pisang itulah kami
selusuri, ngarai yang terbentuk bersama anak-anak,
istri dan
orang tua saya. Orang tua yang sudah
ber umur 68 tahun ini,
memang sering kami bawa kalau pergi raun
sabalik. Hari itu satu
januari 1994, saya lihat beliau begitu kuat dan
begitu berseman
gat, beliau ikut menelusuri ngarai
itu, berjalan di pematang
sawah yang sudah rengkah, Demikian
kuatnya beliau karena rasa
ingin tahu dan ingin menyaksikan sendiri
dari dekat peristiwa
musibah, langka, aneh tapi nyata. Kami selusuri desa-desa Taluak
itiak, Parigi... Sipisang atau dusun harapan, desa
rumpuik saruik
atau Gantiang dan dusun pondam. Keringat
sudah membanjiri tubuh
beliau, mukanya terlihat merah, namun
semangat ibu saya ini
sangat tinggi, sehingga setelah ber jam-jam kami
berjalan, beliau
tidak mengeluh dan tidak mengatakan penat.
Desa-desa
yang saya sebut diatas semuanya terletak diatas
sawah, sedangkan desa-desa sekitarnya
yang terletak di gurun,
boleh di katakan tak ada yang rusak, jadi hampir
semua rumah yang
rusak dan hancur terletak di tengah-tengah
sawah. Lantas pak
Kadar berkata "Sebetulnya" Kata
beliau. Ada petuah orang-orang
tua kita dahulu "jangan membuat rumah di
sawah, karena sawah akan
berubah-rubah dan tanahnya tidak utuh, kalau
mau membuat rumah,
buatlah di gurun, sawah adalah tempat
mencari makan, sumber
ekonomi dan gurun adalah tempat istirahat
dan tempat tinggal,
buatlah rumah di gurun". begitulah petuah
nenek moyang.
"Lihatlah"
kata pak kadar membawa kami ke
gurun-gurun,
semua rumah yang didirikan di gurun, tidak
satupun yang terkena
musibah, sambil menunjuk rumah-ruamh yang berdiri
kokoh di gurun-
gurun, itu semua, karena mereka ingat akan
petuah orang tua-tua
dahulu. Orang-orang tua dahulu kan banyak
ilmunya, tahu di mana
tanah yang kokoh dan dimana pula tanah yang
longgar, mana tempat
berusaha dan mana pula tempat ber domisili".
Kami diantar kemana-mana oleh pak
Kadar. "Coba lihat dan
perhatikan batang dadok yang besar ini
kata Pak Kadar "Batang
dadok ini sebelum peristiwa 16 november itu
tumbuh di atas sana
kata beliau sambil menunjuk satu tempat yang
jaraknya 400 meter
sebelah selatan. Jadi berarti batang dadok itu selama
peristiwa
telah tergeser sejauh 400 meter, tapi dia
tetap berdiri dan dia
tetap hidup, batangnya dan dahannya masih berduri,
dia belum mau
dan tak hendak mati. Kami berhenti sejenak
berteduh di bawah
pohon
dadok yang rimbun. "Aneh tapi nyata" ciloteh kami lagi.
Ini
perlu di tulis dan perlu di beri tahu semua orang agar
mereka juga melihat ke anehan alam dan
kekuasaan Tuhan. Saya
tatap juga tempat itu lalu, dari mulut saya
terlonacat kata-kata
"Subhanallah" Maha suci
Allah yang menjadikan semua itu dan
berbuat sekehendaknya. Kami langkahi juga
rengkahan demi rengka
han. Kami tuju Posko dan kami capai Mesjid.
Di
posko terpampang gambar-dan foto daerah yang di timpa
musibah. Di depan sebuah mesjid foto-foto
rumah yang hancur di
pajang dan di beri keterangan nama
pemiliknya. Salah satu nama
pemilik yang rumahnya sudah datar
dengan tanah tertulis nama
"Suhaimi". Sewaktu membaca nama itu
lantas anak-anak berciloteh,
"rumah papa sudah rata dengan tanah"
Saya renung sebuah nama,
ternyata nama sayapun ada dalam rombongan
orang-orang yang kena
musibah. Saya merenung dan membayangkan
betapa penderitaan yang
dialami oleh sanak saudara yang di
timpa musibah itu.
Betapa
tidak, sewaktu kami sampai ke lokasi dimana 14 buah
rumah sekelompok berdekat-dekatan, ke 14
rumah itu yang paling
parah dan paling hancur. Di bekas onggokkan rumah
itu saya lihat
seorang ibu dengan anaknya sedang mengais-ngais mencari
kalau
masih ada barang-barangnya yang dapat di
selamatkan. Papan-pan,
seng-seng, baju-baju usang yang sudah lusuh
bergelimang lumpur,
atau apa saja yang dapat di kais. Hasil kaisannya
itu di jenjeng
dan di letakkan di pundak dan di bawa ke lereng
bukit yang satun
ya lagi. Waktu saya tanya di mana ibu itu tinggal
setelah rumahn
ya hancur. Beliau menunjuk lereng
bukit, disana tampak gubuk,
gubuk bekas peladang lain yang biasa
digunakan untuk menunggui
ladang. Cukup reot dan cukup jauh gubuk itu
dan demikian kecil
nya. Kesanalah beliau bersama anak-anaknya
mengungsi sambil men
car-cari juga kalau ada hartanya
yang masih bersisa. "Rumah
berikut sawah kami sudah hancur" "Rumah
ndak mungkin ditempati
lagi, sawahpun demikian,tak bisa di olah lagi.
Bagaiman akan ber
sawah, pematangnya saja sudah tak kelihatan
lagi" Yang tinggal
hanya puing-puing dan rengkahan-rengkahan
sawah dan disawah
banyak batu-batu hitam seperti tanah
liat bekas terpanggang.
"Kami hanya menunggu perintah pak
bupati", kemana kata beliau
yang baik, tentu beliau lebih tahu.
Bapak-bapak kami tentu akan
menolong mencarikan tempat yang baik
untuk kami yang di dera
musibah ini. "Kami siap untuk pindah
pak" kata sang ibu yang
menompang di sebuah gubuk di lereng bukit.
Melihat
dan menyaksikan rumah yang hancur, pohon pinang dan
kelapa yang tumbang. Kain baju yang lusuh
berserakkan tertimbun
tanah, atap-atap seng yang berserakkan.
Kandang-kandang ayam yang
patah-patah (ditempat ini banyak penduduk
memelihara ayam ras).
Sepanjang 2,6 km, lebar 650 m kepada kita di
sajikan kehancuran
demi kehancuran, kerusakkan yang
entah pabila akan baiknya,
entahlah.
Menapaki
kehancuran demi kehancuran, kerengkahan demi ker
engkahan, ngarai-ngarai yang terbentuk membuat
hati ini bergim
ing, dan gamang, sementara kata pak kadar
"Batu di batu mansajik
di Goa siak didalam ngalau masih bergetar
dan di bawahnya masih
menderu-deru dan ber derum-derum
bunyinya. Ada apa
disana?,
dibawah kulit bumi? kita ndak pernah tahu, kita
ndak pernah
mengerti, ilmu kita belum sampai kesana,
akankah bencana ini
berulang?, dan kapan?, esok,lusa atau
sebentar lagi?. Akankah
penduduk yang ramah, rajin berusaha,
bekerja dari pagi sampai
malam,
akankah merekamengalaminya lagi?. Hanya Tuhan Yang Tahu.
Salahkah mereka memilih tempat tinggal, salahkah
mereka mencari
penghidupan, salahkah mereka yang di rundung dan
di dera derita.
Saya kira mereka adalah orang-orang yang perlu di
kasihani dan di
berikan lapangan kerja dan perumahan baru. Mereka
penduduk tara
tak adalah orang yang baik, ramah, mudah senyum
dan ulet berusa
ha. Semua ini tercermin dari tegur sapa
mereka. Setiap penduduk
yang saya temui, di warung, di langgar, di Mesjid
di jalanan, di
pinggir sawah, diatas pematang, di
posko semuanya menegur dan
menyapa kita dengan bahasa yang enak di
dengar dan memancarkan
budi peerti yang tinggi. Hampir semua
penduduk disini berbadan
langsing dan ulet. Seperti pak Kadar yang berusia
65 tahun ramp
ing dan lincah, saya sudah letih dan mulai
sesak, namun beliau
tetap senyum dan berjalan mendaki dan menurun,
tak terbayang di
wajahnya keletihan dan kecapaian. "sudah biasa" kata pak kadar.
"Sudah biasa begini"
Kata amai-amai yang menjujung padi dan
menjinjing kambut berisi barang dagangan
yang akan di bawa ke
pasar kubang. Pasar kubang cukup jauh dari taratak
menempuh jalan
mendaki dan menurun.
Banyak
penduduk disini yang berjalan kaki. Walaupun mereka
berbeban berat, tetap tak lupa mereka
menyapa, apalagi kepada
tamu-tamu yang baru menjelang datang. Dan dengan
lancar dan mudah
mengalir dari mulut mereka keterangan yang
kita perlukan kalau
kita ingin menanyakan sesuatu. Melihat tipe
badan dan keramahan
orang-orang Taratak, saya yakin didesa ini tak ada
orang menderi
ta sakit jantung atau kholesterol
tinggi. Mereka rukun, olah
raganya adalah olah raga jantung sehat. Tempat tinggal di daerah
ke tinggian dengan panorama yang aduhai,
kemanapun mata di pan
dangkan yang tampak "Gunung sansai bakuliliang,
dengan sawah yang
berjenjang dengan kolam ikan dan kolam
mensiang dimana-mana,
udara pegunungan yang sangat bersih.
Saya iri melihat tubuh
mereka yang langsing dan ramping,
lincah bekerja dan lincah
berlari, saya jauh tertinggal, baik dari segi
bentuk badan apala
gi dari segi keramahan, walaupun telah
di timpa musibah yang
demikian berat mereka tetap pasrah, tidak keluh
kesah, dan mereka
yakin semua ini datang dari Tuhan dan Kalau
sabar menerimanya,
pasti Tuhan akan menggantinya dengan
sesuatu yang lebih baik
lagi.
Tercatat korban bencana alam itu 177
KK dengan 682 jiwa.
Rumah yang hancur totol sebanyak 33 buah, rusak
berat sebanyak 49
buah dan rusak ringan sebanyak 95 buah. Mushalla
yang rusak berat
2 buah dan surau yang hancur 1 buah. Heler
yang hancur 1 buah.
Kolam ikan yang tertimbun 43 buah dan kolam
mensiang 4,5 hektar
serta sawah yang hancur seluas 163,23 hektar.
Berawal
bermulanya kisah tragis ini, ketika penduduk melihat
ada pematang sawah yang retak dan rengkah. Ada
sebuah kolam yang
tiba-tiba kering airnya, lalu ikan-ikan ini di
pindahkan ke kolam
lain. Tapi timbul tanda tanya, kenapa di
musim hujan ini kolam
tiba-tiba kering?. Bisanya kolam ikan kering di
musim panas. Tak
lama kemudian diikuti oleh keringnya
2 buah kolam ikan yang
lainnya. Dan pada suatu hari tiba-tiba membersit saja
air keluar
dari sebuah rumah penduduk, dari bawah
kolongnya banyak dan me
nyembur air. Kemudian seperti yang kita baca di
koran-koran mulai
tanggal 16 november jam 11 daerah itu
bergetar, tanah rengkah,
ngarai terbentuk, rumah di telan bumi,
danau-danau baru muncul,
pohon tumbang, batang dadok berpindah
tempat. Kuburan seorang
ulama tak tersentuh apa-apa. Getaran itu berakhir
Senin 22 Novem
ber 1993. Kerugian di taksir hampir mencapai
2 Milyar.
Bencana
telah datang, didepan mata terbentang bekas-bekasn
ya. Apakah ini satu peringatan dari
atas? ataukah ini tak ada
apa-apanya?. Sering di sebut
bencana itu di timpakan kepada
manusia yang tak lagi menjaga hubungan sesama
manusia atau hubun
gan dengan Allah. Barangkali ini satu teguran pada
kita semua
yang telah renggang hubungan silaturrahim antar
sesama, dan juga
renggang hubungan dengan Allah, atau
kita mulai menjauh dari
Allah? entahlah. Tapi rasanya perlu kita
kembali ingat padanya
dan mendekat padanya. Dari dia kita
datang dan pada_Nya kelak
kita kan kembali dan untuknya semata shalat,
ibadah, hidup dan
matiku. Cukuplah musibah jadi peringatan untuk di
tahun 1994 ini
kita berhitung dan berhisap sebelum dihitung dan
di hisap. Tara
tak mengingagatkan kita kembali, bahwa baru
sedikit saja musibah
di datangkan Allah, kita tak bisa
berkutik danberbuat banyak.
Ataukah ini hanya sebuah musibah kecil
yang mungkin satu saat
akan di ikuti oleh musibah yang jauh lebih besar
dan lebih mena
kutkan? entahlah, hanya doa yang di panjatkan pada
Allah seperti
sebuah Firman suci_Nya dalam surat Al-Baqarah ayat
286 :
Allah
tidak membenani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusaha
kannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
di kerjakannya
(Merka berdoa) "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika
kami lupa ataukami tersalah. Ya Tuhan
kami, janganlah Engkau
bebanikan kepada kami beban yangberat sebagaimana
Engkau bebankan
kepada orang-orang yang sebelum kami,
janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri maaflah
kami, ampunilah kami, dan rahmatilah
kami. Engkaulah penolong
kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang
kafir".
Taratak 1 Januari 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar