Kamis, 21 November 2013

ANEH TAPI NYATA



Oleh :Dr.H.K.Suheimi


  Aneh tapi nyata, itulah kesan saya pertama menginjakkan kaki

di  kampung "Taratak". Banyak keanehan-keanehan yang  saya  temui

sewaktu menelusuri ngarai dan celah yang terbentuk sepanjang  2,6

km  dan lebar 650 meter  dan rengkahan-rengkahan tanah.  Walaupun

peristiwa  itu sudah satu setengah bulan berlalu, tepatnya  pada

tanggal  16  november hari selasa jam 11.30, tapi hari  ini  satu

Januari  1994,  masih banyak orang yang  berziarah  kesini,  dari

Pakan Baru, Medan dan dari seluruh pelosok Sumbar, ingin  menyak­

sikan dan melihat dari dekat peristiwa langka, aneh tapi nyata.

  Pertama  kali saya melangkahkan kaki di desa  Taratak,  yang

terkesan  adalah  penduduk  disini sangat  ramah,  suka  menyapa,

senang menerima tamu yang datang, apalagi melihat saudara-saudara

nya yang datang dari jauh. Taratak yang terletak  di bukit  bari­

san  di  lereng  bukit yang tinggi dengan  panorama  yang  sangat

indah,  demikian  tingginya kampung ini, sehingga mobil  saya  me  

raung dan terhenti di tengah pendakian. Maestro yang biasanya tak

pernah  mogok mendaki pendakian setinggi apapun, sekali  ini  dia

mengalah   tak  kuat di pendakian, padahal masih  tergolong  baru

dengan  mesin 2000 cc, entah karena saya yang begok  jadi  sopir,

atau  karena baru pertama kali menempuh kampung Taratak.  Nah  di

tempat yang setinggi itu pula saya lihat lereng-lereng bukit yang

terjal, hampir sampai di puncaknya. Kalau kita lepaskan pandangan

mata  ke sekeliling bukit yamg melingkari kampung  teratak,  yang

  nampak  adalah  sawah  melulu. "Penghasilan  utama,  kami  disini

adalah  bersawah" kata penduduk disitu.

  Biasanya  padi di lereng bukit, adalah padi ladang, Tapi  di

Taratak  tidak ada padi ladang, semua sawah, di tempat yang  ter

tinggipun  tetap  berair. "Lalu dari mana datangnya  air?"  tanya

saya  sedikit  heran. "Dari mata air" jawab pak kadar  yang  ikut

bersama  kami  menelusuri tempat kejadian itu.   Dimana-mana  ada

mata  air, di bawah pohon, di balik batu, didekat  puncak  bukit.

"Lihatlah  di  Mesjid  yang besar inipun ada  mata  airnya,  jadi

airnya tidak didatangkan dari mana-mana, tapi langsung  membersit

dari  dalam tanah", kata pak kendar sambil menjukkan air di  Mes­

jid. Memang setelah saya selusuri lereng-lereng bukit dan  berja

lan  di pematang sawah. Sawah disini tak punya tali  bandar,  tak

ada  irigasi, semua air turun dari sawah yang diatas langsung  ke

sawah  yang di bawanya, karena di mana-mana ada mata  air.  "Kami

disini tak pernah mengalami musim kemarau dan kekeringan Kata pak

kadar  yang susdah berusia 65 tahun itu, mengenang, bahwa  selama

hidupnya  yang dia tahu, dari tanah disini selalu saja  ada  air.

"Air ini sumber kehidupan", ulas beliau lagi. "Dia telah  menghi­

dupi  ratusan  jiwa kami disini",  "daerah disini  adalah  tempat

yang paling subur. Beras dari sini yang memenuhi pasar di  kubang

dan Payakumbuh" Kenang beliau sambil meremas bungkalan tanah yang

sudah  rengkah,  bekas sawah, namun padinya masih  tumbuh.  "Kami

tidak  mungkin menggarap sawah dan serta bermukim  disini lagi  "

keluhnya.

  Saya  berfikir,  mata air kok terbitnya,  di  puncak  bukit.

Padahal biasanya mata air itu ada di lurah-lurah. Tak mungkin ada

mata  air sampai ke tempat ketinggian kalau tak ada tenaga  pendo 

rong  yang besar dari dalam. Lalu saya merenung jangan-jangan  di

bawah permukan bumi di Taratak ini ada sebuah danau dengan  teka­

nan yang tinggi. Jangan-jangan di bawah kulit bumi di Taratak ini

ada sebuah kawah gunung berapi yang sekarang mulai aktif.  Dugaan

ini saya hubungkan dengan ceritra seorang ibu yang rumahya  telah

di  telan bumi. "Mula-mula tanah itu menggelegak keatas,  seperti

ada  tenaga  yang mendorongnya keatas,  kemudian  tanah  ditempat

itupun  terban.  Lalu di tempat tanah yang rengkah  dan  terbalik

itu,  ada batu-batu hitam". Kata si ibu sambil  mengambil  sebuah

bebatuan  yang  berwarna coklat ke hitaman, hitam  seperti  bekas

terbakar, batu itu lunak dan agak ringan. Saya lihat  batu-batuan

seperti  ini  pulalah  yang banyak terdapat  sewaktu  saya  masuk

kedalam kawah gunung Tangkuban perahu, ah jangan-jangan di  bawah

kampung teratak ini ada sebuah kawah, karena sekilas kita  lihat,

daerah yang tadinya sawah, di tempat itu sekarang banyak terserak

bebatuan  kehitaman  seperti  habis  terpanggang,  jangan-jangan,

sebelumnya  dia merupakan tanah liat yang di panggang di  lapisan

kulit  bumi,  karena  tanah liat yang selesai  di  panggang  juga

seperti bebatuan itu.

  Saya  ambil  sebuah batu-batuan itu dan  saya  bawa  pulang,

ingin  saya,  pada satu kali nanti bertanya  pada  yang  ahlinya.

Apalagi, adanya bunyi-bunyian yang masih terdengar menderum-derum

dibawah batu di dalam ngalau "Goa siak" " batu Mansajik" kata pak

kadar.  Mungkin karena bunyi derum-deruman yang sering  terdengar

dari sebuah batu di dalam ngalau atau goa siak, yang sampai  hari

ini  masih tampak bergetar dan di bawahnya terdengar  ber  derum-

derum.  Goa  tersebut di beri nama Goa siak dan  dianggap  tempat

keramat.  Goa  atau Ngalau ini, seperti ngalau-ngalau  yang  lain

  yang  banyak terdapat di bukit-bukit daerah 50 kota atau  seperti

di kamang, "dalamnya sepanjang 70 meter", kata pak Kadar,  disini

juga  ada batu stalagnit dan stalagtit. "Dari zaman dahulu"  kata

pak  kadar, Goa itu diangap sebagai tempat keramat, orang  sering

pergi  ber kaul kesana, di hari baik bulan baik  orang  membantai

kambing  dan makan-makan bersama di ngalau. Tapi akhir-akhir  ini

tidak dilakukan lagi karena dianggap sisa-sisa dari ajaran Hindu.

"Tapi  yang  anehnya", Tukas pak kadar lagi, beberapa  hari  yang

lalu seekor induk sapi yang baru saja melahirkan anak, di pautkan

orang  di dekat sawah, kebetulan saja, di tanah tempat  sapi  itu

terpaut,  tanahnya rengkah dan sapi terperosok, tapi  karena  dia

terikat  dan terpaut, sapi itu tak bisa menyelamatkan  diri,  se­

hingga  itulah  korban  nyawa yang pertama  didaerah  ini,  yaitu

matinya seekor induk sapi yang baru saja ber anak. Lalu, kata pak

kadar "Ada pula penduduk yang mengatakan, karena sudah lama tidak

memotong  kambing, lalu tanah ini minta sapi". Tapi  banyak  yang

tak  percaya,  karena itu semua kan ajaran hindu, sapi  itu  mati

karena yang empunya mengikat sapi, dan waktu tanah rengkah  tidak

di ketahui oleh pemiliknya, sehingga ikatan sapi itu  menjeratnya

dan  mematikannya.  

  Entahlah  dalam  suasana yang demikian banyak  saja  cerita

yang  di coba kaitkan dengan hal yang bermacam-macam.  Cuma  yang

saya lihat, adalah sebuah kuburan atau pusara seorang ulama  yang

namanya pak kadar lupa. Ternyata di keliling pusara itu  tanahnya

utuh  tidak  rusak  sedikitpun, bahkan  setetes  lumpurpun  tidak

mencemari  rumput  yang  tumbuh di sekitar  pusara  itu,  padahal

tempatnya terletak di sepanjang lukasi yang kena musibah,  bahkan

di dataran yang ke rendahan. Tapi kenapa semua itu terjadi,  saya 

ndak  tahu,  sebagaimana,  pak kadar ndak  tahu  dan  orang-orang

kampungpun  banyak yang tak tahu, tapi itulah yang terjadi,  aneh

tapi nyata.

  Banyak keanehan yang saya lihat sepanjang menyelusuri ngarai

yang mulai terbentuk. Saya awali perjalani menelusuri ngarai  itu

dari serumpun batang pisang yang telah terbawa pindah sejauh  200

meter. Dari rumpun pisang ini, saya lepaskan pandang kedepan atas

arah Selatan, tampak sebuah celah yang lurus membelah dari  sela­

tan  ke  utara  sepanjang 2,6 km dengan lebar  650  meter,  jelas

nampak celah itu mulai dari runtuhan di puncak bukit dan membelah

sejauh  2,6  km dan berhenti di rumpun pisang. Waktu  saya  tanya

tukang  martabak yang berjualan dekat sana, kenapa rangkahan  itu

berhenti di dekat rumpun pisang?. Dengan enteng penjual  martabak

ini  berkata, mungkin dibawah rumpun pisang itu ada  batu  karang

yang  besar, yang membendung danau yang terbentuk di bawah  kulit

bumi.  Sewaktu turun hujan lebat air danau itu seakan  terbendung

oleh  batu  karang yang besar, sehingga rengkahan  berhenti  pada

ketinggian  rumpun pisang. Mulai dari rumpun pisang  itulah  kami

selusuri,  ngarai   yang terbentuk bersama anak-anak,  istri  dan

orang  tua  saya.  Orang tua yang sudah ber umur  68  tahun  ini,

memang  sering kami bawa kalau pergi raun sabalik. Hari itu  satu

januari 1994, saya lihat beliau begitu kuat dan begitu  berseman­

gat,  beliau  ikut menelusuri ngarai itu,  berjalan  di  pematang

sawah  yang  sudah rengkah, Demikian kuatnya beliau  karena  rasa

ingin  tahu  dan ingin menyaksikan sendiri dari  dekat  peristiwa

musibah, langka, aneh tapi nyata. Kami selusuri desa-desa  Taluak

itiak, Parigi... Sipisang atau dusun harapan, desa rumpuik saruik

atau  Gantiang dan dusun pondam. Keringat sudah membanjiri  tubuh

beliau,  mukanya  terlihat  merah, namun semangat  ibu  saya  ini

sangat tinggi, sehingga setelah ber jam-jam kami berjalan, beliau

tidak  mengeluh dan tidak mengatakan penat.

  Desa-desa  yang saya sebut diatas semuanya  terletak  diatas

sawah,  sedangkan  desa-desa sekitarnya yang terletak  di  gurun,

boleh di katakan tak ada yang rusak, jadi hampir semua rumah yang

rusak  dan  hancur terletak di tengah-tengah  sawah.  Lantas  pak

Kadar  berkata "Sebetulnya" Kata beliau. Ada  petuah  orang-orang

tua kita dahulu "jangan membuat rumah di sawah, karena sawah akan

berubah-rubah  dan tanahnya tidak utuh, kalau mau membuat  rumah,

buatlah  di  gurun,  sawah adalah tempat  mencari  makan,  sumber

ekonomi  dan  gurun adalah tempat istirahat dan  tempat  tinggal,

buatlah rumah di gurun". begitulah petuah nenek moyang.

  "Lihatlah"  kata  pak  kadar membawa  kami  ke  gurun-gurun, 

semua  rumah yang didirikan di gurun, tidak satupun yang  terkena

musibah, sambil menunjuk rumah-ruamh yang berdiri kokoh di gurun-

gurun,  itu semua, karena mereka ingat akan petuah orang  tua-tua

dahulu.  Orang-orang tua dahulu kan banyak ilmunya, tahu di  mana

tanah yang kokoh dan dimana pula tanah yang longgar, mana  tempat

berusaha dan mana pula tempat ber domisili".

Kami  diantar  kemana-mana oleh pak Kadar. "Coba  lihat  dan

perhatikan  batang  dadok yang besar ini kata Pak  Kadar  "Batang

dadok  ini sebelum peristiwa 16 november itu tumbuh di atas  sana

kata  beliau sambil menunjuk satu tempat yang jaraknya 400  meter

sebelah  selatan. Jadi berarti batang dadok itu selama  peristiwa

telah  tergeser sejauh 400 meter, tapi dia tetap berdiri dan  dia

tetap hidup, batangnya dan dahannya masih berduri, dia belum  mau

dan  tak  hendak mati. Kami berhenti sejenak  berteduh  di  bawah

  pohon dadok yang rimbun. "Aneh tapi nyata" ciloteh kami lagi.

  Ini  perlu di tulis dan perlu di beri tahu semua orang  agar

mereka  juga  melihat ke anehan alam dan  kekuasaan  Tuhan.  Saya

tatap juga tempat itu lalu, dari mulut saya terlonacat  kata-kata

"Subhanallah"  Maha  suci  Allah yang menjadikan  semua  itu  dan

berbuat sekehendaknya. Kami langkahi juga rengkahan demi  rengka­
han.  Kami tuju Posko dan kami capai Mesjid.

  Di  posko  terpampang gambar-dan foto daerah yang  di  timpa

musibah.  Di depan sebuah mesjid foto-foto rumah yang  hancur  di

pajang  dan di beri keterangan nama pemiliknya. Salah  satu  nama

pemilik  yang  rumahnya sudah datar dengan tanah  tertulis   nama

"Suhaimi". Sewaktu membaca nama itu lantas anak-anak  berciloteh,

"rumah  papa  sudah rata dengan tanah" Saya renung  sebuah  nama,

ternyata  nama sayapun ada dalam rombongan orang-orang yang  kena

musibah.  Saya merenung dan membayangkan betapa penderitaan  yang

dialami  oleh  sanak saudara yang di timpa  musibah  itu.  

  Betapa  tidak, sewaktu kami sampai ke lokasi dimana 14  buah

rumah  sekelompok berdekat-dekatan, ke 14 rumah itu  yang  paling

parah dan paling hancur. Di bekas onggokkan rumah itu saya  lihat

seorang  ibu dengan anaknya  sedang mengais-ngais  mencari  kalau

masih  ada barang-barangnya yang dapat di selamatkan.  Papan-pan,

seng-seng,  baju-baju usang yang sudah lusuh bergelimang  lumpur,

atau apa saja yang dapat di kais. Hasil kaisannya itu di  jenjeng

dan di letakkan di pundak dan di bawa ke lereng bukit yang satun­

ya lagi. Waktu saya tanya di mana ibu itu tinggal setelah rumahn­

ya  hancur.  Beliau menunjuk lereng bukit, disana  tampak  gubuk,

gubuk  bekas peladang lain yang biasa digunakan  untuk  menunggui

ladang.  Cukup reot dan cukup jauh gubuk itu dan  demikian  kecil
 
nya. Kesanalah beliau bersama anak-anaknya mengungsi sambil  men­

car-cari  juga  kalau  ada hartanya yang  masih  bersisa.  "Rumah

berikut  sawah kami sudah hancur" "Rumah ndak  mungkin  ditempati

lagi, sawahpun demikian,tak bisa di olah lagi. Bagaiman akan  ber

sawah,  pematangnya saja sudah tak kelihatan lagi"  Yang  tinggal

hanya  puing-puing  dan  rengkahan-rengkahan  sawah  dan  disawah

banyak  batu-batu  hitam seperti tanah  liat  bekas  terpanggang.

"Kami  hanya  menunggu perintah pak bupati", kemana  kata  beliau

yang  baik, tentu beliau lebih tahu. Bapak-bapak kami tentu  akan

menolong  mencarikan  tempat yang baik untuk kami  yang  di  dera

musibah  ini.  "Kami siap untuk pindah pak" kata  sang  ibu  yang

menompang di sebuah gubuk di lereng bukit.

  Melihat dan menyaksikan rumah yang hancur, pohon pinang  dan

kelapa  yang tumbang. Kain baju yang lusuh berserakkan  tertimbun

tanah, atap-atap seng yang berserakkan. Kandang-kandang ayam yang

patah-patah  (ditempat ini banyak penduduk memelihara ayam  ras).

Sepanjang  2,6 km, lebar 650 m kepada kita di sajikan  kehancuran

demi  kehancuran,  kerusakkan  yang entah  pabila  akan  baiknya,

entahlah.  

  Menapaki  kehancuran demi kehancuran, kerengkahan demi  ker­

engkahan,  ngarai-ngarai yang terbentuk membuat hati ini  bergim­

ing, dan gamang, sementara kata pak kadar "Batu di batu  mansajik

di  Goa siak didalam ngalau masih bergetar dan di bawahnya  masih

menderu-deru  dan  ber  derum-derum bunyinya.  Ada  apa  disana?,

dibawah  kulit  bumi?  kita ndak pernah tahu,  kita  ndak  pernah

mengerti,  ilmu  kita belum sampai kesana,  akankah  bencana  ini

berulang?,  dan  kapan?, esok,lusa atau sebentar  lagi?.  Akankah

penduduk  yang  ramah, rajin berusaha, bekerja dari  pagi  sampai

  malam,  akankah merekamengalaminya lagi?. Hanya Tuhan Yang  Tahu.

Salahkah  mereka memilih tempat tinggal, salahkah mereka  mencari

penghidupan, salahkah mereka yang di rundung dan di dera  derita.

Saya kira mereka adalah orang-orang yang perlu di kasihani dan di

berikan lapangan kerja dan perumahan baru. Mereka penduduk  tara­

tak adalah orang yang baik, ramah, mudah senyum dan ulet  berusa­

ha.  Semua ini tercermin dari tegur sapa mereka. Setiap  penduduk

yang saya temui, di warung, di langgar, di Mesjid di jalanan,  di

pinggir  sawah,  diatas pematang, di posko semuanya  menegur  dan

menyapa  kita dengan bahasa yang enak di dengar  dan  memancarkan

budi  peerti yang tinggi. Hampir semua penduduk  disini  berbadan

langsing dan ulet. Seperti pak Kadar yang berusia 65 tahun  ramp­

ing  dan lincah, saya sudah letih dan mulai sesak,  namun  beliau

tetap  senyum dan berjalan mendaki dan menurun, tak terbayang  di

wajahnya keletihan dan kecapaian. "sudah  biasa" kata pak  kadar.

"Sudah  biasa  begini"  Kata amai-amai yang  menjujung  padi  dan

menjinjing  kambut  berisi barang dagangan yang akan di  bawa  ke

pasar kubang. Pasar kubang cukup jauh dari taratak menempuh jalan

mendaki  dan menurun.

  Banyak  penduduk disini yang berjalan kaki. Walaupun  mereka

berbeban  berat,  tetap tak lupa mereka menyapa,  apalagi  kepada

tamu-tamu yang baru menjelang datang. Dan dengan lancar dan mudah

mengalir  dari mulut mereka keterangan yang kita  perlukan  kalau

kita  ingin menanyakan sesuatu. Melihat tipe badan dan  keramahan

orang-orang Taratak, saya yakin didesa ini tak ada orang menderi­

ta  sakit  jantung atau kholesterol tinggi.  Mereka  rukun,  olah

raganya adalah olah raga jantung sehat. Tempat tinggal di  daerah

ke  tinggian dengan panorama yang aduhai, kemanapun mata di  pan­

dangkan yang tampak "Gunung sansai bakuliliang, dengan sawah yang

berjenjang  dengan  kolam ikan dan  kolam  mensiang  dimana-mana,

udara  pegunungan  yang  sangat bersih. Saya  iri  melihat  tubuh

mereka  yang  langsing  dan ramping, lincah  bekerja  dan  lincah

berlari, saya jauh tertinggal, baik dari segi bentuk badan apala­

gi  dari  segi keramahan, walaupun telah di  timpa  musibah  yang

demikian berat mereka tetap pasrah, tidak keluh kesah, dan mereka

yakin  semua ini datang dari Tuhan dan Kalau  sabar  menerimanya,

pasti  Tuhan  akan menggantinya dengan sesuatu  yang  lebih  baik

lagi.  

Tercatat  korban  bencana alam itu 177 KK dengan  682  jiwa.

Rumah yang hancur totol sebanyak 33 buah, rusak berat sebanyak 49

buah dan rusak ringan sebanyak 95 buah. Mushalla yang rusak berat

2  buah dan surau yang hancur 1 buah. Heler yang hancur  1  buah.

Kolam  ikan yang tertimbun 43 buah dan kolam mensiang 4,5  hektar

serta sawah yang hancur seluas 163,23 hektar.

  Berawal bermulanya kisah tragis ini, ketika penduduk melihat

ada pematang sawah yang retak dan rengkah. Ada sebuah kolam  yang

tiba-tiba kering airnya, lalu ikan-ikan ini di pindahkan ke kolam

lain.  Tapi timbul tanda tanya, kenapa di musim hujan  ini  kolam

tiba-tiba kering?. Bisanya kolam ikan kering di musim panas.  Tak

lama  kemudian  diikuti  oleh keringnya 2 buah  kolam  ikan  yang

lainnya. Dan pada suatu hari tiba-tiba membersit saja air  keluar

dari  sebuah rumah penduduk, dari bawah kolongnya banyak  dan  me 

nyembur air. Kemudian seperti yang kita baca di koran-koran mulai

tanggal  16 november jam 11 daerah itu bergetar,  tanah  rengkah,

ngarai  terbentuk, rumah di telan bumi, danau-danau baru  muncul,

pohon  tumbang,  batang dadok berpindah tempat.  Kuburan  seorang

ulama tak tersentuh apa-apa. Getaran itu berakhir Senin 22 Novem­

ber  1993. Kerugian di taksir hampir mencapai 2  Milyar.  

  Bencana telah datang, didepan mata terbentang  bekas-bekasn­

ya.  Apakah  ini satu peringatan dari atas? ataukah ini  tak  ada

apa-apanya?.  Sering  di  sebut bencana itu  di  timpakan  kepada

manusia yang tak lagi menjaga hubungan sesama manusia atau hubun­

gan  dengan  Allah. Barangkali ini satu teguran pada  kita  semua

yang telah renggang hubungan silaturrahim antar sesama, dan  juga

renggang  hubungan  dengan Allah, atau kita  mulai  menjauh  dari

Allah?  entahlah. Tapi rasanya perlu kita kembali  ingat  padanya

dan  mendekat  padanya. Dari dia kita datang dan  pada_Nya  kelak

kita  kan kembali dan untuknya semata shalat, ibadah,  hidup  dan

matiku. Cukuplah musibah jadi peringatan untuk di tahun 1994  ini

kita berhitung dan berhisap sebelum dihitung dan di hisap.  Tara­

tak mengingagatkan kita kembali, bahwa baru sedikit saja  musibah

di  datangkan  Allah, kita tak bisa berkutik  danberbuat  banyak.

Ataukah  ini  hanya sebuah musibah kecil yang mungkin  satu  saat

akan di ikuti oleh musibah yang jauh lebih besar dan lebih  mena­

kutkan? entahlah, hanya doa yang di panjatkan pada Allah  seperti

sebuah Firman suci_Nya dalam surat Al-Baqarah ayat 286 :
 
  Allah  tidak  membenani seseorang  melainkan  sesuai  dengan

kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusaha­

kannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang di kerjakannya

(Merka  berdoa) "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami  jika

kami  lupa  ataukami tersalah. Ya Tuhan  kami,  janganlah  Engkau

bebanikan kepada kami beban yangberat sebagaimana Engkau bebankan

kepada  orang-orang yang sebelum kami, janganlah Engkau  pikulkan

kepada  kami apa yang tak sanggup kami memikulnya.  Beri  maaflah
 
kami,  ampunilah  kami, dan rahmatilah kami.  Engkaulah  penolong

kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".



Taratak  1 Januari 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar