Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Penat mendaki jenjang empat puluh di
B.Tinggi, tak terasa,
kerena
di puncak pendakian itu kami dapat menikmati tiupan seru
ling dan
saluang dari penjualnya. Asyik dan enak di
dengar,
apalagi senandung
yang di alunkannya, adalah senandung dari lagu-
lagu kesukaan
saya, lagu minang, minang maimbau, takana kampuang.
mendayu-dayu
membangkitkan rindu, berirama, lemah gemulai, naik
turun
meresap kedalam relung-relung dan lubuk hati yang dalam.
Letih
mendaki jenjang empat puluh seakan sirna, hiburan
dan
sajian yang
tersedia, enak didengar dan perlu, berisi ajaran dan
ajakkan untuk
kembali pulang. Rupanya anak sayapun senang menik
mati lagu itu,
di kiranya kalau dia membeli seruling dan saluang,
bisa pula dia
bersenandung seperti penjual seruling. Di pilihnya
lah seruling
yang paling bagus dan paling mahal, lalu di cobanya
meniup,
dasar orang ndak biasa meniup seruling dan
saluang,
terdengarlah
bunyi yang kacau balau dengan irama tak menentu. Di
cobanya
pula seruling yang sedang di tiup oleh penjualnya itu,
sami mawon,
makin tak berketentuan iramanya. Karena sudah mencoba
ini dan
itu, terpaksa seruling itu di belinya. Tapi sayang saya
lihat
sampai hari ini seruling itu tak pernah di tiupnya lagi,
karena
memang dia tak pandai meniupnya, terletaklah barang ber
harga itu
disudut lemari, tidak ada yang mengusiknya dan memain
kannya.
Padahal kalaulah seruling itu di berikan kepada
yang
pandai
meniupnya, pastilah akan mengalun senandung yang aduhai.
Saya
perhatikan tukang saluang, tukang tiup puput
padi,
walaupun hanya dari sepotong bambu dan sebatang padi, namun irama
yang di
timbulkannya sangat merdu mendayu membangkitkan rindu,
rindu
akan seseorang, rindu akan masa lalu, rindu akan kampung
halaman,
tercurah dalam irama lagu.
Waktu itu sempat saya merenung "Hidup
ini bagaikan seruling,
Indahnya
tergantung pada siapa yang meniupnya". Maka selalu orang
bertanya,
siapakah gerangan yang meniupnya, jarang orang yang
bertanya,
apakah jenis serulingnya, terbuat dari bahan apakah
serulingnya?.
Tidak orang tidak bertanyakan itu, tapi setiap
pendengar akan
selau bertanya, siapakah peniupnya?. Kalau begitu
yang penting
adalah siapakah gerangan yang meniupnya. Saya saksi
kan
setiap peniup seruling, bunyi yang keluar dari seruling itu
jadi
indah adalah karena si peniup itu menjiwai seruling
yang
ditiupnya,
di berinya arti dan di berinya jiwa, seakan-akan apa
yang di
tiupnya itu hidup dan menghidupkan. Tiupan nafasnya,
tekanan
tekanan not nya, betul-betul di perhatikan dijiwai dan di
hayatinya.
Dalam hidup
inipun ada not-not, ada irama yang mengalun
tinggi dan merendah, ada masa-masa istirahat dan
ada masa-masa
bergelombang,
ada masa dan waktu-waktu yang membutuhkan peneka
nan. Cobalah
rasakan dan hayati setiap detik waktu yang di beri
kan Tuhan,
disana terasa sangat indah dan penuh hikmah dan penuh
berkah.
Sering kita berdoa, kiranya Tuhan memberikan
setiap
waktu, setiap
detik merupakan waktu dan detik-detik yang berman
faat.
Untuk merasakan bahwa tiap detik adalah detik-detik yang
bermanfaat
ialah dengan merasakan dan menikmati setiap detik-
detik yang
berlalu, sebagaimana peniup seruling, indahnya adalah
karena setiap
sentakan, setiap not nya di hayati dan di jiwainya.
Hidup ini terasa ber jiwa dan bernyawa adalah
karena di beri
arti
dalam setiap detiknya. Hidup yang penuh arti inilah
yang
sangat
dirasakan indah, karena nikmat Tuhan itu benar-benar indah
pada setiap
detik kehidupan ini. Memberi penekanan pada titik dan
koma, memberi
penekanan pada irama yang mengalun naik dan turun.
Sebagaimana
kita dengar seseorang yang ber pidato, kalau pidato
nya seperti
angin lalu saja, tanpa penekakan dan tidak menjiwai,
terasa
pidato itu hambar, walaupun yang di ucapkannya penting.
Tapi bagi
orator karena pintarnya mereka memberikan penekanan dan
menjiwai
setiap kata yang di ucapkannya, terasa pidato itu sangat
asyik
dan sangat menarik. Agaknya hidup inipun demikian, setiap
langkah
yang di langkahkan, setiap detik-detik yang berlalu, di
perhitungkan
dan di beri arti. Jangan biarkan
detik-detik itu
berlalu
dengan percuma, kosong dan hampa. Siapakah lagi
yang
memberi arti
pada hidup ini, kalau bukan si peniupnya. Saya rasa
tidak
salah kalau ada orang yang berkata :"Hidup ini
bagaikan
seruling.
Indahnya tergantung pada si peniupnya". Tiuplah seru
lingmu
dengan penuh perhitungan dan jiwai dia dengan ke hati-
hatian. Untuk
itu saya teringat sebuah pesan Rasulullah Muhammad
S.A.W
:"Hitung-hitunglah dirimu sebelum Engkau di perhitungkan".
Menghitung
diri adalah membuat balans, mengkaji untung rugi. Hari
ini
berapa keuntungan yang telah ku petik dan berapa pula keru
gian
yang kuderita. Hari ini berapa dosa yang telah kukerjakan
dan
berapa pula kebaikkan yang telah kulakukan. Kita
hitung-
hitung
diri ini sebelum datang satu masa perhitungan kelak yang
pasti akan
menemui kita yang tak akan di taqdimkan satu saat dan
tidak pula
akan di Ta'khirkan satu saat.
Untuk semua itu saya teringat akan
sebuah Firman Suci_Nya
dalam
Al_Qur'an surat Al_Maa-idah ayat 119 :"Allah
berfirman,
inilah suatu
hari yang bermanfaat bagi orang yang benar kebenaran
mereka.
Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir sungai-sun
gai; mereka
kekal didalamnya selama-lamanya. Allah Ridha terhadap
mereka
dan merekapun Ridha terhadap_Nya. Itulah keberuntungan
yang paling
besar".
P a d a n g 5
April 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar