Jumat, 15 November 2013

S E R U L I N G


Oleh : Dr.H.K.Suheimi

  Penat  mendaki jenjang empat puluh di B.Tinggi, tak  terasa,

kerena  di puncak pendakian itu kami dapat menikmati tiupan  seru

ling  dan  saluang  dari penjualnya. Asyik dan  enak  di  dengar,

apalagi senandung yang di alunkannya, adalah senandung dari lagu-

lagu kesukaan saya, lagu minang, minang maimbau, takana kampuang.

mendayu-dayu  membangkitkan rindu, berirama, lemah gemulai,  naik

turun  meresap kedalam relung-relung dan lubuk hati  yang  dalam.

Letih  mendaki  jenjang  empat puluh seakan  sirna,  hiburan  dan

sajian yang tersedia, enak didengar dan perlu, berisi ajaran  dan

ajakkan untuk kembali pulang. Rupanya anak sayapun senang  menik­

mati lagu itu, di kiranya kalau dia membeli seruling dan saluang,

bisa pula dia bersenandung seperti penjual seruling. Di pilihnya­

lah seruling yang paling bagus dan paling mahal, lalu di  cobanya

meniup,  dasar  orang  ndak biasa meniup  seruling  dan  saluang,

terdengarlah bunyi yang kacau balau dengan irama tak menentu.  Di

cobanya  pula seruling yang sedang di tiup oleh  penjualnya  itu,

sami mawon, makin tak berketentuan iramanya. Karena sudah mencoba

ini  dan itu, terpaksa seruling itu di belinya. Tapi sayang  saya

lihat  sampai hari ini seruling itu tak pernah di  tiupnya  lagi,

karena  memang dia tak pandai meniupnya, terletaklah barang  ber­

harga itu disudut lemari, tidak ada yang mengusiknya dan  memain­

kannya.  Padahal  kalaulah seruling itu di  berikan  kepada  yang

pandai meniupnya, pastilah akan mengalun senandung yang aduhai.

  Saya  perhatikan  tukang saluang, tukang  tiup  puput  padi,

 walaupun hanya dari sepotong bambu dan sebatang padi, namun irama

yang  di timbulkannya sangat merdu mendayu  membangkitkan  rindu,

rindu  akan seseorang, rindu akan masa lalu, rindu  akan  kampung

halaman, tercurah dalam irama lagu.

  Waktu itu sempat saya merenung "Hidup ini bagaikan seruling,

Indahnya tergantung pada siapa yang meniupnya". Maka selalu orang

bertanya,  siapakah  gerangan yang meniupnya, jarang  orang  yang

bertanya,  apakah  jenis serulingnya, terbuat dari  bahan  apakah

serulingnya?.  Tidak  orang tidak bertanyakan  itu,  tapi  setiap

pendengar akan selau bertanya, siapakah peniupnya?. Kalau  begitu

yang penting adalah siapakah gerangan yang meniupnya. Saya saksi­

kan  setiap peniup seruling, bunyi yang keluar dari seruling  itu

jadi  indah  adalah karena si peniup itu menjiwai  seruling  yang

ditiupnya,  di berinya arti dan di berinya jiwa, seakan-akan  apa

yang  di  tiupnya itu hidup dan  menghidupkan.  Tiupan  nafasnya,

tekanan tekanan not nya, betul-betul di perhatikan dijiwai dan di

hayatinya.

  Dalam  hidup  inipun ada not-not, ada  irama  yang  mengalun

tinggi  dan merendah, ada masa-masa istirahat dan  ada  masa-masa

bergelombang,  ada masa dan waktu-waktu yang membutuhkan  peneka­

nan. Cobalah rasakan dan hayati setiap detik waktu yang di  beri­

kan Tuhan, disana terasa sangat indah dan penuh hikmah dan  penuh

berkah.  Sering  kita  berdoa, kiranya  Tuhan  memberikan  setiap

waktu, setiap detik merupakan waktu dan detik-detik yang  berman­

faat.  Untuk merasakan bahwa tiap detik adalah  detik-detik  yang

bermanfaat  ialah  dengan merasakan dan menikmati  setiap  detik-

detik yang berlalu, sebagaimana peniup seruling, indahnya  adalah

karena setiap sentakan, setiap not nya di hayati dan di jiwainya.

  Hidup ini terasa ber jiwa dan bernyawa adalah karena di beri

arti  dalam  setiap detiknya. Hidup yang penuh arti  inilah  yang

sangat dirasakan indah, karena nikmat Tuhan itu benar-benar indah

pada setiap detik kehidupan ini. Memberi penekanan pada titik dan

koma, memberi penekanan pada irama yang mengalun naik dan  turun.

Sebagaimana  kita dengar seseorang yang ber pidato, kalau  pidato

nya seperti angin lalu saja, tanpa penekakan dan tidak  menjiwai,

terasa  pidato itu hambar, walaupun yang di  ucapkannya  penting.

Tapi bagi orator karena pintarnya mereka memberikan penekanan dan

menjiwai setiap kata yang di ucapkannya, terasa pidato itu sangat

asyik  dan sangat menarik. Agaknya hidup inipun demikian,  setiap

langkah  yang di langkahkan, setiap detik-detik yang berlalu,  di

perhitungkan  dan di beri arti. Jangan  biarkan  detik-detik  itu

berlalu  dengan  percuma, kosong dan hampa.  Siapakah  lagi  yang

memberi arti pada hidup ini, kalau bukan si peniupnya. Saya  rasa

tidak  salah  kalau ada orang yang berkata :"Hidup  ini  bagaikan

seruling.  Indahnya tergantung pada si peniupnya". Tiuplah  seru­

lingmu  dengan  penuh perhitungan dan jiwai dia dengan  ke  hati-

hatian. Untuk itu saya teringat sebuah pesan Rasulullah  Muhammad

S.A.W :"Hitung-hitunglah dirimu sebelum Engkau di  perhitungkan".

Menghitung diri adalah membuat balans, mengkaji untung rugi. Hari

ini  berapa keuntungan yang telah ku petik dan berapa pula  keru­

gian  yang kuderita. Hari ini berapa dosa yang  telah  kukerjakan

dan  berapa  pula kebaikkan yang telah  kulakukan.  Kita  hitung-

hitung  diri ini sebelum datang satu masa perhitungan kelak  yang

pasti akan menemui kita yang tak akan di taqdimkan satu saat  dan

tidak pula akan di Ta'khirkan satu saat.

  Untuk  semua itu saya teringat akan sebuah  Firman  Suci_Nya

dalam  Al_Qur'an  surat Al_Maa-idah ayat 119  :"Allah  berfirman,

inilah suatu hari yang bermanfaat bagi orang yang benar kebenaran

mereka.  Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir  sungai-sun­

gai; mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Allah Ridha terhadap

mereka  dan  merekapun Ridha terhadap_Nya.  Itulah  keberuntungan

yang paling besar".



P a d a n g  5 April 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar