Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Saya cium wajah itu, wajah ibu, wajah yang sudah
kaku, wajah
yang sudah di bungkus kain kafan. Wajah itu
lembut, wajah yang
dulu sering menciumku dan sering saya cium.
Kali ini wajah itu
tak lagi bergerak dingin nemun tercium harum
dan sangat wangi,
sangat wangi...sekali. Saya peluk erat
seakan-akan tak ingin
kulepaskan. Saya tatap dia dengan sepuas hati,
walau dia tak bisa
lagi menatapku. Saya bisikkan rasa rindu dan
haru namun dia tak
mendengar lagi bisikkan itu. Saya usap bibir yang
bisanya sering
komat kamit, tapi bibir itupun
membisu. Saya seru namanya,
ibu......, namun tak ada jawaban. Ya Allah
terimalah ibuku, orang
yang paling baik di dunia ini, satu-satunya yang
paling berharga
dalam hidupku. Disaat aku bisa memandang ibu
dengan sepuas-puas
nya, ketika itu ibu tak bisa memandangku
lagi. Disaat aku ingin
berbisik dengan segenap duka, disaat itu dia
tak bisa berbisik
padaku lagi. Seperti dulu disaat kami
sering berbisik disaat
beliau sering mengajarku. Ibu adalah segalanya
bagiku, tapi kini
beliau telah tiada, Tuhan telah memanggilnya
kembali.
Saya cium wajah itu kembali disaat ibu
itu ada di lobang
lahat, ketika saya menguburkannya. Ketika
kain kafannya di buka
dan pipinya harus di cecahkan ketanah. Saya
tak tahan wajah ibu
yang sangat saya cintai itu saya cium untuk yang
terakhr kalinya,
kerna mulai detik itu, tak akan bisa
ku tatap wajah itu lagi.
Itulah yang terakhir perpisahan kami,
ciuman di lobang lahat.
Lunglai tangan saya ketika harus menimbunkan tanah
kering ketubuh
ibu tercinta, habis daya saya ketika ibu
tertutup papan dan di
timbun tanah. Tergiang kembali lagu
yang sering di nyanyikan
beliau sewaktu menidurkan saya.
Dulu dibadung di pangku,Dibuaikan ibuku
Bila daku tertidur,di selimutinya
Nasi dipipis dilumatkan, dibimbingnya berjalan
Diajarnya, berkata, kasih sayang ibu.
Tapi kini hanya, kulihat pusaranya
Tertegak batu mejan, tempat ibuku berbaring
Pahit getir ibu, tak dapat kutanggungkan
Kunanti sampai pulang, akhir hayat ku temukan
yanyian itu mengiang kembali, seakan ibu itu
hidup lagi,
seakan dia datang lagi, dan kamipun seakan
tak rela melepasnya
pergi, saya tergoda, namun wajah itu telah tiada.
Pergilah ibu. engkau memenuhi janjimu,
Engkau menemui
Chalik yang kau cintai. Hari ini ibu berpuasa,
puasa bulan rajab.
Sudah beberapa hari sebelumnya beliau
berpuasa. tadi malam
shalat tahjud.
Dan pagi ini seusai menjemur kain beliau menja
hit baju si ronal cucunya.
Tanpa diduga beliau berteriak Lailahaillallah.
teriakkan itu
menyebabkan adik saya Sulastri
terkejut melihat ibu memegang
kepala karena sakit yang sangat hebat.
Tiba-tiba beliau muntah,
lalu tak sadar diri. Saya datang, dipandangnya
saya sekejap, dan
itulah pandangan yang terakhir kalinya. Sewaktu
saya larikan ke I
C U, nyawanya tak tertolong lagi
"Innalillahi wainna ilahi Ra
jiun"
Ya Allah terimalah ibu kami yang tercinta, beliau
mencintai
kami tapi lebih mencintai_Mu. Karena dalam
sakit dalam sendiri
dia menyebut nama_Mu. Ya Allah tempatkanlah
ibu kami ke tempat
yang semulia-mulianya, ke tempat yang
sebahagia-bahagianya. Dia
selalu berbuat baik dan suka melapangkan
orang lain. Lapangkan
pulalah syorga untuknya.
Saya sadar ibu memulai memasuki hidupnya
yang kedua hidup
yang terakhir kali yang tak akan ada lagi mati
sesudah hidup yang
kedua itu. Sebagai di katakan oleh Allah
dalam surat al baqarah
bahwa manusia itu mati dua kali dan hidup dua
kali. Dulunya kamu
mati, kemudian di hidupkan, lalu di
matikan untuk kemudian di
hidupkan untuk selamanya dan kepada Allah tempat
kembalimu. Saya
saksikan ibu dalam keadaan rela pasrah dan
ikhlas memasuki hi
dupnya yang kedua. Saya berbisik selamat
menempuh dan memasuki
hidup yang terang cemerlang di syorga sana
wahai ibu kami yang
tercinta "Hajjah Nurhama".
Kepergian beliau yang tenang mengin
gatkan saya akan ayat yang terakhir dalam surat
fajar.
"Wahai jiwa yang tentram,
kembalilah pada Tuhanmu dalam
keadaan Redha dan di redhai. Masuklah
kedalam golongan hamba-Ku
dan masuklah kedalam syorgaKU"
P a d a n g, di hari duka 2 desember 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar