Rabu, 13 November 2013

P E N I L I K S E K O L A H

Oleh : dr. H.K. Suheimi

Dulu  saya sering bertanya kepanjangan PS itu  "penilik  sekolah"
atau "pemilik sekolah". Karena wibawanya sangat tinggi, dan semua
guru  sangat  hormat padanya. Setiap katanya di  perhatikan.  Dia
akan  mencari dan menyelidiki kalau-kalau ada kesalahan  yang  di
kerjakan oleh guru-guru.  Maka kalau pak PS akan datang,  sekolah
di benahi, murid-murid disuruh rapi, tertib, Perlihatkan pada pak
PS  bahwa  sekolah kita yang terbaik. Maka ketika saya  duduk  di
bangku  SD,  saya sangat kagum pada Pak PS  yang  sedang  "Turne"
denga topi lebar di kepalanya. "Hebat benar bapak ini " Kata saya
dalam  hati.  Guru yang paling saya takuti, segani  dan  hormati,
ternyata  di hadapan pak PS jadi sangat kecil. Inilah kesan  saya
setiap kali Pak PS mengunjungi sekolah kami ketika saya duduk  di
SD dulu.

Setelah  masa berlalu, tentu tugas pak PS lebih berat  dari  yang
dulu.  Saya  takut kalau masa kini, karena perubahan  zaman  yang
demikian  cepat,  fungsi PS berubah pula,  Sehingga  wibawanyapun
jadi  berkurang. Karena perubahn ini yang dianggap sah-sah  saja.
Lalu saya mengkhayal dan bermenung.

Andaikan....,  entah kenapa saya suka ber  andai-andai.  Andaikan
satu kali datang seorang  PS ke sebuah sekolah SD, bukan  mencari
kesalahan  sang guru, tapi justru menyuruh guru "berbuat  salah".
Akan  apalah jadinya pendidikan ini.  Misalnya  tiba-tiba  datang
seorang  PS  menyuruh  guru menyulap NEM. Nilai  yang  Murni  itu
disuruh cemari. Dari merah di jadikan biru. dari lima di  jadikan
sepuluh.  Kalaulah seperti itu akan bagaimana jadinya  pendidikan
yang  di percayakan pada PS ini?. Saya takut, tapi  mudah-mudahan
ini  hanya sebuah khayalan. Saya takut membayangkan kalau ada  PS
yang  justru  kerjanya untuk mengawasi para guru,  lalu  menyuruh
guru merekayasa NEM..wah...wah..wah  saya ngeri.

Sewaktu  seorang anak di tanya :"Dapatkah olehmu ujian  matematik
itu?" Si murid menggeleng karena soalnya sulit. Jangankan  murid.
Guru  sendiripun ada yang tak dapat menjawabnya. Betapa  terkejut
nya murid ketika dalam NEMnya tertera angka "sepuluh". Ketika ada
soal ilmu sosial yang menyuruh terangkanlah atau uraikanlah. Lalu
si murid tidak dapat menjawab semua soal. Betapa terkejutnya  dia
ketika menyaksikan NEM nya dapat "sepuluh".

Lalu  si  murid SD berkesimpulan. Ternyata  dengan  jawaban  yang
tidak menjawab semua soal, kita dapat angka sepuluh. Dia  terher­
an-heran  "Mudah  sekali".  Maka dalam diri  sianak  hilang  daya
juang.  Dalam diri si anak di perlihatkan ke tidak jujuran.  Anak
yang  masih bau kencur, yang seharusnya  kepadanya  diperlihatkan
hal yang bersih dan murni. Jauh dari kecurangan. Nanti pribadinya
kan  tercemar  dan rusak. Dan kalau kelak  jadi  pemimpin,  jadi 
pemimpin kayak apa dia nantinya.

Orang  tua yang melihat anaknya dibawa ke pendidikan  yang  demi­
kian, tentu akan marah dan sedih. Lalu bermohon pada guru. Lihat­
kanlah  bahwa NEM itu adalah NEM. Kalau Nilai Ebtanas Murni,  ter
nyata tidak murni. Ini sangat meracuni jiwa dan watak si anak.
Kita  tidak  tahu dan tidak mengerti kalau ada seorang  tua  yang
tega meracuni jiwa si anak, dengan jalan ber "Kulosi" dengan para
pemeriksa  soal. Teganya orang tua yang senang hati  melihat  NEM
anaknya tinggi, padahal kemampuan anaknya rendah.

Ah  kalau semua ini terjadi, mau di bawa kemana  pendidikan  kita
ini?.  Saya  sedih menyaksikan anak-anak yang  pintar  yang  jadi
juara sejak dari kelas satu sampai kelas enam. Lalu dia stress di
cimooh  oleh anak-anak yang rangking jauh di bawahnya,  dapat  di
terima  di sekolah negeri. Sedangkan dia yang sering jadi  utusan
sekolah  dalam acara "Cepat-cermat". Membawa harum  nama  sekolah 
nya. Selama ini dibanggakan oleh guru dan orang tuanya. Tiba-tiba
harus  menerima kenyataan tak dapat melanjutkan sekolah  ke  SMP.
Karena  dia tak melamar selain dari SMP 1.  Mau keswasta.  Swasta
sudah tutup. Mau SMP negeri tak mungkin lagi.

Banyak  anak-anak  pintar. Sejak awal dapat rangking.  Yang  seha  
rusnya  dia merupakan Siswa teladan dan undangan,  semestinya  di
perebutkan oleh SMP agar SMP itu terangkat pula namanya. Sekarang
bibit-bibit  baik, bibit-bibit unggul itu mengalami stress,  tiap
sebentar  menangis, karena Wajar atau wajib belajar 9 tahun  yang
di anjurkan presiden Suharto itu, tak dapat di penuhinya.  Siapa­
kah  lagi yang mau mendengar jerit tangis dari tunas bangsa  yang
baik ini. Kemanakah dia harus bertanya?  Dan kepada siapakah  dia
harus mengadu?. Si murid ini menyesali orang tuanya. Kenapa orang
tuanya  tidak pandai mendekati orang-orang  penting,  sebagaimana
yang  di  lakukan oleh orang tua lainnya. Dia  marah  pada  orang
tuanya  dan  dia merasakan dalam pendidikan juga  sulit  di  cari
keadilan.

Betapa  sedih dan berdukanya dunia pendidikan  kalau  bibit-bibit
baik itu telah di tebas, sewaktu mereka baru menyembulkan  tunas-
tunasnya.  Alangkah  rusaknya citra pendidikan  jika  memang  ada
rekayasa terhadap NEM.

Saya salut dan angkat tangan pada pak Basri Kakanwil dikbud  yang
bertekad akan memriksa kembali setiap lembaran jawaban soal  yang
di  buat oleh murid dan mecocokkan hasilnya dengan NEM  si  anak.
Agar yang benar itu muncul dengan sendirinya. Dan saya  mengusul­
kan  agar  yang memeriksa kembali itu  orang-orang  yang  netral,
jangan  orang-orang yang akibat jabatannya  ingin  mempertahankan
korpsnya
"Ya  Allah  perlihatkan bahwa yang benar itu  adalah  benar.  Dan
izinkan kami berjalan pada jalan_Mu yang benar ini. Dan perlihat­
kan pulalah bahwa yang salah itu adalah salah, dan tolonglah kami
menjauh dari jalan yang salah itu".

P a d a n g  17 Juli 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar