Dulu saya sering bertanya kepanjangan PS itu
"penilik sekolah"
atau "pemilik sekolah". Karena wibawanya
sangat tinggi, dan semua
guru sangat hormat padanya. Setiap
katanya di perhatikan. Dia
akan mencari dan menyelidiki kalau-kalau ada
kesalahan yang di
kerjakan oleh guru-guru. Maka kalau pak PS akan datang, sekolah
di benahi, murid-murid disuruh rapi, tertib,
Perlihatkan pada pak
PS bahwa sekolah kita yang terbaik.
Maka ketika saya duduk di
bangku SD, saya sangat kagum pada Pak
PS yang sedang "Turne"
denga topi lebar di kepalanya. "Hebat benar
bapak ini " Kata saya
dalam hati. Guru yang paling saya
takuti, segani dan hormati,
ternyata di hadapan pak PS jadi sangat kecil.
Inilah kesan saya
setiap kali Pak PS mengunjungi sekolah kami ketika
saya duduk di
SD dulu.
Setelah masa berlalu, tentu tugas pak PS
lebih berat dari yang
dulu. Saya takut kalau masa kini,
karena perubahan zaman yang
demikian cepat, fungsi PS berubah
pula, Sehingga wibawanyapun
jadi berkurang. Karena perubahn ini yang
dianggap sah-sah saja.
Lalu saya mengkhayal dan bermenung.
Andaikan...., entah kenapa saya suka ber
andai-andai. Andaikan
satu kali datang seorang PS ke sebuah sekolah SD, bukan mencari
kesalahan sang guru, tapi justru menyuruh
guru "berbuat salah".
Akan apalah jadinya pendidikan ini. Misalnya tiba-tiba datang
seorang PS menyuruh guru
menyulap NEM. Nilai yang Murni itu
disuruh cemari. Dari merah di jadikan biru. dari
lima di jadikan
sepuluh. Kalaulah seperti itu akan bagaimana
jadinya pendidikan
yang di percayakan pada PS ini?. Saya takut,
tapi mudah-mudahan
ini hanya sebuah khayalan. Saya takut
membayangkan kalau ada PS
yang justru kerjanya untuk mengawasi
para guru, lalu menyuruh
guru merekayasa NEM..wah...wah..wah saya ngeri.
Sewaktu seorang anak di tanya
:"Dapatkah olehmu ujian matematik
itu?" Si murid menggeleng karena soalnya
sulit. Jangankan murid.
Guru sendiripun ada yang tak dapat
menjawabnya. Betapa terkejut
nya murid ketika dalam NEMnya tertera angka
"sepuluh". Ketika ada
soal ilmu sosial yang menyuruh terangkanlah atau
uraikanlah. Lalu
si murid tidak dapat menjawab semua soal. Betapa
terkejutnya dia
ketika menyaksikan NEM nya dapat
"sepuluh".
Lalu si murid SD berkesimpulan.
Ternyata dengan jawaban yang
tidak menjawab semua soal, kita dapat angka
sepuluh. Dia terher
an-heran "Mudah sekali".
Maka dalam diri sianak hilang daya
juang. Dalam diri si anak di perlihatkan ke
tidak jujuran. Anak
yang masih bau kencur, yang seharusnya
kepadanya diperlihatkan
hal yang bersih dan murni. Jauh dari kecurangan.
Nanti pribadinya
kan tercemar dan rusak. Dan kalau
kelak jadi pemimpin, jadi
pemimpin kayak apa dia nantinya.
Orang tua yang melihat anaknya dibawa ke
pendidikan yang demi
kian, tentu akan marah dan sedih. Lalu bermohon
pada guru. Lihat
kanlah bahwa NEM itu adalah NEM. Kalau Nilai
Ebtanas Murni, ter
nyata tidak murni. Ini sangat meracuni jiwa dan
watak si anak.
Kita tidak tahu dan tidak mengerti
kalau ada seorang tua yang
tega meracuni jiwa si anak, dengan jalan ber
"Kulosi" dengan para
pemeriksa soal. Teganya orang tua yang
senang hati melihat NEM
anaknya tinggi, padahal kemampuan anaknya rendah.
Ah kalau semua ini terjadi, mau di bawa
kemana pendidikan kita
ini?. Saya sedih menyaksikan anak-anak
yang pintar yang jadi
juara sejak dari kelas satu sampai kelas enam.
Lalu dia stress di
cimooh oleh anak-anak yang rangking jauh di
bawahnya, dapat di
terima di sekolah negeri. Sedangkan dia yang
sering jadi utusan
sekolah dalam acara
"Cepat-cermat". Membawa harum nama sekolah
nya. Selama ini dibanggakan oleh guru dan orang
tuanya. Tiba-tiba
harus menerima kenyataan tak dapat
melanjutkan sekolah ke SMP.
Karena dia tak melamar selain dari SMP
1. Mau keswasta. Swasta
sudah tutup. Mau SMP negeri tak mungkin lagi.
Banyak anak-anak pintar. Sejak awal
dapat rangking. Yang seha
rusnya dia merupakan Siswa teladan dan
undangan, semestinya di
perebutkan oleh SMP agar SMP itu terangkat pula
namanya. Sekarang
bibit-bibit baik, bibit-bibit unggul itu
mengalami stress, tiap
sebentar menangis, karena Wajar atau wajib
belajar 9 tahun yang
di anjurkan presiden Suharto itu, tak dapat di
penuhinya. Siapa
kah lagi yang mau mendengar jerit tangis
dari tunas bangsa yang
baik ini. Kemanakah dia harus bertanya? Dan kepada siapakah dia
harus mengadu?. Si murid ini menyesali orang
tuanya. Kenapa orang
tuanya tidak pandai mendekati orang-orang
penting, sebagaimana
yang di lakukan oleh orang tua
lainnya. Dia marah pada orang
tuanya dan dia merasakan dalam
pendidikan juga sulit di cari
keadilan.
Betapa sedih dan berdukanya dunia pendidikan
kalau bibit-bibit
baik itu telah di tebas, sewaktu mereka baru
menyembulkan tunas-
tunasnya. Alangkah rusaknya citra
pendidikan jika memang ada
rekayasa terhadap NEM.
Saya salut dan angkat tangan pada pak Basri
Kakanwil dikbud yang
bertekad akan memriksa kembali setiap lembaran
jawaban soal yang
di buat oleh murid dan mecocokkan hasilnya
dengan NEM si anak.
Agar yang benar itu muncul dengan sendirinya. Dan
saya mengusul
kan agar yang memeriksa kembali itu
orang-orang yang netral,
jangan orang-orang yang akibat jabatannya
ingin mempertahankan
korpsnya
"Ya Allah perlihatkan bahwa yang
benar itu adalah benar. Dan
izinkan kami berjalan pada jalan_Mu yang benar
ini. Dan perlihat
kan pulalah bahwa yang salah itu adalah salah, dan
tolonglah kami
menjauh dari jalan yang salah itu".
P a d a n g
17 Juli 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar