Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Hari ini, disini di tempat ini di Istana Negara ini. Saya panjatkan puji
Syukur ke hadirat illahi. Atas izin_Nya kami suami istridi perkenankan
mengikuti detik-detik proklamasi 17 Agustus 1996.Kami bisa hadir di
tempat ini adalah berkat sepucuk surat undangan. Bunyi surat
undangan itu ringkas saja. _Presiden Republik
Indonesia Mengharapkan kehadiran Saudara Suami Istri, pada Upa
cara Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan ke 51 Republik Indo
nesia. Hari Sabtu tanggal 17 Agustus 1996 pukul 10.00
WIB di
halaman Istana Merdeka".
Berbekal surat undangan itulah kami suami istri menghadiri saat-
saat yang bersejarah itu. Namun karena
tinggalnya jauh dari
Istana, kami terlambat tiba di bandingan dengan para
undangan
lain yang lebih dulu telah menempati tempat dimuka. Kami kebagian
tempat yang agak di belakang.
Saya berfikir bagaimana supaya dapat tempat di depan, karena saya
ingin sekali menyaksikan anak saya IRDHAN yang hari ini di per
caya mengibarkan bendera. Saya cari akal, dan dengan
berbekal
Handy Cam di tangan kanan dan tustel di tangan kiri saya menyelu
sup kedalam rombongan wartawan, sehinga saya dapat
ke depan
bersama-sama dengan wartawan foto. Hari ini saya berlagak seperti
"Mat kodak". Beruntung sekali saya dapat merekam semua
peristiwa
peringatan detik-detik proklamasi ini.
Betapa terharunya hati ini sewaktu anggota Paski Braka memasuki
lapangan dan melakukan tugasnya menggerek bendera. Melalui kamera
handy cam saya intip Irdhan saya ikuti kemana langkahnya dan saya
rekam setiap gerak geriknya. Disaat dia membentangkan
Bendera.
Namanya di sebut. SMU I di sebut, Padang di sebut dan
Sumatera
Barat di sebut, kemudian nama saya beserta istri di sebut. Saat
itu pula kamera saya jadi kabur. Kabur karena setetes air memba
sahinya. Basah karena air mata saya tumpah di kamera itu.
Saya
ngak tahan, tanpa saya sadari air mata ini menetes,
mengalir
membasahi kamera, tangan sayapun bergetar memegang kamera,
sehingga hasil rekamannya bergetar dan bergoyang. Getaran
rasa
haru ini tak dapat saya tahan. Saya malu dengan
wartawan di
sekitar saya. Dengan sapu tangan saya usap mata ini
dan saya
bersihkan kamera. Namun mata saya tetap kabur karena air mata itu
tak hendak berhenti. Gengengkah saya..?, entahlah,
tapi Aan,
panggilan irdhan telah mengoncangkan saya. Hati saya
tergetar,
mulut saya berbisik "Terima kasih Tuhan, air mata yang tumpah ini
adalah ungkapan rasa syukur kami atas nikmat_Mu". Tidak beranjak
saya dari tempat ini, walaupun tak dapat kursi saya tetap berdiri
sampai acara usai. Saya abadikan
setiap peristiwa. Sebentar saya
bidikan tustel. Sebentar saya arahkan kamera handy cam. Bermacam-
macam tingkah manusia yang dapat saya
rekam.
Seusai upacara, dengan setengah berlari kami berdua istri mencari
Irdhan di Wisma Negara. Saya peluk dia, saya cium pipinya
yang
kiri dan pipinya yang kanan. Ingat ketika dia masih di TK sebelum
berangkat ke sekolah. "Cium pipi yang kiri. cium pipi yang kanan,
cium sekali lagi Irdhan menjadi senang". Dia hafal banyak
lagu.
Sering dia mengumandangkan "Oh Ibu dan Ayah selamat pagi. Kupergi
sekolah sampaikan nanti". "Selamat belajar nak penuh
semangat,
rajinlah selalu tentu kau dapat". "Hormati gurumu sayangi
teman.
Itulah tandanya kau murid budiman".
"Aan ingin jadi murid budiman" katanya suatu hari. Hari ini
saya
bisikkan ketelinganya "Aan engkau telah jadi
murid budiman,
engkau kebangaan papa nak, Engkau anak negara, engkau anak indo
nesia". "Karena engkaulah, mama dan papamu terundang ke
Istana,
terima kasih anakku". Saya cium dia sekali
lagi. Dipangilnya
teman-temannya, satu persatu kami di kenalkannya. Begitu
juga
kepada pelatihnya. satu demi satu pelatih ini kami salami dengan
mengaturkan ribuan terima kasih. Atas bimbingan mereka Anak-anak
ini berhasil dan sukses.
Di Istana ini saya merenung, terbayang ketika Aan SMP dia menemui
saya. "Aan merasa rendah diri di tengah teman-teman,pa.
Karena
lidah Aan tak lurus menyebut huruf "R". Setiap kali
bicara Aan
merasa malu" katanya. Ketika itulah saya
memacu dan memberi
sugesti "Lihatlah" kata saya; sembari mencontohkan ayah
temannya
Ustadz Arwan kasri. Arwan Kasry juga tak lurus menyebut "R"
tapi
beliau ahli berpidato dan tak merasa rendah diri atas kekurangan
ini. Justru kekurangan ini yang menjadi cambuk untuk lebih maju".
"Bila kau berkata bisa, kau akan bisa, nak !. Percayalah
pada
dirimu sendiri" bisik saya di telinganya. Tiap hari dilatihnya
dirinya mengucapkan huruf "R". Akhirnya dia bisa,
rasa rendah
dirinya pun hilang. Justru sekarang dia suka
berciloteh dan
"Malawak". Bekal itu pulalah yang agaknya mendorong dia
sehingga
melalui perjuangan yang berat. Sejak dari seleksi di SMU 1 Pa
dang. Kemudian berkompetisi diantara siswa SMU se kota
Padang.
Lalu berlanjut ke tingkat SUMBAR. Alhamdulillah dia lewat.
Dan
dia lewat lagi ketika seleksi dari 27 Propinsi dia terpilih masuk
barisan delapan dan dia mengembangkan dan mengibarkan bendera di
Istana Keperesidenan.
Sekali lagi saya persembahkan puji Syukur ke Hadirat_Nya. Karena
hanya Dialah yang telah mengatur semua ini. Kita hanya menjalan
kan saja. Dan kepada Aan pun saya suruh sujud syukur. menyampai
kan rasa terima kasih karena do'anya setiap shalat tahjud telah
di kabulkan Tuhan.
Terima kasih Tuhan dan terima kasih semua. Pada PPI, pada
para
pelatih. pada guru-guru,
pada jajaran dep. dikbud
dan semua
pihak yang tak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.
Untuk semua itu saya ingin sampaikan sebuah Firman Suci_Nya dalam
Al_Qur'an surat AN NASR :
__Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan
Dan Engkau melihat manusia masuk kedalam agama Allah berbondong-
bondong.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepa
da_Nya. Sesunguhnya Dia adalah penerima Tobat".
Jakarta hari 17 bulan delapan tahun 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar