Selasa, 12 November 2013

P A S K I B R A K A


Oleh : Dr.H.K.Suheimi

Hari ini, disini di tempat ini di Istana Negara ini. Saya panjatkan puji Syukur ke hadirat illahi. Atas izin_Nya kami suami istridi perkenankan mengikuti detik-detik proklamasi 17 Agustus  1996.Kami bisa hadir di tempat ini adalah berkat sepucuk surat  undangan.  Bunyi  surat undangan itu ringkas saja.  _Presiden  Republik
Indonesia  Mengharapkan kehadiran Saudara Suami Istri, pada  Upa
cara Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan ke 51 Republik  Indo
nesia.  Hari  Sabtu tanggal 17 Agustus 1996 pukul  10.00  WIB  di
halaman  Istana Merdeka".

Berbekal surat undangan itulah kami suami istri menghadiri  saat-
saat  yang  bersejarah  itu. Namun karena  tinggalnya  jauh  dari
Istana,  kami  terlambat tiba di bandingan dengan  para  undangan
lain yang lebih dulu telah menempati tempat dimuka. Kami kebagian
tempat yang agak di belakang.

Saya berfikir bagaimana supaya dapat tempat di depan, karena saya
ingin  sekali menyaksikan anak saya IRDHAN yang hari ini di  per
caya  mengibarkan  bendera. Saya cari akal, dan  dengan  berbekal
Handy Cam di tangan kanan dan tustel di tangan kiri saya menyelu
sup  kedalam  rombongan  wartawan, sehinga saya  dapat  ke  depan
bersama-sama dengan wartawan foto. Hari ini saya berlagak seperti
"Mat kodak". Beruntung sekali saya dapat merekam semua  peristiwa
peringatan detik-detik proklamasi ini.

Betapa  terharunya hati ini sewaktu anggota Paski Braka  memasuki
lapangan dan melakukan tugasnya menggerek bendera. Melalui kamera
handy cam saya intip Irdhan saya ikuti kemana langkahnya dan saya
rekam  setiap gerak geriknya. Disaat dia  membentangkan  Bendera.
Namanya  di sebut. SMU I di sebut, Padang di sebut  dan  Sumatera
Barat  di sebut, kemudian nama saya beserta istri di sebut.  Saat
itu pula kamera saya jadi kabur. Kabur karena setetes air  memba
sahinya.  Basah karena air mata saya tumpah di kamera  itu.  Saya
ngak  tahan,  tanpa saya sadari air mata  ini  menetes,  mengalir
membasahi  kamera,  tangan  sayapun  bergetar   memegang  kamera,
sehingga  hasil rekamannya bergetar dan bergoyang.  Getaran  rasa
haru  ini  tak  dapat saya tahan. Saya malu  dengan  wartawan  di
sekitar  saya.  Dengan sapu tangan saya usap mata  ini  dan  saya
bersihkan kamera. Namun mata saya tetap kabur karena air mata itu
tak  hendak  berhenti. Gengengkah saya..?,  entahlah,  tapi  Aan,
panggilan  irdhan telah mengoncangkan saya. Hati  saya  tergetar,
mulut saya berbisik "Terima kasih Tuhan, air mata yang tumpah ini
adalah ungkapan rasa syukur kami atas nikmat_Mu". Tidak  beranjak
saya dari tempat ini, walaupun tak dapat kursi saya tetap berdiri
sampai acara usai.  Saya abadikan setiap peristiwa. Sebentar saya
bidikan tustel. Sebentar saya arahkan kamera handy cam. Bermacam-
macam tingkah manusia yang  dapat saya rekam.

Seusai upacara, dengan setengah berlari kami berdua istri mencari
Irdhan  di Wisma Negara. Saya peluk dia, saya cium  pipinya  yang
kiri dan pipinya yang kanan. Ingat ketika dia masih di TK sebelum
berangkat ke sekolah. "Cium pipi yang kiri. cium pipi yang kanan,
cium  sekali lagi Irdhan menjadi senang". Dia hafal banyak  lagu.
Sering dia mengumandangkan "Oh Ibu dan Ayah selamat pagi. Kupergi
sekolah  sampaikan nanti". "Selamat belajar nak  penuh  semangat,
rajinlah selalu tentu kau dapat". "Hormati gurumu sayangi  teman.
Itulah tandanya kau murid budiman".

"Aan ingin jadi murid budiman" katanya suatu hari. Hari ini  saya
bisikkan  ketelinganya  "Aan  engkau telah  jadi  murid  budiman,
engkau kebangaan papa nak, Engkau anak negara, engkau anak  indo
nesia".  "Karena engkaulah, mama dan papamu terundang ke  Istana,
terima  kasih  anakku". Saya cium dia  sekali  lagi.  Dipangilnya
teman-temannya,  satu  persatu kami di kenalkannya.  Begitu  juga
kepada pelatihnya. satu demi satu pelatih ini kami salami  dengan
mengaturkan ribuan terima kasih. Atas bimbingan mereka  Anak-anak
ini berhasil dan sukses.

Di Istana ini saya merenung, terbayang ketika Aan SMP dia menemui
saya.  "Aan merasa rendah diri di tengah  teman-teman,pa.  Karena
lidah  Aan tak lurus menyebut huruf "R". Setiap kali  bicara  Aan
merasa  malu"  katanya.  Ketika itulah saya  memacu  dan  memberi
sugesti "Lihatlah" kata saya; sembari mencontohkan ayah  temannya
Ustadz Arwan kasri. Arwan Kasry juga tak lurus menyebut "R"  tapi
beliau ahli berpidato dan tak merasa rendah diri atas  kekurangan
ini. Justru kekurangan ini yang menjadi cambuk untuk lebih maju".
"Bila  kau  berkata bisa, kau akan bisa, nak !.  Percayalah  pada
dirimu  sendiri" bisik saya di telinganya.  Tiap hari  dilatihnya
dirinya  mengucapkan  huruf "R". Akhirnya dia bisa,  rasa  rendah
dirinya  pun  hilang.  Justru sekarang dia  suka  berciloteh  dan
"Malawak". Bekal itu pulalah yang agaknya mendorong dia  sehingga
melalui  perjuangan yang berat. Sejak dari seleksi di SMU  1  Pa
dang.  Kemudian berkompetisi diantara siswa SMU se  kota  Padang.
Lalu  berlanjut ke tingkat SUMBAR. Alhamdulillah dia  lewat.  Dan
dia lewat lagi ketika seleksi dari 27 Propinsi dia terpilih masuk
barisan delapan dan dia mengembangkan dan mengibarkan bendera  di
Istana Keperesidenan.

Sekali lagi saya persembahkan puji Syukur ke Hadirat_Nya.  Karena
hanya Dialah yang telah mengatur semua ini. Kita hanya  menjalan
kan saja. Dan kepada Aan pun saya suruh sujud syukur.  menyampai
kan  rasa terima kasih karena do'anya setiap shalat tahjud  telah
di  kabulkan  Tuhan.

Terima  kasih Tuhan dan terima kasih semua. Pada PPI,  pada  para
pelatih.  pada  guru-guru,  pada jajaran dep.  dikbud  dan  semua
pihak yang tak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.

Untuk semua itu saya ingin sampaikan sebuah Firman Suci_Nya dalam
Al_Qur'an surat AN NASR :

__Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan
Dan Engkau melihat manusia masuk kedalam agama Allah  berbondong-
bondong.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah  kepa
da_Nya. Sesunguhnya Dia adalah penerima Tobat".

Jakarta hari 17 bulan delapan tahun 1996




Tidak ada komentar:

Posting Komentar