Jumat, 15 November 2013

S A Y U R B E R U L A T


Oleh : Dr. H.K.Suheimi

  Sayur  yang  berulat tidak laku, kalaupun di  beli  harganya
murah.  Kadang-kadang  sayur berulat ini hanya  di  berikan  pada
binatang. Sering sayur berulat ini jadi sampah dan di  campakkan.
Orang  akan memilih sayur yang mulus, yang subur dan yang  besar-
besar. Lalu timbul pernyataan; "Sayur berulat harus  disingkirkan
dan tidak baik untuk di makan". Pernyataan ini mengundang pertan­
yaan,  apakah  memang demikian?.

  Waktu saya dengar kuliah subuh dari pakar dan ketua konsumsi
makanan  seluruh  Indonesia dan juga ahli gizi.  ternyata  beliau
berpendapat  lain.  Kalau boleh, kata beliau dalam  acara  Hikmah
Fajar melalui RCTI. "Saya akan menganjurkan, pilihlah sayur  yang
ada  ulatnya,  atau tampak daunnya robek bekas  di  makan  ulat".
Mula-mula saya kaget akan pernyataan itu, karena selama ini  saya
selalu  memusuhi  ulat dan jijik melihat  ulat  dan  berpandangan
jelek  terhadap ulat. Tapi di pagi ini ketika saya  mendapat  per 
nyataan  dan  anjuran dari pakar gizi Dengan alasan,  pada  sayur
yang  ada ulatnya berarti disayur itu ulat bisa hidup,  dan  ulat
yang  mamakan  sayur itu tidak mati atau tidak sakit.  Jadi  ulat
dapat dijadikan sebagai ukuran, bahwa sayur atau buah=buahan  itu
baik  dan layak untuk di makan. Karena pada sayuran  yang  mulus,
yang  rancak  dan kelihatan besar-besar dan gemuk, ulat  tak  mau
mampir  dan  memakan sayur itu mungkin karena sayur  itu  terlalu
banyak  di sirami peptisida. Dan sayur yang mengandung  peptisida
tak akan di sentuh oleh  ulat.

  Ulat dengan nalurinya menjauh dan menghindar dari peptisida.
Siapa  tahu sayur yang demikian mengandung kadar  peptisida  yang
tingi. Dan kita tahu peptisida adalah racun, akan meracuni  semua
organ  tubuh  dan  merupakan zat carsino  genik  atau  merangsang
terjadinya  penyakit  kanker. Semua orang ingin  menghindar  dari
kanker  dan menghindar dari keracunan dan menjauh dari  kemungki­
nan-kemungkinan itu dengan menjauhi diri dari makanan yang berma­
cam-macam.

  Secara alamiah ulat jadi petunjuk bahwa sayur atau buah aman
untuk  dimakan, dengan melihat ulat memakan dan hidup  diatasnya.
Pada  sayur yang begini tugas kita hanya menyingkirkan  ulat  dan
mengambil daunnya yang masih baik. Karena di lapisan dalamya akan
ada daun-daun yang lebih segar dan baik. Mendengar penuturan yang
demikian, saya jadi termenung dan tercenung. Ulat yang selama ini
saya  benci dan saya jijik, rupanya perlu dan di  butuhkan.  

  jadi  tolok  ukur dalam kita memilih  sayuran  dan  makanan.
Karena dizaman sekarang ini  kita sukar dan sulit sekali  memilih
makan segar sehat dan menyehatkan. Makanan kita sudah banyak yang
terkontaminasi, makanan kita sudah banyak yang tercemar.

  Kalau dulu sayur-sauran di tanam jauh di puncak gunung, tapi
kini  sayur dan tanaman banyak ditanam orang di pinggir  jalanan.
Di pinggir jalan banyak mobil bersileweran, dan setiap mobil yang
lewat  mengeluarkan  zat beracun dan  carbon  monoksida.  Berarti
setiap  detik sayur di pinggir jalan itu di sirami  oleh  knalpot
mobil  yang lewat.  Zat-zat kotor dan beracun ini  menempel  pada
daun sayur. lantas daun ini pula yang di makan.

  Jadi  kalau  dapat memilih , kata pakar gizi  itu.  Pilihlah
sayuran  pegunungan,  yang di tanam dengan  pupuk  alamiah  pupuk
kandang atau dari sisa-sia dan tahi hewan hewan.

  Maka  di  toko-toko besar di luar negeri  sayur  dengan  cap
alamiah ini lebih mahal dan jadi rebutan. Bentuknya tidak  begitu
besar  dan  warnanyapun sedikit pucat, namun dia  alami.  Seperti
kata istri saya sewaktu membeli sayur kangkung. Lebih enak membe­
li  kangkung  yang batangnya kurus dan kecil dari  pada  kangkung
yang  batang  nya besar. Yang halus ini memang  telah  terseleksi
oleh alamiah, sedangkan yang besar-besar itu telah di beri tamba­
han  macam-macam  zat, atau semacam rekayasa.  Jadi  kalau  boleh
memilih, kata istri saya, kita cari juga yang alamiah terseleksi,
biar  agak mahal sedikit. Sebagaimana ayam kampung dan  telurnya,
walaupun  kecil dan lebih mahal, namun saya lebih  suka,  katanya
lagi. Back to natural.

  Di  pagi subuh ini saya merenung, rupanya  binatang-binatang
yang saya jijik dan benci, ternyata bermanfaat dan menolong manu­
sia untuk mendeksi apakah makanan baik untuk manusia atau tidak.

  Memang  ilmu menggunakan dan minta tolong pada binatang  ini
sejak  dulu  telah di kembangkan, dan orang banyak  bertanya  dan
berpedoman  pada  binatang. Seperti di Rusia,  orang  menggunakan
lalat, lalat mempunyai penciuman yang tajam untuk mendeksi bau di
udara. Lalat ini di bawa ke dalam tambang-tambang, untuk mendeksi
apakah  di  dalam tambang ada gas beracun.  Lalatlah  nanti  yang
memberikan sinyal memalui elektrode yang di pasang di  kepalanya,
bahwa  disatu  tempat ada gas beracun yang tak  di  ketahui  oleh
manusia, sehingga manusia terhindar dari menghirup gas beracun.

  Orang  Amerika bertanya kepada bubur (ubur-ubur)  laut  yang
punya selaput yang sangat tipis yang dapat meramalkan apakah satu
daerah akan dilanda topan atau badai. Karena sealput membran yang
ada  pada lapisan ubur-ubur laut dapat mendeteksi perubahan  atau
getaran  yang terjadi di permukaan laut. Sehingga  manusia  dapat
menghindar dan menyelamatkan diri kalau jauh sebelumnya di  keta­
hui satu daerah akan dilanda bencana.

  Manusiapun  mempergunakan  belalang  untuk  mengetahui   dan
meramalkan akan terjadi gempa di satu daerah. Karena sistem saraf
yang ada dikaki belalang dapat mengetahui apakah ada  peregerakan
yang  halus di bawah kulit bumi sana, sehingga dengan cara  demi­
kian dapat di tentukan daerah tertentu akan di landa gempa.

  Dengan  melihat  dan  dengan  mengamati  perangai  binatang,
sering orang tua, memberikan petuah akan gejala-gejala alam  yang
terjadi. Kalau ada ular yang masuk kampung atau ada binatang buas
turun dari gunung, maka kata tetua, gunung akan meletus.

Begitulah alam dan segenap isinya memberikan tanda-tanda dan
gejala, tinggal kita mengamati tanda dan gejala itu. Cuma  sering
kita lalai dan terlupa akan peringatan=peringatan alam yang  jauh
sebelumnya  telah melihatkan tanda-tanda dan  gejala.  Dianjurkan
kita membaca dan belajar dari gejala alam, karena alam ini adalah
ayat_Nya,  dan alam tunduk pada sunnah_Nya. Perintah  untuk  kita
pelajarilah  Sunnatullah, dari sana kita akan mengerti  dan  tahu
serta akan selamat di dunia atau di akhirat.


  Dan  pagi  ini  saya dapat pengalaman  berharga.  Ulat  yang
memakan sayur, berarti sayur itu belum tercemar oleh racun pepti­
sida. Ah macam-macam saja, "nan alun diliek lah diliek, nan  alun
di  danga lah tandanga. Alam takambang di jadikan  guru".  Memang
Tuhan  tidak sia-sia dalam menjadikan sesuatu untuk jadi  iktibar
untuk di petik pelajaran oleh manusia.

  Adat kitapun menuntun yang bak kian; Pandai melihat bukit di
balik  pandakian. Pandangan jauh ke depan. Jauh dapek  di  jalang
hampie  dapat  disilau, babunyi dapek di  caliek,  badabua  ombak
dapek diliek pasienyo.

  Untuk  semua itu saya teringat akan sebuah  Firman  Suci_Nya
\dalam  Al_Qur'an surat  Al Baqarah ayat 26 :
"  Sesungguhnya Allah tidak merasa malu memberi  perumpamaan
apa  saja,  seperti  nyamuk atau yang lebih  kecil  lagi.  Adapun
orang-orang beriman mengetahui bahwa itulah kebenaran dari  Tuhan
mereka. adapun orang yang kafir berkata "Apakah yang di kehendaki
Allah dari perumpamaan ini?" Dengan perumpamaan ini banyak  orang
yang di sesatkan  dan banyak pula orang yang di beri_Nya hidayah;
dan Allah tidak membiarkan kesesatan dengan ini, melainkan orang-
orang yang fasik(durhaka)


P a d a n g  25 Januari  1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar