Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Setiap kali saya menyaksikan film orang memanjat tebing
yang
curam dan mengerikan, bulu kudukku berdiri. Saya ngeri dan saya
gamang. Melihat anak-anak muda memanjat pinggiran batu
karang
yang terjal di bukit lampu, saya jadi merinding. Saya takut jika
anak-anak itu terjatuh. Dalam hati saya mengumpat sendiri, ah
pekerjaan yang sia-sia, tak ada hasilnya, Resikonya terlalu besar
dan bahayanya terlalu hebat. Apakah kerja mereka ini seperti tak
ada kerja yang lain. Maka olah raga yang paling saya takuti dan
saya coba hindari itu adalah olah raga panjat tebing. Saya ndak
mengerti juga, kalau saya berada di ketinggian dan tempat
yang
curam, saya gamang, rasakan terjatuh. Saya takut berada di tempat
yang tinggi dan mengerikan itu. Makanya setiap kali ada acara dan
pertunjukkan panjat tebing saya tak suka melihatnya.
Tapi itu pulalah yang terjadi
pada diri ini. Justru apa yang
saya takuti dan saya cemaskan itu pulalah yang di
gemari dan
menjadi hobby anak saya Ihsan. Dan akhir-akhir ini di ikuti pula
kesukaan panjat tebing ini oleh adiknya Irdhan.
Saya terkejut, Ketika ada
pertandingan tingkat nasional, dia
membawa penghargaan masuk 10 besar dalam panjat tebing. Rivalnya
dan lawan bertandingnya kebanyakan mahasiswa, sedang dia
baru
duduk di SMA kelas III.
Tanpa saya sadari
rupanya secara diam-diam dia melatih
dirinya memanjat tebing , memanjat dinding. Dia senang
sekali
menjelajah. Sebentar dia sudah kembali dari puncak
Singgalang.
Sebentar dia sudah kembali dari Puncak Merapi. Ada beberapa te
mannya yang se hobby. Satu kali dia minta izin berkemah di Alahan
Panjang. Beberapa hari kemudian diperlihatkannya foto-foto awan
berada di bawahnya. Foto apa ini kata saya bengong. Dengan minta
maaf dia berkata. "Ini foto diatas puncak Gunung Kerinci
Pa"
katanya sedikit ketakutan. Saya mau marah, tapi untung cepat saya
kendalikan. Toh dia sudah selamat kembali dari puncak
Kerinci,
Gunung yang tertinggi di Sumatera. Dalam hati saya marah,
tapi
bercampur kagum. Saya sendiri tak berani mendaki puncak Singga
lang atau Merapi. Apalagi Gunung Kerinci, tapi dia yang
dalam
pandangan saya masih kecil baru SMA sudah kembali dari
puncak
Gunung Kerinci. Dia telah memupuskan ketakutan saya. Diperlihat
kannya foto-foto yang lain. "Luar biasa diatas
puncak Gunung
kerinci itu pa" katanya dengan bangga. Pada hal perut saya sudah
merumas mendengarnya.
Begitupun ketika dia
menyerahkan piagam dan hadiah dari
hasil lomba panjat tebing. Panjat tebing yang saya paling ngeri,
justru dia membawa
piagam-piagam pulang, Di sekolah walaupun
bulan puasa dia latihan memanjat dinding. Di pertokoan Matahari
ada perlombaan dia ikut dan juga jadi panitia, Di GOR
H Agus
Salim. Dalam kengerian saya itu, eh tahu-tahu adiknya Irdhanpun
sudah melengkapi dirinya pula dengan tali, paku-paku dan
ikat
pinggang untuk safety. Saya ngak bisa berkutik, dalam hati saya
melarang. Tapi di pihak lain saya bangga,
Anak-anakku telah
menaklukkan ketakutan saya sendiri. Mau marah bagaimana. Untung
saya teringat syair Khalil Gibran
"Kau boleh menyayanginya, tapi jangan tumpahkan bentuk dan
alam
fikiranmu, karena dia punya alam dan fikirannya sendiri.
Kau boleh bikinkan rumah untuk raganya, tapi jagan untuk jiwanya.
Karena jiwanya adalah penghuni rumah masa depan
yang takkan
mungkin kau kunjungi sekalipun itu dalam mimpi-mimpimu.
Kau boleh menirunya tapi jangan paksa dia menirumu. Karena kehi
dupan itu tak pernah mengalir mundur dan hidup
ini bukanlah
terpancang pada hari kemarin".
Saya sudah beranjak tua sering
gamang dan sering takut, tapi
takut pada diri sendiri. Banyak sekali yang saya takutkan.
Dan
banyak yang menghantui saya. Ada-ada saja yang saya cemas
dan
khawatirkan. Saya takut melepas anak mendaki gunung karena bahaya yang
akan menimpanya. Sebelum dia pulang dari pendakian
saya
selalu harap-harap cemas
akan keselamatannya, cemasnya hati
seorang bapak. Sering saya panjatkan doa untuk keselamatan anak
saya ini. Sebelum dia pulang dan sebelum nampak puncak hidungnya
saya cemas. Saya cemas kalau saya tahu dia sedang ikut bertanding
panjat tebing, atau sedang latihan panjat-memanjat. Tapi saya tak
bisa terlalu melarangnya, karena semua anak
saya laki-laki.
Sekarang Irdhan dan Irhampun ketagihan pula
memanjat seperti
Ihsan yang sudah mulai jadi pelatihnya
Disatu pihak hati saya
melarang, tapi di pihak lain saya
bangga kalau dia dengan wajah berseri-seri membawa
piala dan
penghargaan. Tak lepas hati saya berseru dan mendoa setiap kali
melepas kepergiaannya. "Ah saya takut pada diri saya
sendiri"
kata saya setengah menghibur diri sendiri. "Ah
ketakutan yang
berlebihan ulang saya berkali-kali, setiap mendengar dia memanjat
tebing. Namun saya tetap tak berani menyaksikan panjat
tebing
itu.
Hari ini saya masuk
kekamarnya, tampak dia tidur sangat
lelap. Disisinya ada penghargaan keberhasilannya memanjat tebing
yang curam. Saya pandang wajah itu, wajah anak saya yang dulunya
sangat kecil, tapi sekarang sudah jauh berubah jadi pemuda dewa
sa, dengan otot yang melingkar di lengan dan dadanya,
otot se
orang lelaki yang telah banyak menaklukan tebing dan mendaki gu
nung. Saya berbisik padanya "Ihsan engkau telah taklukkan tebing
dan gunung, engkau telah taklukkan ketakutan papa akan tebing dan
Gunung" Maafkan papa, nak.., selama ini papa
terlalu banyak
melarang dan menghalangi kemauanmu. ternyata engkau punya prinsip
dan sangat keras dalam mewujudkan cita-citamu". "Gapailah,
daki
lah, panjatlah yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi, sehingga
kelak kau mengerti di dunia ini banyak yang harus kita taklukkan,
bayak yang harus digapai. Engkau telah memulainya, engkau telah
sirnakan ketakutan dalam diri papamu, engkau telah
taklukkan
tebing demi tebing, semoga engkau berjaya pula dalam menaklukkan
setiap kesulitan dalam hidup ini. Tempuhlah jalan
yang penuh
berbatu dan berkerikil anakku. Supaya kau tak
canggung kelak
menempuh bebatuan dan kerikilnya kehidupan, selamat tidur anakku,
simpan tenagamu untuk menghadapi hari esok kelak.
Dicermin tempat dia belajar terbaca
tulisan;
Jalan mencapai puncak
Berpikirlah apa yang kau hadapi
Adalah kesempatan dan bertindaklah dengan keyakinan
!
Karena kau memang mampu
V V !
Terus naik
š
š
!
Jangan hiraukan terjalnya tebing
” ” !
Dalamnya jurang
ÒÒ!
Serta derasnya badai
V V !
Percayalah
Ä
Ä
!
Semangatmu adalah suluh
¨
¨
!
Adalah mentari pemberi
terang
Ê Ê !
Pemberi hangat hingga dirimu tetap tegar
Œ
Œ
!
Sementara kaki dan tanganmu gemetar
,,!
Tengadahkan wajahmu
¢ ¢ !
Dan lihatlah
æ
æ
!
Sejengkal lagi kau
mencapai puncak
[1]
[1]
!
Kini Kau boleh berdiri tegak
¶
¶
!
Tatap dan tantanglah dunia
Ä
Ä
!
Katakan bahwa kau mampu
„
„
Lalu saya berbisik di telinganya "Kalau kau berpikir bisa,
pasti kau bisa anakku" Untuknya saya hadiahkan sebuah Firman
Suci_Nya dalam Al-Qur'an surat Al Balad ayat 11-16;
"Tetapi mereka tiada mau menempuh jalan mendaki lagi sukar.
Tahukah engkau apakah jalan mendaki dan lagi sukar itu?
Yaitu melepaskan budak dari perbudakan (melepaskan orang
dari
penderitaan)
Atau memberi makan di hari-hari kelaparan
Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat
Atau kepada orang miskin dan melarat".
P a d a n g 3 Februari 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar