Kamis, 21 November 2013

MEMANJAT TEBING



Oleh : Dr.H.K.Suheimi

  Setiap kali saya menyaksikan film orang memanjat tebing yang
curam  dan mengerikan, bulu kudukku berdiri. Saya ngeri dan  saya
gamang.  Melihat  anak-anak muda memanjat pinggiran  batu  karang
yang terjal di bukit lampu, saya jadi merinding. Saya takut  jika
anak-anak  itu  terjatuh. Dalam hati saya mengumpat  sendiri,  ah
pekerjaan yang sia-sia, tak ada hasilnya, Resikonya terlalu besar
dan bahayanya terlalu hebat. Apakah kerja mereka ini seperti  tak
ada  kerja yang lain. Maka olah raga yang paling saya takuti  dan
saya  coba hindari itu adalah olah raga panjat tebing. Saya  ndak
mengerti  juga, kalau saya berada di ketinggian dan  tempat  yang
curam, saya gamang, rasakan terjatuh. Saya takut berada di tempat
yang tinggi dan mengerikan itu. Makanya setiap kali ada acara dan
pertunjukkan panjat tebing saya tak suka melihatnya.
  Tapi itu pulalah yang terjadi pada diri ini. Justru apa yang
saya  takuti  dan saya cemaskan itu pulalah yang  di  gemari  dan
menjadi hobby anak saya Ihsan. Dan akhir-akhir ini di ikuti  pula
kesukaan panjat tebing ini oleh adiknya Irdhan.
  Saya terkejut, Ketika ada pertandingan tingkat nasional, dia
membawa penghargaan masuk 10 besar dalam panjat tebing.  Rivalnya
dan  lawan  bertandingnya kebanyakan mahasiswa, sedang  dia  baru
duduk di SMA kelas III.
  Tanpa  saya  sadari  rupanya secara  diam-diam  dia  melatih
dirinya  memanjat  tebing , memanjat dinding. Dia  senang  sekali
menjelajah.  Sebentar dia sudah kembali dari  puncak  Singgalang.
Sebentar  dia sudah kembali dari Puncak Merapi. Ada beberapa  te
mannya yang se hobby. Satu kali dia minta izin berkemah di Alahan
Panjang.  Beberapa hari kemudian diperlihatkannya foto-foto  awan
berada di bawahnya. Foto apa ini kata saya bengong. Dengan  minta
maaf  dia  berkata. "Ini foto diatas puncak  Gunung  Kerinci  Pa"
katanya sedikit ketakutan. Saya mau marah, tapi untung cepat saya
kendalikan.  Toh dia sudah selamat kembali dari  puncak  Kerinci,
Gunung  yang tertinggi di Sumatera. Dalam hati saya  marah,  tapi
bercampur  kagum. Saya sendiri tak berani mendaki puncak  Singga
lang  atau  Merapi. Apalagi Gunung Kerinci, tapi dia  yang  dalam
pandangan  saya  masih kecil baru SMA sudah kembali  dari  puncak
Gunung Kerinci. Dia telah memupuskan ketakutan saya.  Diperlihat
kannya  foto-foto  yang lain. "Luar biasa  diatas  puncak  Gunung
kerinci itu pa" katanya dengan bangga. Pada hal perut saya  sudah
merumas mendengarnya.
  Begitupun  ketika  dia menyerahkan piagam  dan  hadiah  dari
hasil lomba panjat tebing. Panjat tebing yang saya paling  ngeri,
 justru  dia  membawa piagam-piagam pulang,  Di  sekolah  walaupun
bulan  puasa dia latihan memanjat dinding. Di pertokoan  Matahari
ada  perlombaan  dia ikut dan juga jadi panitia, Di  GOR  H  Agus
Salim.  Dalam kengerian saya itu, eh tahu-tahu adiknya  Irdhanpun
sudah  melengkapi  dirinya pula dengan tali, paku-paku  dan  ikat
pinggang  untuk safety. Saya ngak bisa berkutik, dalam hati  saya
melarang.  Tapi  di  pihak lain saya  bangga,  Anak-anakku  telah
menaklukkan  ketakutan saya sendiri. Mau marah bagaimana.  Untung
saya  teringat syair Khalil Gibran
"Kau  boleh menyayanginya, tapi jangan tumpahkan bentuk dan  alam
fikiranmu, karena dia punya alam dan fikirannya sendiri.
Kau boleh bikinkan rumah untuk raganya, tapi jagan untuk jiwanya.
Karena  jiwanya  adalah  penghuni rumah masa  depan  yang  takkan
mungkin kau kunjungi sekalipun itu dalam mimpi-mimpimu.
Kau boleh menirunya tapi jangan paksa dia menirumu. Karena  kehi
dupan  itu  tak  pernah mengalir mundur dan  hidup  ini  bukanlah
terpancang pada hari kemarin".

  Saya sudah beranjak tua sering gamang dan sering takut, tapi
takut  pada diri sendiri. Banyak sekali yang saya  takutkan.  Dan
banyak  yang  menghantui saya. Ada-ada saja yang saya  cemas  dan
khawatirkan. Saya takut melepas anak mendaki gunung karena bahaya yang  akan  menimpanya. Sebelum dia pulang  dari  pendakian  saya
selalu  harap-harap  cemas  akan  keselamatannya,  cemasnya  hati
seorang  bapak. Sering saya panjatkan doa untuk keselamatan  anak
saya ini. Sebelum dia pulang dan sebelum nampak puncak  hidungnya
saya cemas. Saya cemas kalau saya tahu dia sedang ikut bertanding
panjat tebing, atau sedang latihan panjat-memanjat. Tapi saya tak
bisa  terlalu  melarangnya,  karena semua  anak  saya  laki-laki.
Sekarang  Irdhan  dan Irhampun ketagihan  pula  memanjat  seperti
Ihsan  yang sudah mulai jadi pelatihnya
  Disatu  pihak  hati saya melarang, tapi di pihak  lain  saya
bangga  kalau  dia dengan wajah berseri-seri  membawa  piala  dan
penghargaan.  Tak lepas hati saya berseru dan mendoa setiap  kali
melepas  kepergiaannya.  "Ah saya takut pada diri  saya  sendiri"
kata  saya  setengah menghibur diri sendiri. "Ah  ketakutan  yang
berlebihan ulang saya berkali-kali, setiap mendengar dia memanjat
tebing.  Namun  saya tetap tak berani menyaksikan  panjat  tebing
itu.

  Hari  ini  saya masuk kekamarnya, tampak  dia  tidur  sangat
lelap. Disisinya ada penghargaan keberhasilannya memanjat  tebing
yang curam. Saya pandang wajah itu, wajah anak saya yang  dulunya
sangat kecil, tapi sekarang sudah jauh berubah jadi pemuda  dewa
sa,  dengan  otot yang melingkar di lengan dan dadanya,  otot  se 
orang  lelaki yang telah banyak menaklukan tebing dan mendaki  gu
nung. Saya berbisik padanya "Ihsan engkau telah taklukkan  tebing
dan gunung, engkau telah taklukkan ketakutan papa akan tebing dan
Gunung"  Maafkan  papa,  nak.., selama ini  papa  terlalu  banyak
melarang dan menghalangi kemauanmu. ternyata engkau punya prinsip
dan sangat keras dalam mewujudkan cita-citamu". "Gapailah,  daki
lah, panjatlah yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi,  sehingga
kelak kau mengerti di dunia ini banyak yang harus kita taklukkan,
bayak  yang harus digapai. Engkau telah memulainya, engkau  telah
sirnakan  ketakutan  dalam diri papamu,  engkau  telah  taklukkan
tebing demi tebing, semoga engkau berjaya pula dalam  menaklukkan
setiap  kesulitan  dalam hidup ini. Tempuhlah  jalan  yang  penuh
berbatu  dan  berkerikil anakku. Supaya kau  tak  canggung  kelak
menempuh bebatuan dan kerikilnya kehidupan, selamat tidur anakku,
simpan tenagamu untuk menghadapi hari esok kelak.

  Dicermin tempat dia belajar terbaca tulisan;

Jalan mencapai puncak
Berpikirlah apa yang kau hadapi
Adalah kesempatan dan bertindaklah dengan keyakinan

!
Karena kau memang mampu

    V V !
Terus naik
    š
š
!
Jangan hiraukan terjalnya tebing
    ” ” !
Dalamnya jurang
    ÒÒ!
Serta derasnya badai

    V V !
Percayalah
    Ä
Ä
!
Semangatmu adalah suluh
    ¨
¨
!
Adalah mentari pemberi terang
    Ê Ê !

Pemberi hangat hingga dirimu tetap tegar
    Œ
Œ
!
Sementara kaki dan tanganmu gemetar
    ,,!
Tengadahkan wajahmu
    ¢ ¢ !
Dan lihatlah
    æ
æ
!
Sejengkal lagi kau mencapai puncak
    [1]
[1]
!
Kini Kau boleh berdiri tegak
   
!
Tatap dan tantanglah dunia
    Ä
Ä
!
Katakan bahwa kau mampu
   


 
Lalu  saya berbisik di telinganya "Kalau kau berpikir  bisa, 
pasti  kau  bisa anakku" Untuknya  saya hadiahkan  sebuah  Firman 
Suci_Nya dalam Al-Qur'an surat Al Balad ayat 11-16;
"Tetapi mereka tiada mau menempuh jalan mendaki lagi sukar.
Tahukah engkau apakah jalan mendaki dan lagi sukar itu?
Yaitu  melepaskan  budak dari perbudakan (melepaskan  orang  dari 
penderitaan)
Atau memberi makan di hari-hari kelaparan
Kepada anak yatim yang ada hubungan kerabat
Atau kepada orang miskin dan melarat".

P a d a n g  3 Februari 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar