Jumat, 15 November 2013

S E A T T L E


Oleh : Dr.H.K.Suheimi

Seattle,  kota pelabuhan yang mengasyikkan,  terletak  dalam

sebuah  teluk yang besar di lautan Pasifik. Lautan  Pasifik  yang

terkenal dengan ombak dan gelombang yang ganas, menjadi jinak  di

Seattle  karena seattle adalah lautan yang menjorok  ke  daratan,

sehingga  terlindung dari gunung-gunung, dan  lautannya  terkesan

tenang, sehingga di laut ini sangat banyak kita lihat kapal-kapal

yang  berlabuh  dan  kapal-kapal pribadi yang  di  gunakan  untuk

rekreasi  dan  untuk penagkap ikan. Sehingga sepanjang  jalan  di

Seattle  selalu  nampak  lambang ikan  bergantungan,  karena  ini

adalah kota ikan, tempat semua orang pergi memancing dan tersedia

kapal  dan  fasilitas untuk melepaskan candu memancing.  Di  tepi

pantainya  ada Aquarium yang besar, namun saya  hanya  menatapnya

saja  dari  luar, karena kami tak punya waktu untuk  boleh  masuk

kedalam,  keinginanan untuk masuk ini saya pendam. Memang  setiap

kali saya melihat ada aquarim saya selalu ingin  menyaksikanikan-

ikan dan bianatang lautnya, namun, karena kami pergi  berombongan

keinginan itu saya tekan.

  Di  Seattle kami juga di bawa keliling ke  tempat  pembuatan

pesawat BOING  yang semua angkanya selalu diawali dengan angka 7,

 Di FAbrik pesawat Boing, angka tujuh adalah angka keramat. BAnyak

alat-alat  berat, dan banyak alat-alat canggih yang  nampak  dari

luar.  Dari  luar memang karena kami tidak masuk  kedalam  fabrik

pembuatan  alat-alat berat ini. DAri jauh terlihat  betapa  besar

lokasi  tempat pembuatan pesawat dan peralatannya,  dari  sinilah

mengalir dan di bagi-baginya pesawat Boing, sehingga kota Padang­

pun ke bagian dengan adanya pesawat 737 dengan penerbangan dengan

MANDALA.

  Pertama menginjakkan Kaki di Amerika kami menginap di  Hotel

Meamy  Tower, Hotel bertingkat 15 yang terkesan manis dan  mewah.

Pelayan  dan  yang  mengakat barang-barang  kami  kekamar  adalah

cewek-cewek.  Perempuan muda yang cukup manis dan  sigap,  dengan

enteng  dia mengangkat kedua koper yang besar dan berat.  Padahal

satu  koper  saja berat bagi saya untuk mengangkatnya,  tapi  dia

enak saja mengangkat sekali dua koper-koper tersebut, bukan hanya

koper  saya saja,tapi koper semua rombongan. Dari  103  rombongan

yang  ikut tour 72 diantaranya mampir ke seattle, terlungguk  dan

terkumpul koper-koper besar yang diangkat cewek cakap tangkas dan

kuat dari pelayan hotel di Meany Tower Hotel. saya ngak  mengerti

entah kenapa.

  Hari ini Kamis 15  September 1994 kami nikmati dengan  makan

malam di Restoran china yang terasa gurih dan menerbitkan selera,

dengan penuh canda yang tak habis-habisnya keluar lelucon dari Dr

Ucke,  dr  Suhartono Ds, dari Dr Hasnah Siregar dan  saya  bumbui

dengan lelucon dari kampung halaman. Jadilah malam itu malam yang

penuh canda dan penuh tawa. Sakit geraman saya karena  selama  2

jam tertawa terbahak-bahak. Kemudian belanja sedikit di toko-toko

disana,  sebagian  teman-teman pergi ke Tower yaitu  puncak  yang

tertinggi di Seattle, dan dari puncak ini dapat menikmati  peman­

dangan  yangpenuh  pesona ke segala penjuru  kota  seattle,  tapi

badan saya lah letih dan saya bersama Prof Armi, pulang ke hotel,

karena beliau sejak berangkat dari Padang sudah tak enak badan.

  Di Penyebrangan jalan di zebra cross di seattle, karena  ada

mobil yang mau lewat, sedangkan kami mau ke seberang bersama  Dr.

Biran dan keluarga, saya agak tertegun dan berhenti, karena mobil

iu  melaju  dengan kencang. eh tiba-tiba  terdengar  perintah  :"

Terus  saja" kata Dr Biran Affandi memberi komando  jangan  ragu,

betul  mobil  itu berhenti menantikan kami lewat,  padahal  jarak

antara kami dengan mobil itu cukup jauh. "Suheimi", kata dr Biran

lagi  "disini Amerika, kalau kita mau melintasi Zebra Cross  maka

mobil  yang  berhenti  menunggu kita  lewat,  karena  sopir-sopir

sangat takut, kalau sampai ada penyebrang yang terkena  tabrakan,

maka  sangsinya  di  anggap sama dengan  pembunuhan,  mereka  tak

berani melanggar aturan". Lalu kami menyeberang dan mobil  dengan

patuh  dan sabar menunggu kami lewat dari  penyeberangan,  Memang

saya rasakan di Disini di seattle di Amerika, peraturan dipatuhi,

mereka  menghormati  pejalan kaki. Berbeda dengan  di  Indonesia,

kita  yang menunggu mobil yang bersileweran dan membiarkan  mobil

melintasi  Zebra cross, padahal kalau di zebra cross  itu  adalah

hak  si  pejalan kaki, tapi di Amerika mobil yang  menunggu  mem­

biarkan kita lewat di Zebra Cross. Malam pertama di Amerika Seri­

kat  terasa  panjang  dan lama karena entah kenapa,  jam  3  pagi

terbangun  mata sukar di pejamkan, saya shalat Tahjud, tapi  mata

juga  tak hendak nak tidur, mungkin karena  seharian  duduk-duduk

saja, tidak bekerja dan tidak berolah raga, maka matapun tak  mau

di  pejamkan, tapi untunglah disini siaran TV nya hidup  24  Jam,

dari sekian  puluh channel, tingal kita pilih siaran  mana  yang

cocok.  Saya isilah waktu dengan menonton dan menonton,  sehingga

mata  yang sulit di pejamkan ini dapat menikmati film-film  bagus

dari TV.

  Pagi sekali jam 7 Kami sudah sarapan kemudian di bawa kelil­

ing  melihat  dan menyaksikan tempat-tempat  dan  kemewahan  Kota

Seattle.  Mulai dari Kampusnya yang dilingkupi pohon-pohon  hijau

dan  besar dengan banguann seperti Model Istana dan bangunan  tua

terkesan sangat luas, ayem dan nyaman, pekarang yang luas, rumput

yang  rapi  halus bagaikan permadani,  bunga-bungau  yang  tumbuh

rapi, mengesankan sebuah kampus yang bagi saya sangat megah. Saya

ngak tahu berapa dana untuk pendidikkan ini, tapi melihat  keter­

aturan  dan  ke hebatan kampus ini, terbayang dari sini  akan  di

hasilkan  orang-orang  yang berkualitas tinggi.  Berjam=jam  kami

mengelilingi  kota seattle, kota tempat bertemunya  kepala=kepala

negara beberapa bulan yang lalu, yang saya ingat adalah Pak HArto

ketemu Clinton adalah di tempat ini.

  Puas keliling cuci mata dan belanja,  terkesan masyarakatnya

yang  rajin dan mau kerja. Namun yang tak enak di Pandang  adalah

ternyata  di kota yang semegah ini. Di Pojok-pojok jalan  dan  di

lorong  dan  antar toko yang satu dengan yang lain,  banyak  saya

lihat  pengemis yang merusak pandangan mata, dan  sebagian  besar

mereka  yang berkulit hitam, tapi juga ada yang  berkulit  putih.

Beda  dengan  pengemis di Indonesia, mereka tidak  nampak  cacat,

badannya  tegap,  tapi hanya kemalasan saja yang  membawa  mereka

lari  jadi pengemis. Saya malas dan benci melihat mereka,  disaat

orang lain kerja membanting tulang dan  tak mengenal siang  atau­

pun  malam, eh mereka enak-enak menampung tangan, pada  hal  bad­

annya tegap.

  Seattle  kami  tinggalkan setelah santap siang  di  Restoran

china  yang  mnghidangakan makanan sangat banyak  melimpah  ruah,

sehinga  tak  ada diantara kami yang dapat  menghabiskan  makanan

yang  datangnya  bertubi-tubi. Karena perjalanan yang  akan  kami

tempuh cukup jauh memakan waktu menuju Canada ke kota Van Couver,

saya  bersama Dr Enud dan Dr Sumedi meminjam Ruangan di  Restoran

itu untuk Shalat Lohor di jamakkan dengan 'Asyar.

  Orang  china disini tak mengerti apa itu Shalat dan apa  itu

Prayer, dan setelah kami yakinkan dan kami cuma minta satu  ruan­

gan untuk melaksanakan shalat, barulah dizinkannya. Betapa  teduh

dan betapa lega rasanya setelah kewajiban menunaikan Shalat. Lalu

saya  teringat  sebuah Firman suci_Nya dalam Al-Qur'an  :"  Bahwa

sesunguhnya manusia itu dalam keadaan resah dan gelisah,  kecuali

mereka yang Shalat".


Seattle 16 September 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar