Jumat, 08 November 2013

N E L A Y A N



Oleh : Dr. H. K.Suheimi

Nenek moyangku orang pelaut, menempuh ombak tiada takut

Nenek  moyang  saya memang orang pelaut, pencari  ikan  jadi 

Nelayan  di  tepi pantai, dan waktu kecil  sayapun  sering  ikut-

ikutan kelaut, berbiduk berdayung sampan dan mencari ikan.  Tidak

mudah dan sangat sulit menangkap ikan, apalagi kalau hari  sedang

buruk, badai datang dan laut berombak. Bergelut dengan  gelombang

dan  bermain  dengan  maut, terbuai-buai  dan  terayun-ayun  oleh

gelombang  dan  terhempas oleh ombak. Saya tak pernah  lupa  akan

semua  itu, namun saya kelaut juga namun saya menangkap  dan  me­

mancing juga. Kebiasaan ini sampai ekarang masih melekat, mungkin

karena darah dagingnya adalah nelayan.

LAlu hari ini Senin 21 November 1994, terbetik berita,  Ikan

melimpah  Nelayan Payah, hati saya terenyuh membaca  berita  itu,

memang itu satu kenyataan.

Beberapa hari yang lalu saya pergi ke pasir kandang membeli  ikan

yang  baru saja keluar dari bagan di laut. Banyak bagan di  Pasir

kandang  dan banyak nelayan di sana, serta banyak  pula  pedagang

membeli  dan  menjual ikan di pasir putih  itu.   Ketika  seorang

nelayang  menawarkan  ikannya hampir penuh sekeranjang,  saya  se

akan-akan  tak  percaya, karena sebanyak itu ikan  d  tawarkannya

hanya  Rp 3000,-. Saya tidak bisa menawar, kasihan ikan  sebanyak

itu,  hampir  sekeranjang cuma Rp 3000,-. Ikan yang  masih  baru,

matanya  putih dan ingsangnya merah, belum masuk es, ikan  segar,

kesukaan saya. Tanpa di tawar ikan itu saya beli, oh betapa  mur­

ahnya.  "Beginilah  nasib  nelayan pak, ikan  banyak  dapat  tapi

harganya  sangat murah, payah-payah kelaut saja,  ndak  sebanding

antara  modal  untuk melaut dengan hasil yang  didapat".  Kadang-

kadang  kalau ndak terjual atau ndak bisa di jemur  ikan-ikan  ni

kami kubur pak.

Sore hari seorang Nelayan yang berasal dari Carocok  Painan,

kebetulan  datang  membawa istrinya berobat. "Memang  di  carocok

Painan ber ton-ton ikan-ikan ini kami kubur, karena sudah  membu­

suk, padahal memangkapnya tidak mudah ". keluhnya. "Mau di  jemur 

hari berkabut, matahari ndak panas, dan tempat untuk  menjemurpun 

sudah  tak  ada karena ikan-ikan yang banyak  dan  melimpah.  Dan 

kalaupun  jadi  ikan kering yang di gunakan untuk  makanan  ayam, 

harganya  ndak sebanding dengan modal yang di keluarkan".  "Kalau 

ikan-ikan itu di kirim ke Padang, mungkin lebih besar ongkos dari 

pada  harga  ikan itu sendiri". "Payah jadi Nelayan,  waktu  masa 

sulit  ikan susah di tangkap, waktu ikan banyak  harganya  sangat 

murah  sekali". Di jual ndak ada pembeli, di tahan dia  membusuk, 

dan akhirnya ber ton-ton ikan itu kami kuburkan". Keluhnya sambil 

merenungi nasib para Nelayan. Kami tak punya alat untuk pendingin 

sebagai  pengawet ikan, seperti yang di punyai Nelayan di  Banyu­

mas. Kamipun ndak punya fabrik yang dapat memproses ikan  menjadi 

lebih  berguna.  Kami tahu di luar negeri  ikan-ikan  ini  sangat 

mahal,  tapi disini, ikan-ikan itu di buang dan di  kubur,  cilo­

tehnya lagi.

Malam  mata  saya ndak mau tidur memikirkan nasib  para  Ne­

layan,  karena di tubuh saya ini mengalir darah nelayan.  Kadang-

kadang terfikir. Bagaimana kalau ada inisiatif pemerintah mendir­

ikan sebuah fabrik ikan Sardencis. Karena ikan ini sekalengnya Rp

5000,-.  Sedangkan  isinya cuma 3 ekor. Betapa  tertolongnya  ne­

layan,  sehingga ikannya ndak jadi di kubur dan  pendapatannyapun 

meningkat.  Kadang-kadang terfikir lagi, kalau di  pingir  pantai 

diadakan  satu  tempat  pemyimpanan atau lemari  es  yang  besar, 

sehingga  dapat  menampung ikan-ikan yang tak habis  di  konsumsi 

penduduk,  bisa disimpan sebagai cadangan dan  persiapan.  Karena 

ikan-ikan  di laut tempo-tempo sangat sukar di tangkap dan  sulit

di cari.

Kemudian  fikiran  lain yang menghingapi saya  adalah,  agar

nelayan  membentuk  organisasi, dan  organasiasi  ini  memberikan 

batas maksimal seseorang boleh menangkap ikan, seperti OPEC  yang 

membatasi anggotanya menghasilkan minyak, supaya harganya  stabil 

dan tidak jatuh.

   


 
Karena  saya lihat, hanya nelayan yang bisa menangkap  ikan, 

maka  nelayan  pulalah yang dapat menentukan berapa  banyak  ikan 

yang  mau  di tangkap dengan memperhitungkan kemampuan  dan  daya 

beli  dan daya serap orang memakan ikan.  Dengan  demikian  harga 

ikan tetap stabil. Jadi nelayan tak usah repot-repot, kalau sudah 

sampai  batas maksimal dia harus menepi dan menjual iaknnya.  Dan 

orangpun ndak bisa mempermainkan harga ikan. Harga ikan di tentu­

kan oleh Nelayan. Agar jangan ada ikan-ikan yang di tangkap  tapi 

sia-sia  karena  di buang atau di jual dengan harga  yang  sangat 

murah.  Toh ikan yang belum tertangkap hari ini, esok  kan  masih

menjadi milik nelayan. Jai nelayan tidak perlu memforsir tenagan­

ya dan dapat menghemat ikan di laut, yang akhirnya boleh di  kata

milik  sang nelayan. Sebagaimana kata sebuah pepatah.  Waktu  ada 

jangan  di makan, waktu tak ada baru di makan. Se  akan-akan  Ne­

layan menyimpan dan menanam ikan di laut, yang dapat di  petiknya

bila harganya mahal kelak.

Hal  lain yang hinggap di fikiran saya adalah, kalau  memang

ada  ikan yang sudah membusuk ndak bisa di manfaatkan lagi,  dari

pada  di kubur, lebih baik buang ke laut lepas. di Laut dia  akan

jadi  makanan bagi ikan-ikan yang lain, agar supaya ikan-ikan  di

laut  lepas  semakin mendekat dan makin  berkembang  biak  karena

dapat  makanan protein, dengan demikian ndak ada ikan  yang  ter­

buang percuma. Atau tebarkan diatas karang-karang, disana  banyak

ikan Kurapu, ikan tando dan jenis-jenis ikan karang dan ikan hias

yang  harganya  jauh lebih mahal. Dia tumbuh dan  dia  berkembang 

dengan pesat, tiba masanya nelayan memetiknya.

Agaknya  pemerntah dan pengusaha perlu melirik  sektor  ini, 

apakah  dengan mendirikan Fabrik ikan kaleng  ataukah  mendirikan 

kamar pendingin dan pengawet, semuanya terpulang pada kita bersa­

ma.  Karena  kita butuh Nelayan, kita butuh penangkap  ikan  yang 

tangguh  supaya  kita dan anak cucu dapat gizi dan  makanan  yang 

terbaik.  Maka  kewajiban kitalah  memperhatikan  kehidupan  para 

Nelayan dan mengangkat derjat serta harkat hidup mereka.  Agaknya 

ini  adalah usaha dan amal yang paling besar. Ikan-ikan tidak  di 

kubur,  nasib saudara-saudara kita nelayan terangkat.  Pemerintah 

kuat  dan  rakyatpun  sehat,  ekonomi  meningkat.   Siapa...siapa     

orangnya  yang mau infestasi dan terjun di bidang pengawetan  dan

fabrik  ikan kaleng ini?. Pintu terbuka, nelayan berharap,  usaha

ni dapat sonongan dan Allahpun Redha.

Maka menghidupkan dan menghidupi ikan adalah lebih baik dari 

pada mematikannya. DAn akan menghidupi nelayan dan keluarganya.

Kelemahan  manusia  di  akibatkan oleh  kenyataan  bahwa  ia

diciptakan Tuhan sebagai mahkluk yang lemah, tidak tahan menderi­

ta, pendek fikiran dan sempit pandangan, serta gampang  mengeluh.

Manusia  dapat meningkatan kekuatannya dalam kerjasama dan  dapat

memperkecil kelemahannya dalam kerja sama. 

Maka manusia dituntut untuk bisa saling mendengar  sesamanya

dan  mengikuti mana saja dari sekian banyak  pandangan  manusiawi

itu paling baik.Sehingga terjadi pula hubungan saling  mengingat­

kan akan apa yang benar dan baik, serta keharusan mewujudkan yang

benar dan baik itu dengan tabah dan sabar

Untuk  semua itu saya teringat akan sebuah Firman  suci_Nya  yang

artinya sebabgai berikut :

"  Barang siapa melakukan usaha penuh kesungguhan itu,  maka

Allah  akan  menunjukkan  berbagai  (tidak  satu)  jalan   menuju

kepada_Nya (Q,29:69).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar