Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Pincuran banyak di Sungai Puar di pinggang
Gunung Merapi.
Setiapkali saya pergi kesana selalu mandi di
Pincuran. Ria dan
Uke sewaktu kecil selalu mengajak saya
mandi kesana. Ria tahu
betul di mana pincuran yang lengang
dan di mana pincuran yang
airnya banyak dan bersih. Tempo-tempo kami
harus menapak diatas
pematang sawah, dan sambil menggatok
padi pulut di sepanjang
jalan ke Pancuran. Enaknya bersama mandi di
pancuran, bersiram-
siraman, ber sembur-semburan, main
perang-perang air. Betapa
sejuknya kepala di sirami oleh air
pegunungan yang sejuk dingin
dan kadang-kadang kelihatan seperti ber
asap-asap. Pincuran ini
pulalah yang menjadi daya tarik, sehingga kalau
ada waktu libur,
saya ingin pergi ke Sungai Puar dan mandi,
mencuci sepuas hati.
Air yang tercurah dari pincuran itu bagaikan tak
habis-habisnya.
Karena di lereng Gunung Merapi itu banyak
sarasah-sarasah. Dan
sarasah yang besar saya lihat adalah di Badorai,
enak mandi dan
berenang di bawah sarasah di Badorai ini,
sebagaimana enak dan
sejuk serta indahnya pemandangan
dari ketinggian Merapi. Di
Badorai banyak di tanam orang tebu yang
besar-beasar dan manis-
manis. Juga ada pondok-pondok
tempat menglang tebu, memeras
airnya dengan bantuan seekor kerbau
yang memutar mesin untuk
memeras tebu. Dan juga dari sarasah di
Badorai ini di jadikan
sumber Air untuk tenaga Listrik. Enak memang
berlibur di Sungai
puar, udaranya dingin, sejuk dan
penduduknyapun ramah serta
rajin. Kerajinan tangan yang terkenal
adalah kerajinan Sungai
Puar, begitupun ukiran-ukirannya. DAn ahli
besi juga banyak di
Sungai Puar, mereka sangat ligat dan lihai
dalam membentuk besi
mau di jadikan apa. "Tepalah besi selagi
panas, kata orang disi
tu. Bukan hanya besi tapi juga jahit
menjahit sulam menyulam,
semua ada di Sungai Puar. Di pinggang Gunung
Merapi itu ada ke
rukunan dan ada ke rajinan dan ada ke ramah-tamahan
dan ada ke
indahan alamnya dan tentu, tentu ada pincuran.
Sedang asyik mengawasi dan memandikan si Ria da si
Uke yang
bergelut-gelut di bawah pincuran. Lalu mata
saya terpaku meman
dang Talang pincuran. Disamping, di bawah,
di kiri dan di kanan
talang pincuran itu terlihat berlumut, ke
hijauan dan terkesan
kotor. Padahal disana air terus mengalir,
dan air yang mengalir
disitu membersihkan. Tapi kenapa, kenapa
talang tempat air pin
curan itu lewat terkesan kotor?. Padahal di
bawahnya setiap hari,
tidak berhenti orang membersihkan diri,
membersihkan kain, mem
bersihkan alat-alat dapur, tapi kenapa tak
seorangpun yang melen
goh keatas membersihkan pincuran itu sendiri. Ah
pincuran, malang
nasibmu, engkau senantiasa dan selalu membersihkan
orang lain dan
lingkunganmu, tapi tak banyak orang yang peduli
akan nasibmu. tak
ada tangan-tangan yang mempedulikanmu.
Engkau di biarkan kotor,
engkau di biarkan lapuk, engkau di biarkan
cabik-cabik dan koyak-
koyak. Padahal kau di butuhkan, kehadiranmu di
harapkan, kemana-
mana kau di cari, tapi setelah
ketemu engkaupun di lupakan.
Pincuran, engkau memancurkan kebaikkan, engkau
memanvurkan keber
sihan, engkau memancurkan ke maslahatan,
engkau adalah lambang
kebaikan dan kecurahan kasih
dansayang, namun engkau tak di
pedulikan. Banyak orang yang membutuhkanmu, tapi
tak banyak yang
berterima kasih padamu. Lalu saya teringat
memang banyak orang
yang tak pandai berteima kasih dan tak pandai
bersyukur.
Padahal setiap mereka yang pergi ke pincuran
adalah untuk
membersihkan dan mensucikan dirinya.
Banyak yang sudah bersih
jasmaninya tapi rohaninya ?
Maka melihat kenyataan bahwa
kalbu manusia masih tetap
terancam untuk menyimpang dari kesucian tanpa
terasakan oleh yang
bersangkutan sendiri, kesucian itu menjadi
mustahil tanpa manusia
terus menerus berjuang dan berusaha
mendekati Tuhan (Taqarrub).
Oleh karena itulah Tuhan menjadi tujuan
hidup, sekali gus pang
kalnya, dan kesungguhan manusia yang tak
kenal henti mendekati
Tuhan itu adalah makna hidup hakiki manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar