Oleh : Dr.H.K.Suheimi
"Anak-anak sekarang sulit dimengerti dan
tak mudah di paha
mi"
Kata beberapa orang tua, melihat perangai anak-anaknya. Dan
itu
pulalah yang saya alami hari ini Sabtu 2 Maret 1996. Pagi-
pagi sekali
Irdhan dengan pakaian lengkap minta izin ke B.Tinggi
dengan sepeda.
"Dengan sepeda?, bersama siapa?" kata saya seperti
tak percaya.
"Hanya sendirian" pintanya. "Kalau sendirian, lebih
baik
dengan papa, kebetulan papa juga ada urusan ke
B,Tinggi".
Dia ngak mau,
bermacam-macam alasan di kemukakannya. Sepeda sudah
disiapkannya,
ban sudah di gantinya, rem sudah di perbaikinya,
perlengkapan
sudah di masukkannya ke dalam tas sandang di pung
gungnya.
Saya lihat pagi itu, gayanya seperti orang Barat yang
sering
ketemu keliling Sumatera Barat dengan mengayuh sepeda.
"Sabtu
2 Maret ini, panas terik, lihatlah ramalan cuaca
tadi
malam"
kata saya ingin menghalanginya dan bermacam alasan lain
saya
kemukakan untuk mecegahnya jangan sampai pergi, namun tak
berhasil.
Dia tetap dengan pendirian. Rupanya dia sudah
lama
menginginkan
bersepeda ke B Tinggi, walaupun sendiri.
Satu
alasannya yang tak bisa saya bantah, ialah.
"Orang
Barat yang
kampungnya di seberang sana, yang tak lancar berbaha
sa,
justru keliling Sumatera Barat pakai sepeda. Keliling Mani
njau
dengan sepeda, keliling Singkarak dengan sepeda. Ke Istana
Pagaruyung
juga dengan sepeda. Kemana-mana mereka bersepeda, dan
sepeda
itu di sewanya dengan bayaran pakai jam-jaman".
Memang
saya
akui di mana-mana orang Barat bersepeda, sampai ke
dusun-dusun kecil terpencil yang belum pernah saya
kunjungi mereka
sudah ada pula
disana. Dengan bersepeda mereka lebih nyatu dengan
alam.
dan keindahan alam betul-betul dapat dinikmati dari atas
sepeda yang
berjalan lamabat dan udara terbuka. Indahnya alam ini
justru sangat
terasa dari mendayung sepeda yang bebas dari segala
polusi. Di
reguknya udara yang segar dinikmatinya panorama alam.
Dirasakannya
bahwa Alam Sumatera Barat, bukan main dan luar biasa
indahnya, dan
di syukurinya pemberian Tuhan ini.
Setiap kali berdebat dengan
anak-anak saya selalu kalah.
Ada-ada
saja alasannya, sehingga ke inginan yang lama di pendam
nya itu jadi
kenyataan. Dengan ransel di punggung, dengan topi di
kepala, dan
dengan kaca mata hitam di mata, dikayuhnya sepedanya
dengan
mengucapkan "Bismillahirrahmanirrahim".
Dilambaikannya
tangannya
mohon doa restu dari kami.
Di rumah saya tidak tenang. Macam-macam
fikiran yang terlin
ta.
Panas sangat terik, dia sendirian mendayung sepeda. Jangan
jangan
dia ndak kuat mendaki Silaiang kariang. Jangan-jangan
kakinya
kram, karena baru kali ini bersepeda sejauh itu. Karena
hati ini
gundah akan keselamatan Irdhan 3 jam kemudian kami susul
dia, di
sepanjang jalan saya sigi kesana kemari, kalau-kalau
sepedanya
jatuh atau bocor bannya, atau dia tidak kuat
lagi.
Didekat air
terjun di lembah anai, saya lihat dia berjuang menda
yung
sepeda mendaki pendakian demi pendakian. Kemauannya keras,
panas
yang terik tak di hiraukannya, pendakian yang tinggi di
taklukkannya.
Dari belakang dia kelihatan seperti orang Barat,
dari depan
baru kelihatan bahwa kulitnya lebih gelap. Ketika dia
bersitungkin
dipendakian Silaiang kariang ingin saya menyuruhnya
naik
mobil, tapi dia menggeleng, Saya ikuti dia dari belakang,
hingga
akhirnya dia sampai di B Tinggi. Betapa berseri mukanya,
betapa lega
wajahnya. Diangkatnya tangannya tinggi-tinggi "Alham
dulillah"
bisiknya. Lalu dia masuk kesebuah kamar, dan
sujud
syukur.
Kami ikut bangga ternyata dia berhasil dipanas
terik
siang
itu sampai ke B Tinggi. Tapi dia berbisik "Ingin kelilng
SUMBAR
dengan sepeda". Sewaktu dia saya ajak pulang,
masukkan
saja
sepeda kedalam mobil. Dia menggeleng dia ke Padang
juga
dengan
sepeda. "Ah anak-anak sekarang, di belikan mobil justru
dia
pakai sepeda". Diantar kesekolah pakai mobil,
dia lebih
senang
pakai oplet. Kalaupun sempat diantar, minta turun jauh-
jauh
dari sekolah. Saya tidak mengerti, dulu ketika saya kecil
betapa
kepingin dan rindunya saya naik
mobil, tapi yang dapat
hanya naik
sepeda. Sekarang anak-anak di beri mobil dan sopir, eh
dia
minta sepeda. Orang Barat yang kemana pergi pakai
mobil
justru di sini
dia keliling sumbar meracak sepeda.
Irdhan, walaupun badannya letih. Dia berkata
:" Enak berse
peda dari
Padang B.Tinggi. Apa yang selama ini tak kelihatan dari
atas
mobil dapat di nikmati dari atas sepeda. Dan dengan tenaga
sendiri
mengayuh sepeda, memberikan kesan yang tersendiri".
Saya perhatikan badannya tampak
semakin kokoh dan kekar,
pipinya merah
kehitaman di sengat Mentari bulan maret. Dalam hati
sata
berpesan "Dakilah pendakian yang tinggi dengan
sepedamu,
nanti
akan kau daki liku-liku dan gunung kehidupan yang terdiri
dari
kerekel-kerekel tajam dan berbahaya"
Untuk itu saya ingin
hadiahkan untuknya sebuah Firman
Suci_Nya dalam Al-Qur'an surat Al Balad ayat 11-16:
"Tapi
manusia tidak mau menempuh jalan mendaki lagi sukar.
Tahukah engkau
apakah jalan mendaki dan sukar itu?.
Yaitu
melepaskan budak dari perbudakan (Melepaskan orang dari
kesukaran dan
penderitaan)
Atau memberi
makan di hari kelaparan
Kepada anak
yatim yang ada hubungan kirabat
Atau kepada
orang miskin yang melarat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar