Jumat, 15 November 2013

S E P E D A


Oleh : Dr.H.K.Suheimi

  "Anak-anak sekarang sulit dimengerti dan tak mudah di  paha­
mi"  Kata beberapa orang tua, melihat perangai anak-anaknya.  Dan
itu  pulalah yang saya alami hari ini Sabtu 2 Maret  1996.  Pagi-
pagi sekali Irdhan dengan pakaian lengkap minta izin ke  B.Tinggi
dengan sepeda. "Dengan sepeda?, bersama siapa?" kata saya seperti
tak percaya. "Hanya sendirian" pintanya. "Kalau sendirian,  lebih
baik  dengan papa, kebetulan papa juga ada urusan  ke  B,Tinggi".
Dia ngak mau, bermacam-macam alasan di kemukakannya. Sepeda sudah
disiapkannya,  ban sudah di gantinya, rem sudah  di  perbaikinya,
perlengkapan  sudah di masukkannya ke dalam tas sandang di  pung­
gungnya.  Saya lihat pagi itu, gayanya seperti orang  Barat  yang
sering  ketemu  keliling Sumatera Barat dengan  mengayuh  sepeda.
"Sabtu  2  Maret ini, panas terik, lihatlah  ramalan  cuaca  tadi
malam"  kata saya ingin menghalanginya dan bermacam  alasan  lain
saya  kemukakan untuk mecegahnya jangan sampai pergi,  namun  tak
berhasil.  Dia  tetap dengan pendirian. Rupanya  dia  sudah  lama
menginginkan  bersepeda ke B Tinggi, walaupun sendiri.

Satu  alasannya  yang tak bisa saya  bantah,  ialah.  "Orang
Barat yang kampungnya di seberang sana, yang tak lancar  berbaha
sa,  justru keliling Sumatera Barat pakai sepeda. Keliling  Mani
njau  dengan sepeda, keliling Singkarak dengan sepeda. Ke  Istana
Pagaruyung juga dengan sepeda. Kemana-mana mereka bersepeda,  dan
sepeda  itu  di sewanya dengan bayaran pakai  jam-jaman".  Memang
saya  akui di mana-mana orang Barat bersepeda, sampai  ke  dusun-dusun  kecil  terpencil yang belum pernah  saya  kunjungi  mereka
sudah ada pula disana. Dengan bersepeda mereka lebih nyatu dengan
alam.  dan keindahan alam betul-betul dapat dinikmati  dari  atas
sepeda yang berjalan lamabat dan udara terbuka. Indahnya alam ini
justru sangat terasa dari mendayung sepeda yang bebas dari segala
polusi. Di reguknya udara yang segar dinikmatinya panorama  alam.
Dirasakannya bahwa Alam Sumatera Barat, bukan main dan luar biasa
indahnya, dan di syukurinya pemberian Tuhan ini.

  Setiap  kali  berdebat dengan anak-anak saya  selalu  kalah.
Ada-ada  saja alasannya, sehingga ke inginan yang lama di  pendam 
nya itu jadi kenyataan. Dengan ransel di punggung, dengan topi di
kepala, dan dengan kaca mata hitam di mata, dikayuhnya  sepedanya
dengan  mengucapkan  "Bismillahirrahmanirrahim".   Dilambaikannya
tangannya mohon doa restu dari kami.

  Di rumah saya tidak tenang. Macam-macam fikiran yang terlin­
ta.  Panas sangat terik, dia sendirian mendayung sepeda.  Jangan
jangan  dia  ndak kuat mendaki  Silaiang  kariang.  Jangan-jangan
kakinya  kram, karena baru kali ini bersepeda sejauh itu.  Karena
hati ini gundah akan keselamatan Irdhan 3 jam kemudian kami susul
dia,  di  sepanjang jalan saya sigi  kesana  kemari,  kalau-kalau
sepedanya  jatuh  atau bocor bannya, atau dia  tidak  kuat  lagi.
Didekat air terjun di lembah anai, saya lihat dia berjuang menda­
yung  sepeda mendaki pendakian demi pendakian. Kemauannya  keras,
panas  yang  terik tak di hiraukannya, pendakian yang  tinggi  di
taklukkannya.  Dari belakang dia kelihatan seperti  orang  Barat,
dari depan baru kelihatan bahwa kulitnya lebih gelap. Ketika  dia
bersitungkin dipendakian Silaiang kariang ingin saya  menyuruhnya
naik  mobil, tapi dia menggeleng, Saya ikuti dia  dari  belakang,
hingga  akhirnya dia sampai di B Tinggi. Betapa berseri  mukanya,
betapa lega wajahnya. Diangkatnya tangannya tinggi-tinggi "Alham­
dulillah"  bisiknya.  Lalu dia masuk kesebuah  kamar,  dan  sujud
syukur.  Kami  ikut bangga ternyata dia  berhasil  dipanas  terik
siang  itu sampai ke B Tinggi. Tapi dia berbisik  "Ingin  kelilng
SUMBAR  dengan  sepeda". Sewaktu dia saya ajak  pulang,  masukkan
saja  sepeda  kedalam mobil. Dia menggeleng dia  ke  Padang  juga
dengan  sepeda. "Ah anak-anak sekarang, di belikan  mobil  justru
dia  pakai  sepeda".  Diantar kesekolah pakai  mobil,  dia  lebih
senang  pakai oplet. Kalaupun sempat diantar, minta  turun  jauh-
jauh  dari sekolah. Saya tidak mengerti, dulu ketika  saya  kecil
betapa  kepingin  dan rindunya saya naik mobil, tapi  yang  dapat
hanya naik sepeda. Sekarang anak-anak di beri mobil dan sopir, eh
dia  minta  sepeda.  Orang Barat yang kemana  pergi  pakai  mobil
justru di sini dia keliling sumbar meracak sepeda.

  Irdhan, walaupun badannya letih. Dia berkata :" Enak  berse­
peda dari Padang B.Tinggi. Apa yang selama ini tak kelihatan dari
atas  mobil dapat di nikmati dari atas sepeda. Dan dengan  tenaga
sendiri mengayuh sepeda, memberikan kesan yang tersendiri".

  Saya  perhatikan  badannya tampak semakin kokoh  dan  kekar,
pipinya merah kehitaman di sengat Mentari bulan maret. Dalam hati
sata  berpesan  "Dakilah pendakian yang tinggi  dengan  sepedamu,
nanti  akan kau daki liku-liku dan gunung kehidupan yang  terdiri
dari kerekel-kerekel tajam dan berbahaya"

  Untuk  itu  saya  ingin  hadiahkan  untuknya  sebuah  Firman
Suci_Nya dalam Al-Qur'an surat Al Balad ayat 11-16:

"Tapi manusia tidak mau menempuh jalan mendaki lagi sukar.
Tahukah engkau apakah jalan mendaki dan sukar itu?.
Yaitu  melepaskan  budak dari perbudakan (Melepaskan  orang  dari
kesukaran dan penderitaan)
Atau memberi makan di hari kelaparan
Kepada anak yatim yang ada hubungan kirabat
Atau kepada orang miskin yang melarat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar