Selasa, 22 Oktober 2013

PENJAJA KORAN



Oleh : Dr.H.K.Suheimi

Sebagai  penjaja  koran, saya harus bangun  pagi-pagi,  lalu 

menunggu  di simpang tembok, menunggu sang  agen  membagi-bagikan 

koran.  Saya  perlu beradu cepat dulu mendahului,  karena  begitu 

kita  dapat koran, langsung berlari dan berjalan cepat di  sepan­

jang  jalan, maka koran akan banyak terjual karena  kitalah  yang 

pertama bertemu dengan pembeli, dan orang-orang yang di  belakang 

kita,  korannya tidak akan banyak laku lagi karena jalan yang  di 

tempuh  itu  telah didahului oleh penjaja yang lain.  Saya  masih 

kecil,  baru kelas 5 Sekolah Rakyat, dalam berebut  koran  sering 

kalah,  biasanya saya dapat jatah dari tangan kedua, tentu  harga 

nya sedikit lebih. Kalau dari  tangan pertama, saya selalu  kalah 

berebut  dengan penjaja-penjaja koran yang lebih besar dan  lebih 

berpengalaman. Disamping saya dapat dari tangan yang kedua,  juga 

saya  kalah cepat menyelusuri jalan-jalan di B. Tinggi,  sehingga 

saya  sering  kalah bersaing. Saya ingat tahun itu  adalah  1958, 

Sumatera Barat bergolak. B.Tinggi sudah diduki oleh tentara pusat 

APRI.  Suara  letusan masih sering terdengar di sana  sini.  Kami 

telah terbiasa mendengar letusan itu, kami telah terbiasa menyak­

sikan mayat terbujur di jalanan kena tembak. Kami pernah  menyak­

sikan puluhan mayat di jejal di bawah jam gadang (sekarang tempat 

parkir  mobil), ada yang terburai perutnya ada yang pecah  kepala 

nya dan darah terserak disana sini. Peristiwa itu terjadi 23 Juli 

1958,  saat  Tentara PRRI sempat menduduki B.Tinggi  hampir  satu 

hari.  Dari  balik dinding rumah terdengar  tentara  berlari-lari 

memberikan  perintah sambil menembak. Semua peristiwa  itu  tidak 
 
ð73 Šmenyebabkan kami berhenti berusaha, tidak, kami terus  menjajakan 

koran. Koran waktu itu yang laris adalah Aman Makmur, Pedoman dan 

Haluan.  Mulai dari simpang tembok saya teriakkanlah  koran-koran 

yang  saya bawa, terus ke pasar atas, simpang kangkung,  lapangan 

kantin  dan  terus ke Tarok. Biasanya sesampai  di  tarok,  koran 

itupun habis terjual. Dan di simpang Tarok itu pula biasanya saya 

di  titipi Bulletin atau stensilan "Berita Front".  Berita  Front 

itu  adalah stensilan yang dibuat oleh tentara PRRI,  dan  Berita 

Front  itu cepat lakunya, belum lagi sampai ke pasar bawah,  bia­

sanya  berita  Fron yang saya bawa itupun habis.  Memang  barang-

barang terlarang dan tak boleh beredar itu lebih laku dan  sering 

di  cari dan di minati orang. Saya sebagai anak kecil kelas 5  SR 

tidak mengerti, bahwa sebenarnya membawa berita front itu kedalam 

kota  dilarang dan berbahaya, yang terbayang di otak saya  adalah 

dengan  menjojokan  berita  front akan  menghasikan  uang.  Tidak 

terbayang  akan bahaya yang mengancam. Begitulah sebagai  penjaja 

Koran  dan penjaja Berita Front saya dapat mengumpulkan uang  dan 

dapat  membeli  baju dan celana serta belanja ke  sekolah.  Hari-

haripun berlalu, pekerjaan menjajakan koran membikin saya  asyik, 

karena  berjalan di terik Matahari, kulit inipun  tampak  semakin 

masak. Yang palin saya takutkan adalah kalau turun hujan,  kemana 

akan  menyuruk  dan berteduh, karena kertas koran itu  rapuh  dan 

akan  segera layu dan robek bila tertimpa hujan. Agen  tidak  mau 

menerima  kalau korannya rusak. Kalau hari hujan,  biarlah  tubuh 

dan  baju  ini yang basah asalkan korannya dapat  di  selamatkan. 

Dengan  berbagai cara saya uasahakan agar koran  terlindung  dari 

siraman  hujan,  biarpun hujan telah menyirami  tubuh  dan  baju, 

namun koran masih bisa di selamatkan.
ð73 Š
    


 
Hari-hari berlalu dengan cepat, saya tidak mengira  sekarang 

saya  bisa  pula menulis di koran yang dulu saya  jojokan,  koran 

yang dulu saya harus berebut, ber sitegang urat leher  menjualnya 

kesana  sini.  Saya sudah naik kelas dari penjaja  koran  menjadi 

pengisi  rubrik  dalam  koran. Dan setiap kali  saya  melihat  si 

pengencer  dan si penjaja koran, saya selalu ingat bahawa  peker­

jaan  itu  penuh perjuangan dan penuh  tantangan.  Berjalan  kaki 

keliling  kota,  berjemur  diteriknya panas  dan  harus  bersaing 

dengan  penjaja koran yang lain yang lebih unggul dan lebih  kuat 

serta lebih lihai.

    


 
Saya tertegun setiap kali menyaksikan seorang penjaja  koran 

yang  rabun yang selalu berjalan di koridor RSUP  Dr.M.Jamil  Pa­

dang.  Sering  dia di panggil dengan si datuk, matanya  buta  dia 

sukar melihat, tapi dia kenal dengan kita melalui suara. Dia tahu 

persis  kalau saya membeli koran dan membeli majalah Tempo.  "Ini 

pasti  pak Suheimi" katanya sambil memberikan koran  dan  majalah 

kesayangan  saya. Dengan meraba-raba uang yang saya berikan,  dia 

tahu persis, itu uang Rp 10.000,- Rp 5.000,- atau uang Rp  1000,- 

Entah bagaimana caranya, tapi hanya dengan meraba dia tahu persis 

uang  berapa yang di tangannya itu. Mungkin karena dia  buta  dia 

punya  instink dan kelebihan yang tak dimiliki oleh  orang  lain. 

Setiap  saya menerima uang kembali, selalu saya selatkan di  saku 

nya  sedikit  uang recehan. Dia senyum dan  dia  senang  menerima 

tambahan  itu. Setiap hari saya ketemu dengannya dan setiap  kali 

pula  saya dapat senyum, senyuman dari si buta.  Walaupun  senyu­

mannya  tidak senyaman senyuman seorang gadis cantik,  tapi  dari 

senyuman  si Buta itu terpancar satu ke ichlasan dan ke  tulusan, 
 
ð73 Šdalam  hati  saya mengaguminya dan senang  padanya.  Dengan  mata 

butanya  dia  berjuang dan mencari nafkah untuk  menghidupi  anak 

istrinya.  Setiap kali saya melihatnya, saya teringat bahwa  saya 

juga pernah seperti dia, sebagai penjaja Koran. Saya kira  peker­

jaan  itu tak ada hinanya. Hinanya satu pekerjaan adalah  tergan­

tung bagaimana niat si pelaku pekerjaan itu. Kalau niatnya nyele­

weng,  memakan dan mengambil hak orang lain, agaknya  lebih  hina 

disisi_Nya. Atau dalam pekerjaannya dia berdusta dan  berkhianat, 

mungkin  lebih hina lagi. Karena setiap amal atau  pekerjaan  itu 

tergantung pada niat sewaktu akan memulainya.

    


 
Tuhan memang selalu memerintah dan menyuruh agar kita selalu 

melakukan  pekerjaan  yang baik dan yang halal. Untuk  semua  itu 

saya  teringat akan sebuah Firman suci_Nya dalam surat At  Taubah 

ayat  105  :"  Dan katakanlah:"Bekerjalah kamu,  maka  Allah  dan 

rasul_Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu  itu, 

dan  kamu akan di kembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui  yang 

gaib  dan yang nyata, lalu di beritakan_Nya kepada kamu apa  yang 

telah kamu kerjakan".





Tidak ada komentar:

Posting Komentar