Selasa, 22 Oktober 2013

K U D A L A U T


Oleh : Dr.H.K.Suheimi


     Saya  sedih mendengar kuda laut naik dok, lama  benar  kapal ini  diatas dok, sampai 1,5 bulan, tentu  banyak  saudara-saudara saya  di ke pulauan Mentawai yang ternanti-nanti. Dan saya  lebih sedih  lagi ketika kuda laut tak boleh melaut. Padahal kapal  ini adalah andalan dan harapan bagi orang tepi dan orang pagai.
     Saya pernah naik kuda laut ini, enak nyaman dan cepat.  Cuma karena  saya berangkat di penghujung Juli 1995, tepatnya  tanggal 26 Juli 1995 dalam rangka pengabdian Masyarakat dalam acara  Lustrum ke VIII Fakultas Kedokteran UNAND. Dimusim Selatan itu  arus kuat dan ombak besar, angin sering berubah arah. Kapal tergoncang dan orang-orang tergetar, muntahpun mulai berhamburan dari mulut-mulut penompang, Kapal terombang-ambing dan sekali-sekali  seakan terbanting, karena harus memecah gelombang yang besar dan tinggi. Rata-rata  semua  penumpang mabuk laut, mereka pada  muntah.  Bau muntah  dan bau tumpukan manusia  menyebabkan  saya  meninggalkan ruangan penumpang, pergi ke ruangan jurumudi bersama kapten kapal Aidil  sambil menimba penglamannya. Tidak  sedikit  pengalamannya diatas laut bersama kapal kuda laut ini. Saya asyik dan terpesona akan  derita dan pengalaman-pengalaman yang telah  di  tempuhnya. Dia  masih muda tapi kaya dengan pengalaman dan  kepahitan  hidup ini.  Enak  berbincang bersamanya sebagaimana enak  bersama  anak kapal  yang  lain, karena mereka ramah,  sekalipun  kapal  sedang dihantam gelombang, wajah mereka biasa-biasa saja. Keramahan awak kapal inilah yang membikin saya betah dan tak puas walaupun sudah 5  jam berada di atas kuda laut ini. Saya nikmati keramahan  itu, saya  nikmati  perjalanan itu dan saya  nikmati  pemandangan  dan pulau-pulau yang kami lewati.
     Betapa  ramahnya kapten kapal Aidil yang berceritra  tentang suka  dukanya  di  kuda laut, betapa tabahnya  dia  ketika  harus mengharungi  dan  memecah gelombang besar.  Gelombangnya  samudra Indonesia, apalagi jika berembus angin Selatan. Di persilahkannya saya duduk di kursi jurumudinya dan dia tegak berdiri mengendalikan  kuda  laut. Sambil memecah gelombang  di  tunjukkannya  juga bagaimana kiat-kiat mengemudi. Diajarnya saya membaca radar  yang ada di samping jurumudi. Diperlihatkannya daerah batu karang  dan ditunjukkannya  dimana  daerah  yang  banyak  ikan.  Diajarkannya bagaimana  membaca cuaca. Hampir 5 jam saya  duduk  disampingnya. Sewaktu  hampir  sampai ke sikakap di ajaknya saya  memakan  nasi bungkus nasi ramas bekal yang di bawanya dari tanah tepi. Dia mau berbagi  nasi  bungkus  dan di berinya saya  segelas  kopi  untuk menghangatkan  badan karena hujan yang lebat dan angin yang  kencang serta gelombang yang besar, perut harus diisi dan kopi harus di  minum. Lihatlah di ruangan penompang hampir  semua  penompang muntah-muntah, namun kuda laut melaju dengan kencang. Sehingga si kakap  yang bisanya di tempuh dalam waktu sehari  semalam  dengan kapal lain, dengan kapal kuda laut hanya 5 jam. Teman-teman  yang berangkat  kemarin, kapalnya sama-sama merapat dengan  kuda  Laut pada tanggal 26 Juli 1995 itu.
     Itulah pertama kali saya naik kapal kuda laut, kapal yang di disain sangat baik sebagai kapal pembelah gelombang, berkecepatan tinggi dan ruangannya pakai Air Condition. Harga karcisnya sangat murah hanya Rp 17.500,- dan untuk anak sekolah Rp 10.000,. Ketika hujan deras dan ombak besar, lalu kapten Aidil berkata  :"Sebagai pelaut Ombak adalah bantal dan hujan adalah selimut kami,  setiap hari kami berbantalkan ombak dan berselimutkan hujan, kami serimg mengalami pahit getirnya hidup dilaut, namun laut adalah  kehidupan  kami  dan laut memberi kami nafkah" ulasnya  sambil  memelas dan  menjalankan kemudi dan di kemudi itu ada tulisan  yang  saya tak pernah lupakan "Lengah sedikit berarti maut". Maka tak pernah sedetikpun  jurumudi itu lepas dari tangannya.  Lebih-lebih  jika cuaca  buruk seperti waktu kami berangkat dulu. Kalau cuaca  agak baik jurumudi itu di serahkan pada awak yang lain.
     Saya  tak  akan  pernah melupakan  kenangan  manis  berlayar dengan  bersama  kapal  kuda laut, sebagaimana  saya  tak  pernah melupakan Aidil, kapten kapal yang masih muda punya dua anak yang masih kecil-kecil, tinggal di Bayang Pasar Baru. Melalui  tulisan ini  saya  titip salam untuknya dan saya ingin  kembali  berlayar bersamanya.
     Kenangan  manis  itu  terhenti ketika hari  ini  terbaca  di koran.  Puluhan  penompang tak bisa di berangkatkan.  Kapal  Kuda laut  tak  dapat izin untuk berlayar. Saya menyadari  bahwa  Kuda Laut  bagi  penduduk  Kepulauan Mentawai  (Minta  diawai)  adalah sangat  vital,  punya arti strategis. Maka  saya  berdoa  didalam hati, kiranya penguasa didaerah ini, bapak-bapak rakyat dan semua pihak menolong dan ikut membantu kelancaran hubungan Mentawai dan tanah  tepi. Di Mentawai perhubungan adalah sangat perlu  sekali. Terbayang  kembali  dalam ingatan saya betapa  lugu,  dan  betapa baiknya   penduduk   asli   mentawai.   Ketika   saya   menjelahi pelosok=pelosok dan kampung-kampung kecil di pedalaman  mentawai. Di  sebuah  jembatan yang licin hanya dari sebatang  pohon,  saya gamang. Orang Mentawai itu mengendong saya di punggungnya. Setiap kali  mereka  saya  beri obat, mereka  menadahkan  tangan  sambil berucap terima kasih.
"Mudahkanlah,  nanti kamu akan di mudahkan, pesan Rasul.  Lapangkanlah, nanti kamu akan di lapangkan". Jangan persulit dan jangan persempit, nanti kamu akan mengalami kesulitan pula. Itulah pesan Rasul  yang  mulia, apalagi kita berada dalam bulan  yang  mulia, penghulu  dari segala bulan yaitu bulan Ramadan, dimana  kebaikan dan  amal kita akan di balas berlipat ganda. "Irhammu  fil  Ardh, Yarhamkum fissamak" Kasihanilah yang di Bumi, nanti yang dilangit akan mengasihimu"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar