Rabu, 16 Oktober 2013

G A M A N G



Oleh : Dr.H.K.Suheimi

Gamang  saya meniti diatas saluran air di puncak bukit  batu
busuk.  Betapa tidak, jaringan dan saluran air yang  dibuat  oleh
Belanda  itu,  sekarang di pertinggi dan  diperbaharui,  Demikian
tingginya  saluran dan dam air itu di buat, sehingga jurang  yang
terhampar  di kiri kanan saluran air itu setinggi batang  kelapa.
Dan kalau kita tukikkan pandangan, nun jauh kebawah sana  terben­
tang  hamparan sawah dan sungai Batang kuranji yang  airnya  biru
dan  deras  membuih  di sela-sela bebatuan.

Saya tahu tak akan jatuh, karena kita berjalan diatas  beton
yang cukup lebar, namun berada di ke tinggian dan langsung  mena­
tap  jurang yang dalam itu membuat hati saya bergiming  dan  jadi
gamang.  Gamang rasa-rasakan jatuh. Gamang, rasa-rasa kan  datang
bahaya,  perut saya, meloyo, mual kepingin muntah.  Namun  karena
pergi  berombongan  tak saya nampakkan betul, padahal  perut  ini
sudah  "Marumeh".  Badan  terasa ringan,  rasanya  seperti  tanpa
bobot,  rasa  mengapung.  Bermacam rasa yang  datang  kalau  hati sedang  gamang. Saat itu saya berbisik dari dalam hati "Ya  Allah
bimbinglah   hamba_Mu.  Ternyat bukan saya sendiri  yang  gamang.
Armijn Raymond rupanya lebih gamang lagi di bandingkan saya,  dia
nulai  berkeringat  dingin. "Pak dokter, bagaimana  ini"  katanya
sambil  berpegang pada lengan saya; "badan saya tidak rasa  badan
lagi". Dia tampak cemas. Untunglah Yonda Jabar memberi  semangat,
jangan  berhenti  dan jangan melihat ke  bawah,  jangan  menekur,
nanti  bertambah  gamang. Tegakkan kepala, melihat  jauh  kedepan
atau  keatas".  Dan nasehat Yonda inilah yang kami  ikuti,  namun
gamang itu masih tetap tak mau hilang. Padahal ketika saluran air
itu  tidak melintasi jurang, kami enak saja berlari dan  berjalan
cepat  diatasnya.  Tapi begitu saluran itu melintas  jurang  yang
dalam.  Jangankan berlari mengangkat kaki sajapun  terasa  berat,
takutkan jatuh, takut masuk jurang. Inilah gamang.

Dalam  menghadapi  hiduppun kita sering  tergamang,  padahal
belum  tentu yang kita takutkan itu jadi kenyataan. Kita  terlalu
sering  memikirkan  dan membayang resiko yang terlalu  besar  dan
suka memperberat persoalan, dan suka melihat dari segi jelek  dan
buruknya.

Saya lihat orang kampung disitu dan pekerja yang setiap hari
disana,  enak  saja dia meniti di ketinggian, bahkan  di  pinggir
jurang yang sangat dalam, betapa cepat dan gesitnya langkah  kaki 
mereka. Padahal diatas kepalanya ada beban  dan di tangannya  ada
jinjingan.  Saya jadi malu diri kepada orang kampung dan  pekerja
itu

Dizaman  Belanda dulu betapa payahnya orang membuat  saluran
air  dan  dam ini, dengan segala kesulitan  dan  kesukaran,  saya
hanya  meniti saja kok gamang?. Pertanyaan ini yang melecut  diri
saya, sehingga sedikit demi sedikit gamang itu dapat saya  kuran­
gi. Saya sadari gamang yang terjadi dalam diri adalah gamang yang
di  buat  dan  di ciptakan sendiri. Akibatnya  yang  jadi  korban
adalah diri sendiri. Yang terlalu takut dan terlalu gamang terha­
dap sesuatu yang belum terjadi.

Hari  Minggu 2 November, kami memcari lintas alam ke  puncak
bukit batu busuk. Untuk sampai ke puncak ini, kami selusuri jalan
pendakian  yang  terjal di sepanjang pipa air yang  akan  memutar
turbin listrik. Turbin listrik ini menghasilkan listrik untuk  PT
Semen  Indarung.   Sekarang sedang di buat lagi pipa  yang  lebih
besar  bergandengan dengan pipa yang di buat belanda,  agar  bisa
memutar  beberapa turbin mesin listrik. Untunglah disamping  pipa
besar  ditebing yang sangat curam ini. Belanda  membuat  jenjang.
Bermandi peluh kami tapaki dan kami jejakki jenjang itu.  Demikan
banyak  dan demikian tingginya pendakian, sehingga tak  terhitung 
berapa jumlah anak jenjangnya. Namun di setiap tempat dan  setiap
sisi,  kami menyaksikan pemandangan yang aduhai luar biasa  indah
nya, dengan udara yang sangat segar dan sejuk, di kelilingi bukit
barisan,  dan sungai nun jauh di bawah sana mengalir dengan  buih
nya yang memutih, dan dari jauh tampak kota padang dengan  lautan
Indonesia. Ah tempat ini luar biasa untuk berolah raga dan mengo­
lah jiwa. Jiwa jadi tentram, tenang penuh kedamain terhindar dari
stress dan kesinukkan sehari-hari.

Sebetulnya  kami akan menyusuri saluran air yang  panjangnya
hampir  3 km baru samapai di kampung "Pertemuan". Kampung  dimana
bertemunya dua buah sungai dan menumpuknya air. Tapi sayang  Hand
phone saya berdering. Dari Rumah Sakit Bunda ada berita,  seorang
pasien  sedang menunggu dan minta pertolongan.  Teman-teman  yang
lain  mengerti, bahwa pasien harus di utamakan. Kami balik  kanan
dan langsung pulang menuruni bukit-bukit yang terjal.

Saya  bersyukur memiliki telepon genggam dengan  kode  nomor
081-160-2227.  Kami  banyak terbantu, walaupun di  puncak  bukit,
komunikasi  selalu lancar, berita apapun cepat dapat  di  pantau.
Pasien banyak berkonsultasi melalui telepon ini. Dan kalau terse­
sat, kami dapat memberi kabar langsung di mana posisi, pada ordi­
nat berapa. Dari hutan lebat dan dalam lembahpun, dapat  memberi­
kan  order dan petunjuk pada karyawan di tempat  kerja.  Beberapa
kali sewaktu sedang diatas mobil di kampung B Tinggi, telepom ini
berdering,  karena pasien membutuhkan. Telepon  genggam,  artinya
dunia  dalam sebuah genggaman, karena bisa menerima  dan  memberi
berita seperti layaknya sebuah telepon.

Gamang saya sudah hilang, kami segera pulang, pasien mulai
terbayang.  Sebentar  lagi kembali lagi dengan kerja  rutin  yang
itu-itu  juga.  Untuk semua itu saya teringat akan sebuah  Firman
suciNya dalam Al-Qur'an surat At'Taubah ayat 45:
"Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-
orang yang tidak beriman kepada Allah dabn hari kemudian dan hati
m ereka ragu-ragu karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-
raguannya"

P a d a n g  3 November 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar