Jumat, 11 Oktober 2013

EMPANG-EMPANG KERETA API



Oleh : Dr.H.K.Suheimi

     32  orang meninggal di tempat, 30 orang luka parah dan  12

orang  luka ringan. Semua terkejut, semua tersentak, semua  ngeri

membayangkan  kejadian itu. Subuh 22 Juni. merupakan hari  nahas,

tragedi  itu datang demikian tiba-tiba. Mobil ANS di  tabrak  dan

diseret  puluhan meter oleh Kereta Api Limex di  lampung  tengah,

kemudian  terjatuh  ke dalam jurang sedalam 6 meter.   Mobil  ANS

hancur  rusak berat, penompangnya apalagi. 10 mayat tak di  kenal

identitasnya. Kita tak dapat bayangkan, betapa ngeri dan menakut­

kan peristiwa itu, betapa pekikan dan teriakkan yang membahana di

subuh itu, betapa tubuh yang terseret, terhimpit , tertindas  dan

terlindas.  Betapa  serpihan daging dan tulang serta  darah  yang

berceceran,  tak  dapat kita bayangkan. Semua  menakutkan,  semua

mengerikan, bulu kuduk jadi berdiri. Mobil yang seharusnya berpe­

nompang  37,  hari itu di padatkan jadi 74 orang.  Justru  dengan

penompang  yang sepadat itu pula, dia kena tabrak, korban  berge­

limpangan,  nyawa beterbangan, kerugian harta benda tak  terkira­

kan.  Ada yang menyalahkan tukang empang-empang kereta  api  yang

lalai, ada yang menyalahkan sopir yang tak acuh setelah di perin­

gatkan oleh tukang empang supaya mobil yang rusak, pas di  tengah

rel  kereta api itu untuk di dorong, ada yang  menyalahkan  mobil

yang  rusak,  tiap sebentar mogok. Lalu siapakah yang  salah  dan

apakah  yang  salah. Yang jelas kereta api telah  melindas  mobil

ANS, dan korban sudah bergelimpangan. Dan setiap kali kereta yang

menabrak mobil, selalu saja yang jadi korban adalah mobil  dengan

penompangnya. Setiap kali Kereta api menabrak mobil, selalu  saja

kesalahan  di  tudingkan kepada mobil yamg  melintas.  Orang  tak

pernah  menyalahkan  Kereta api, karena Kereta api  itu  berjalan

diatas relnya, dia berjalan pada jalannya, dia tak salah dan  dia

tak  pernah di persalahkan, sekalipun dia telah  merengut  banyak

nyawa.  Dan setiap nyawa yang di rengutnya, menyebabkan badan  di

tempat mana nyawa itu bersemayam selama ini, menjadi  berantakkan

dan  porak  poranda. Beberapa kali saya  menyaksikan  orang  yang

tergilas Kereta Api, mengerikan, menakutkan. Sukar kita  mencari­

kan kata-kata yang dapat mengambarkan orang yang di tabrak Kereta

Api.  Kalau  kita pergi ke bekas tempat ke jadiaan,  disana  akan

terlihat serpihan-serpihan tulang dan daging yang hancur,  terse-

rak  di mana-mana. Makanya saya paling ngeri  menyaksikan  korban

yang di gilas kereta api.

  Sering sekali kita mendengar dan menyaksikan, korban  tabra­

kan  kereta  api  ini. Di setiap pintu gerbang,  mulai  di  jalan

simpang  haru,  Alai, air tawar dan tabing, entah  berapa  korban

yang  berjatuhan. Agaknya tidak sebanding dengan keuntungan  yang

di  peroleh PERUMKA. Kerugian nyawa dan kerugian harta tak  sedi­

kit.

  Sebetulnya  semua  orang  sudah  berhati-hati.  Lihatlah  di

setiap  jalan  yang di lintasi kereta api, dibuat  orang  empang-

empang  kereta api. Dulu empang-empang ini berwarna putih  hitam,

sekarang  berwarna putih merah. Di tengah-tengah empangan itu  di

letakan lampu merah yang menyala saat empang-empang turun. Bahkan

beberapa saat sebelum empang-empang turun dibunyikan lagi semacam

alarm  tanda  bahaya  yang menyatakan bahwa  beberapa  saat  lagi

kereta api akan lewat. Bukan itu saja, di sepanjang dan di  ping­

gir  rel kereta api, mulai dari air tawar sampai ke lubuk  buaya,

jalan  kereta  api  itu di pagar besi dengan  warna  putih  biru.

Sebetulnya  PERUMKA  sudah cukup banyak mengeluarkan  dana  untuk

keselamatan  orang-orang  yang akan melintas  jalan  kereta  api,

namun tiap sebentar kita dengar juga berita orang tergilas kereta

api.  Di  Bogor, di Surabaya, di Pulau Jawa, di  Pulau  Sumatera,

korban  telah  terlalu banyak. Lalu bagaimana  usaha  lagi  untuk

mengatasinya?.

  Untuk semua itu, saya teringat kisah perjalanan waktu di New

Zealand.  Selama enam hari enam malam, kami  beserta  rombanongan

ber  langlang  buana  dengan sebuah bus. Sering  mobil  kami  itu

melintasi  dan  menyeberang jalan Kereta api, tapi  sebanyak  itu

jalan kereta api yang di lintasi, tidak satupun jalan kereta  api

itu yang punya empang-empang.

  Pertama kali saya terkejut, sewaktu bus kami melewati Padang

rumput  yang  luas,  tiba-tiba bus itu berhenti.  Saya  kira  ada

sesuatu yang rusak, kenapa tiba-tiba sopir itu mengurangi kecepa­

tan  dan  berhenti, pada hal tidak ada lawan, dan  padang  rumput

terbentang  luas,  mata bebas memandang ke muka ke  kiri  dan  ke

kanan. Pas didekat mobil yang berhenti itu saya lihat ada  rambu-

rambu,  perintah  akan melintasi jalan kereta api.  Setelah  sang

sopir  melihat kekiri dan kekanan, yakin bahwa tidak  ada  Kereta

api  barulah  bus itu berjalan melintasi rel kereta  api.  Setiap

kali mau melintasi rel kereta api selalu saja mobil itu  berhenti

didekat  rambu-rambu  penunjuk  itu. Walaupun  di  tengah  padang

rumput  yang  sangat luas, mata dengan  bebas  menyaksikan  bahwa

disana  tidak  ada kereta api yang akan lewat, namun  sang  sopir

selalu  memperlambat  kecepatan kenderaan dan  berhenti  sejenak,

baru kemudian melintasi rel kereta api.

  Jadi  disana  mereka tidak butuh empang-empang  kereta  api.

Empang-empang kereta api ada di kaki dan tangan sopir, begitu dia

melihat  ada  rambu-rambu akan melintasi rel kereta  api,  dengan

otomatis,  kaki  mereka  sudah menginjak rem  dan  tangan  mereka

mengendalikan stir untuk di ke tepikan. Mereka tidak butuh tenaga

yang  harus menjaga empang-empang siang maupun malam  yang  harus

digaji  dan di biayai. Dan siapa yang akan mengira  dan  menduga,

oleh  karena  sesuatu sebab penjaga empang itu jatuh  sakit  atau

tertidur, atau sedang ngelamun memikirkan kehidupan yang  semakin

sulit, maka tabrakkanpun tak dapat di hindari.

  Agaknya  sikap  dan tatacara sopir yang membawa bus  di  New

Zealand itu patut kita tiru, hanya dengan berhenti beberapa  saat

di pelintasan jalan kereta api, yang setiap akan memasuki  linta­

san itu ada rambu-rambu yang terpasang.

  Sebetulnya ini adalah latihan kesabaran, yang berguna sekali

untuk  perkembangan  rohani kita. Dan  menjalankan  mobil  terus-

terusan dengan kecepatan tinggi dengan konsentrasi dan  perhatian

penuh,  semua itu mudah sekali melelahkan dan jiwa dalam  keadaan

stress yang terus menerus. Dengan mengurangi kecepatan mobil  dan

berhenti  sejenak sewaktu akan melintasi rel kereta  api,  adalah

satu kebutuhan tubuh agar anggota bisa bekerja lebih efisien  dan

alat-alat  tubuh  bisa lebih tahan untuk di pakai  lama.  Latihan

kesabaran  dan pengendalian diri sangat dibutuhkan  oleh  seorang

sopir, karena di tangannya tergemgam banyak nyawa. Kesabaran  itu

sendiri adalah obat yang paling mujarab untuk seorang sopir kalau

dia ingin sehat dan menikmati hidupnya kelak di hari tua. Kesaba­

ran itu sendiri akan menambah panjang umur dan usianya. Dan  satu

yang perlu kita ingat adalah bahwa Allah bersama orang-orang yang

sabar. Didalam sebuah mobil, sopir adalah langsung menjadi pemim­

pin  bagi  semua orang yang ada di dalam mobil  itu,  dan  setiap

pemimpin  akan di mintakan pertanggung jawabnya terhadap  apa-apa

yang  di  pimpinnya. Maka setiap kali akan membawa  sebuah  mobil

dianjurkan  kepada sopir untuk berdo'a dan berserah diri  kepada-

Nya,  karena  tangung  jawabnya sangat besar.  Dengan  sabar  dan

waspada demikian insya Allah, kecelakaan di jalan raya akan  bisa

dikurangi.  Dan  keselamatan diri, keluarga dan  penompang  lebih

terjamin. Untuk semua itu saya teringat akan sebuah Firman  suci-

Nya  dalam  surat Al Bagarah ayat 177:"  Orang-orang  yang  sabar

dalam kesempitan, penderitaan dan peperangan. Mereka itulah orang

yang   benar  (imannya)  dan  mereka  itulah   orang-orang   yang

bertakwa".



P a d a n g   26 Juni 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar