Rabu, 16 Oktober 2013

BINTANG FILM



Oleh : Dr.H.K.Suheimi

Saya  senang  menonton film, lebih-lebih kalau  filmnya  me­

nayangkan bintang film kesayangan dan bintang film favorit  saya,

maka  mata  saya tak lepas-lepasnya dari layar. Kemanapun  ia  me  

langkah  dan apapun yang dilakukannya selalu saya simak dan  saya

ikuti  sambil  tiap sebentar ber decah kagum akan  caranya,  akan

gayanya  dan akan penampilannya. Bintang film itu sangat  menarik

karena dia memberi kepuasan dan kesenangan bagi penontonnya. Saya

sebagai  penontonpun ingin ketemu dengan bintang pujaan dan  bin­

tang kesayangan. Maka sering bintang ini di kerumuni para  penga­

gumnya kalau sesekali ia datang ke daerah atau ke tempat  tinggal

para  penggemar  nya. Yang membuat saya tertarik adalah cara  dia

ber  main,  actingnya,  ke seriusan dan  ke  sungguhannyanya  dan

karena  si bintang itu selalu berusaha  setiap detik  dan  setiap

saat ia dalam keadaan prima dan menyadari dirinya bahwa ia sedang

berada diatas pentas dan ia sedang di tonton.

Lalu saya teringat akan pameo-pameo "Dunia ini adalah sandi­

wara". Kita semua sedang berada diatas pentas, pentas  kehidupan.

Yang  menonton dan memperhatikan, bukan sembarang  orang,  karena

kita sedang di tonton dan diamati dengan teliti oleh pengamat dan

peneliti yang sangat hebat, demikian hebatnya, Dia dapat  melihat

semua  gerak gerik dan tingkah laku kita sekecil  apapun,  bahkan

Dia  dapat mengetahui apa yang berdetak dan  tersembunyi  didalam

lubuk  hati  kita. Dia adalah Allah, tidak pernah Dia  tidur  tak

pernah  Dia mengantuk, miliknya apa yang di langit dan  di  Bumi.

Kita   tak pernah luput dari tontonanNya. Allah  adalah  penonton

yang  terbaik,  sedangkan kita ibarat bintang  film  yang  sedang

bermain di pentas, yaitu pentas dunia dan pentas kehidupan,  kita 

adalah bintang film dan dan sekaligus pemainnya. Menyadari  bahwa 

kita sedang berada di atas pentas dan menyadari bahwa kita sedang 

di  tonton setiap detik dan setiap saat dan setiap gerak  kehidu­

pan.  Tentu kita berusaha menjadi bintang film yang  baik,  tentu 

kita  berusaha untuk merebut piala citra dan berusaha untuk  mem­

peroleh  piala Oscar, sebagai supremasi. Piala citra dari  Allah, 

Oscar dari Tuhan karena kita berhasil menyajikan dan memperlihat­

kan  bahwa kita adalah baik di depan mata Nya. Lulus dalam  ujian 

Nya.  

   


 
Betapa  bangganya seorang bintang film, bila  dapat  merebut 

piala  itu. Dia berhasil merebut piala itu karena  dalam  bermain 

diatas  pentas dia mengatur setiap kata yang di  ucapkan,  setiap 

langkah  yang  dilangkahkan dan setiap gerak  dan  geriknya  yang 

sesuai  dan  di senangi dan di kagumi penontonnya.  Setiap  detik 

dari  kehidupannya selalu berfikir bagaimana  berpenampilan  yang 

baik  di  mata dan di hati penontonnya. Demikian  pulalah  betapa 

suka citanya seorang hamba bila yang memberi piala citra dan yang 

memberi Oscar itu adalah Allah s.w.t sewaktu dia kembali menhadap 

ke haribaan Nya. Apalagi dengan undangan dan panggilan kesayangan  
ð73[1] 
 
ð73[1] Šseperti  tertera dalam surat Fajar :"Wahai jiwa yang  tenang  dan 

tentram,  kemabalilah  pada Tuhan yang telah  menjadikanmu  dalam 

keadaan  Redha dan di Redhai. Masuklah kedalam  golongan  hambaKu 

dan masuklah kedalam SorgaKu".

   


 
Menyadari bahwa kita sedang di tonton, bahwa kita sedang  di 

lihat serta kita sedang diamati dan diperhatikan, akan menyebakan 

kita  akan  lebih hati-hati dalam bertindak dan  hati-hati  dalam 

melakukan  sesuatu. Dan sebagia seorang bintang, kita  akan  malu 

memperlihatkan  permainan  yang jelek. Kita akan  malu  kalau  di 

ketahui berbohong, kita akan malu kalau di ketahui sedang mencuri 

dan merampok. Kita akan malu kalau ketahuan sedang mengambil  hak 

orang banyak dan meng koropsi milik bangsa dan negara. Kita  akan 

malu  kalau langkah kita adalah langkah-langkah yang sumbang  dan 

keliru.  Dan  lebih malu lagi kalau tertangkap  sedang  melakukan 

perbuatan  yang tak terpuji. 

   


 
Allah adalah penonton yang teramat baik Dia mengamati setiap 

apapun yang terjadi pada diri kita, dimanapun kita berada.  Untuk 

itu  maka kita akan merasa sangat malu melakukan  perbuatan  yang 

tercela dan tak terpuji, sehingga kita malu melakukannya.  Budaya 

malu inilah yang menyebabkan manusia itu terhormat dan di  horma­

ti,  rasa  malu itulah yang menyebabkan  manusia  berbeda  dengan 

makhluk-makhluk  lainnya di atas pentas dunia ini.  Rasa  malulah 

yang menyebabkan manusia ber matabat dan mempunyai harkat kemanu­

siaan yang tinggi, karena malu adalah sebagian dari iman.

   


 
Nabi  Muhammad pernah bersabda :"Bila tak malu, maka  kerja­

kanlah apa yang kamu suka."

   


 
Malu  berkaitan dengan harga diri dan kehormatan.  Ia  mena­

warkan sikap dan tingkah laku yang terpuji . "Malu tidak  mengha­
ð73[1] 
 
ð73[1] Šsilkan  kecuali  kebaikkan .
Ia paling tidak  menimbulkan   empat 

perangai yang terpuji.

   


 
Pertama  sabar,  Yakni tabah dan mengendalikan  diri  ketika 

hati mendidih. 

   


 
Kedua  kesucian sehingga menghindar dari dari dorongan  sek­

sual  atau ingin kaya secara tak sah. 

   


 
Ketiga keberanian, walaupun mengorbankan kepentingan  priba­

di. 

   


 
Ke empat adalah adil yaitu menempatkan sesuatu pada tempatn­

ya

   


 
Sifat-sifat itulah yang menjadikan seseoarang segan  melang­

gar  dan   berupaya untuk tidak  salah. Dan kalau  bersalah  yang 

menyentuh banyak orang, rasa malu mengundangnya berani   bertang­

gung jawab , sehingga mengakui secara jantan kesalahan, dan bukan 

berkilah  , apalagi bertahan pada posisi kesalahan

   


 
Ungkapan para nabi diatas akan jadi malapetaka   jika ia  di 

pahami  sebagai anjuran melakukan apa saja selama yang  dilakukan 

itu tidak mengakibatkan rasa malu. Bukankah ada orang yang bermu­

ka tebal, memiliki hati tapi tidak merenung, mempunyai mata namun 

tidak melihat dan telinga tapi tidak mendengar. Yang tidak memil­

iki rasa malu akan melakukan apa saja . walaupun pelanggaran baik 

agama  budaya  ataupun adat istiadat. Menulis  atau  membicarakan 

seseorang  secara umum memang dilarang agama  karena  mempermalu­

kannya.  Namun ada juga yang di benarkan, Yaitu ketika yang  ber­

sangkutan  sendiri  secara  jelas.  Melakukan  pelanggaran   atau 

berkukuh  dalam kesalahan. Ketika itu membicarakan  aibnya  tidak 

lagi memalukannya. Bukankah rasa malunya telah pupus?

Anda  janganberkata "Kalau begitu apa guna membicarakannya?  Guna   
ð73[1] 
 
ð73[1] Šnya untuk kita dan mereka yang masih memiliki sedikit rasa malu.

   


 
Malu karena dia yakin bahwa dia sedang di tonton, dia sedang 

dilihat setiap gerak geriknya oleh Allah s.w.t, karena dia  yakin 

se  yakin-yakinnya bahwa Allah itu Maha Melihat  sebagai  tertera 

dalam  Al-Qur'an Surat Al_Baqarah Ayat 265 :"Allah  Maha  Melihat 

apa yang kamu perbuat". 



P a d a n g   16 April 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar