Rabu, 16 Oktober 2013

G A J A H


Oleh : Dr.H.K.Suheimi


Saya  teringat  kembali akan ceritra guru saya  tentang  si  buta
mencari gajah. Setelah menemukan sang gajah mereka saling berebut
ingin menceritakan pada teman-temanya bahwa mereka telah  menemu­
kan sesuatu yang bernama gajah karena mereka anggap gajah  adalah
barang baru dan hebat. Kata orang  di jepang, Gajah adalah  tung­
gangan untuk menuju nirwana.

Syahdan, kata guru saya,  mereka si buta itu datang dengan  bere­
but dan saling mendahului serta bernafsu ingin segera  mengetahui
agar  kemudian  bisa segera  diceritakan  kepada  teman-temannya,
bagaimana  betul sang gajah itu.  Demikianlah,  tanpa pikir  pan­
jang  pokoknya  apa yang tersentuh di depannya  kemudian  diambil
satu kesimpulan bahwa itulah gajah.  

Sibuta  A  yang kebetulan tersentuh  belalainya  kemudian  cerita
dengan  gaya  yang pintar kepada temannya, gajah  itu  panjang  2
meter,  diameternya 15 cm dan lunak, kalau dinaiki ke  surga  pas
dan enak di "selakangan" (pantat/diantara dua kaki). 

Kemudian  si  buta  B yang saat itu  sedang  nggrayangi  kakinya, 
cerita  kalau  tunggangan  ke surga itu  seperti  batang  pisang,
dingin  dan  pas kalau dipeluk.  Si buta lainnya lagi  tak  kalah
semangat,   cerita kepada temannya karena mereka ada  yang  telah
merasa menyentuh gadingnya, perut dan telinganya. Bahwa gajah itu
keras runcing. Gajah itu  sebesar tambur tak bisa di peluk. Gajah
itu lunah lebar dan mengipas seperti telinga. Semua berebut semua
tak kalah semangat untuk bercerita menurut pengetahuannya. 
Singkat  cerita, kata guru saya  pokoknya yang namanya  si  buta, 
yang sudah barang tentu tidak bisa melihat tapi  ngotot dan nekad
mau menceritakan yang dia temukan.

Di  tengah asyiknya menndengarkan ceritanya, tiba-tiba  pak  guru
terbatuk :"Kamu ngerti kenapa mereka, sibuta itu tidak pas  waktu
menceritakan  prihal gajah?.
Pak  guru menjawab sendiri, kalau seandainya mereka  sibuta  tadi
tidak berebut dan tidak ngotot mau paling tahu sendiri. Tentu  si
Pawang gajah pasti akan memberitahu.
Tapi  sayangnya belum-belum sudah pada rebutan bilang  saya  yang
benar, aku yang betul demi  agar banyak teman-temannya  bisa ikut
nunggang gajah ke surga.

jadinya  si  Pawangpun  diam sambil  berciloteh  :"semaumu  lah". 
Kalau  mereka  sibuta  itu mau tanya dengan  baik-baik  gajah  si
tunggangan nirwana itu bagaimana Wang-Pawang?,  tentu si  Pawang­
pun  akan bilangi, sehingga paling tidak mereka bisa cerita  agak
mendekati  kebenaran,  bahwa gajah itu binatang  yang  besar  ada
belalainya panjang, ada gadingnya, ada kakinya, telinga ekor dsb,

Lalu  Sang  guru berkata lagi :"Mencari kebenaran  itu  berbahaya
nak.  Lebih berbahaya lagi bila kamu merasa  telah  memperolehnya
dan menganggap hanya dirimu yang benar. Saat itu kau mulai menya­
lahkan  orang lain yang tak sesuai dengan kaca  matamu".  "Engkau
sering  melihat dengan kacamatamu saja, sehingga  lupa  mengingat
bahwa orang lainpun punya kacamatanya sendiri".

Maka  kata  guru saya lagi :"Kebenaran itu  bagaikan  cicak  nak.
Sering orang hanya menangkap ekornya. Mengira ekornya itulah yang
cicak,  karena  bisa  bergerak  dan  melenting  bagaikan   cicak.
Sayangnya sedang asyik-asyiknya dia dengan ekor cicak,  Tiba-tiba
dia  terkejut  dan baru tahu bahwa cicak  yang  sebenarnya  sudah
pergi dan berlalu".

Maka senantiasa kita meminta dan memohon kehadirat_Nya. Ya  Allah
tunjukilah kami jalan_Mu yang lurus dan yang benar. Jalan  orang-
orang yang telah Engkau beri nikmat. Bukan jalan orang-orang yang
Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat".

"Yang penting" kata guru saya. "Berusahalah untuk menuju kebenar­
an, dan tolonglah orang yang dalam kesulitan. "Bila engkau  meno­
long  memecahkan  kesulitan saudaramu di bumi,  insyaAllah,  Yang
dilangit akan memecahkan segala kesulitan mu."



P a d a n g  14 Juli 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar