Rabu, 23 Oktober 2013

SARANG LABAH-LABAH



Oleh : Dr.H.K.suheimi


Setiap kali saya lihat sarang labah-labah itu hati ini  jadi

kesal,  sebal, mata jadi berbulu. Betapa tidak, dimanapun  sarang

labah-labah itu berada selalu menimbulkan kekotoran, kotor bentuk

dan  suram  warnanya,  dipojok ruangan, disudut  kamar,  di  atas

jendela,  di temapat-tempat yang gelap, sulit di capai dan  sukar

dijangkau. Di pekarangan didalam taman, dan didekat bungapun  dia

membuat sarang menimbulkan kesan kotor dan kumuh. Maka  dimanapun

tampak  sarang  labah-labah ini selalu saya  musnahkan  dan  han­

curkan.

Begitulah  kejadiannya  disuatu hari  minggu,  saya  bersama

anak-anak  membersihkan, merapikan dan menyiangi  pekarangan  dan

taman  bunga,  semua sampah dan semua yang  kotor-kotor  termasuk

sarang  labah-labah kami kikis habis, tidak  bersisa  dibersihkan

sampai  ke akar-akarnya. Anak-anak sayapun  bercelopotan  bajunya

karena  jaringan dan sarang labah-labah itu melekat dan  menempel

sewaktu  mereka memusnahkan sarang labah-labah itu. Sampai  siang

kami  bergotong  royong,  hingga terasa  sengatan  dari  teriknya

cahaya  matahari, barulah kami berhenti. Hati inipun terasa  puas 

dan lega karena pekarangan tampak bersih dan sarang  labah-labah­

pun  musnah.  Tapi  apa yang terjadi sewaktu  esok  harinya  saya 

menyigi kembali pekarangan, ternyata disudut-sudut dan di  tempat 

yang  agak  gelap tampak dan muncul kembali  sarang  labah-labah, 

saya  sikat  sarang labah-labah itu dengan  sedikit  kesal,  baru 

kemarin di sapu bersih, sekarang muncul lagi. Namun besoknya  dan 

besoknya sarang labah-labah itu muncul kembali, seperti tak  akan 
 
ð73 Šhabis-habisnya,  sehingga saya bosan membersihkannya,  lalu  saya 

duduk termenung, merenungkan sarang labah-labah dan memperhatikan 

labah-labahnya sediri yang asyik menjalin dan merajut  sarangnya. 

Tampak  dari  perutnya keluar lendir yang begitu  keluar  berubah 

menjadi benang-benang seperti sutera, secara otomatis lendir  itu 

mengering  dan berubah menjadi benang, dan benang itupun  terajut 

dan  terjalin demikian indah dan sempuna seperti di  perhitungkan 

secara matematik. Kotak-kotak yang di bentuknya berukuran  kecil-

kecil  dan  hampir sama besarnya, cukup kuat untuk  menangkap  se    

rangga  yang tersesat, terjerat dan terperangkap, sehingga  kalau 

ada  serangga yang terbang  melewati sarang labah-labah itu  akan 

terjerat  dan  terperangkap, semakin serangga  itu  bergerak  dan 

berusaha  melepaskan diri semakin dia terikat dan terjerat  erat, 

hingga serangga itu letih tak berdaya, dan dengan mudah akan   di 

terkam   di   mangsa  oleh  labah-labah   dan   disantap   dengan 

lahapnya....  Begitulah cara labah-labah membuat  sarangnya  yang 

berfungsi  sebagai  tempat tinggal, sekalian tempat  tinggal  itu 

berguna  sebagai tempat mencari makan dengan menjaring  serangga-

serangga yang akan lewat. Rumah dwifungsi, sebagai tempat  nginap 

mencari  ketentraman  dan  kedamaian sekali  gus  tempat  mencari 

nafkah melahap makanan nan lezzat cita rasanya. Menyaksikan semua 

itu  saya tak jadi marah dan saya tak jadi kesal,  kemarahan  dan 

kekesalan  secara  berangsur-angsur berubah menjadi  rasa  kagum, 

kagum merenungkan kegigihan dan ketabahan sang labah-labah.  Yang 

walaupun  sarangnya,  tempat  tinggal yang  sekali  gus  tempatya 

mencari  makan  dimusnahkan dan dihancurkan, dengan  sabar  semua 

itu  di  terimanya bahkan begitu rumahnya  hancur  dengan  segera 

rumah baru di bikinnya lagi, lebih indah , lebih kokoh dan  lebih  
ð73[1] 
 
ð73[1] Šapik.  Tidak pernah dia mengeluh dan tidak pernah dia  dia  keluh 

kesah,  tidak  pernah dia risau,  sewaktu  rumahnya  dimusnahkan, 

padahal sarang itulah tempat satu-satunya dia mengantungkan  diri 

dan  megantungkan nasib. Diterimanya semua itu sacara  sabar  dan 

tawakal, lalu dengan pelan-pelan tapi penuh kepastian dia  bangun 

kembali, dia berusaha kembali merajut dan membikin sarang baru. 

   


 
Kalau  kita  simak bagaimana caranya dia  mengharungi  hidup 

ini, mungkin kita akan taparangah, lihatlah; dia tidak punya apa-

apa.  Dia  tidak punya cangkul dia tidak punya bajak  dan  diapun 

tidak  punya  sesuatu apa, kepandaianpun dia tak  punya,  kakinya 

lemah,  rumahya  tidak kuat, badannya tidak kokoh dan  dia  tidak 

perkasa, namun dia tidak cemas dan tidak takut dalam  mengharungi 

hidup,  karena dia punya satu keyakinan bahwa asal  mau  berusaha 

akan  memperoleh hasil,"jariah manantang buliah". Walaupun  hanya 

dengan  modal  lendir   di perutnya yang bisa  di  robah  menjadi 

benang kayak sutera, hanya dengan modal itu saja dia dapat membi­

kin  rumah dan dengan sabar di nantinya serangga yang  akan  jadi 

mangsa dan makanannya.

   


 
Menyaksikan semua itu saya jadi salut dan angkat tangan pada 

ketabahan,  keuletan dan kesabaran sang labah-labah dalam  mengha 

rungi hidupnya. Dan saya coba mwmbandingkan dengan diri saya sen­

diri,  yang  punya kaki dan tangan,  kepandaian,  kepintaran  dan 

punya  fasilitas  yang bermacam-macam,  kok  kadang-kadang  dalam 

menghadapi  dan  mengharungi hidup ini masih resah  dan  gelisah, 

cemas dan takut seperti tak percaya bahwa Tuyhan itu Maha  Penga­

sih dan Maha Penyayang, akan menyayangi ummatnya, Dia menjanjikan 

rezki  pada  yang sungguh-sungguh berusaha,  Mengapa  saya  harus 

lebih  lemah dari labah-labah yang lemah itu.  Labah-labah  telah  
ð73[1] 
 
ð73[1] Šbanyak memberi ajaran untuk saya. Labah-labah bagaikan guru  yang 

mengajari dan membimbuing kita bagaiman caranya mengharungi hidup 

ini. Dia yang lemah, dia yang tidak berdaya, tapi dalam  tubuhnya 

dalam  pribadinya terpancar perjuangan, kesabaran  dan  ketabahan 

dan  semua  itu menghasilkan buah yang lezat dan  sedap.  Sayapun 

teringat akan jasa labah-labah ini sewaktu Nabi Muhammmad  terke­

pung didalam sebuah Goa di Jabbal Syuur, musuh sudah  berkeliling 

dan berdiri di mulut Goa. Dengan pedang terhunus para musuh rasul 

itu  ingin membunuh nabi, tapi musuh itu diamuk  keraguan  karena 

menyaksikan  di pintu goa ada labah-labah lagi asyik merajut  dan 

membuat  sarang.  Tak mungkin Muhammad ada di dalam  kata  musuh, 

lihatlah  jaringan  labah-labah tak ada yang  putus.  Labah-labah 

ikut  berperan  aktif dalam menyelamatkan Rasul kita  Nabi  besar 

Muhammad  S.A.W. Pantas rasanya acungan jempol dan uluran  tangan 

di peruntukkan baginya.

   


 
Di  hari ini kebencian dan kekesalan saya  pada  labah-labah 

mulai  berubah,  karena  labah-labah yang  semula  menganggu  dan 

menyebalkan  itu ternyata punya hikmah dan pelajaran  tersendiri, 

saya  jadi lapang hati dan jadi lebih sabar dan  pemaaf.  Semakin 

saya  perhatikan labah-labah itu, semakin saya  mengerti  tentang 

dirinya,  makanya  saya dengan mudah dapat  memaafkannya.  Memang 

kalau  kita mengerti sesuatu, maka kita mudah  memaafkan  sesuatu 

Semua itu karena saya sempat menyaksikan kehidupan dan perjuangan 

mempertahankan  hidup dari seekor labah-labah  disarangnya.  Saya 

kenang labah-labah itu dan saya kirimkan satu tulisan untuknya.

   


 
Untuk  semua itu saya teringat akan sebuah  Firman  suci_Nya 

dalam Al_Qur'an surat Ali Imran ayat 133 dan 134 :

 
ð73 Š
"Dan bersegeralah kepada keampunan dari Tuhanmu dan kepada Syurga 

yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk  orang-

orang yang bertaqwa.

(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan hartanya baik diwaktu lapang 

mauoun  di waktu sempit, dan orang-orang yang  menahan  amarahnya 

dan  memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai  orang-orang  yang 

berbuat kebaikkan". 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar