Kamis, 17 Oktober 2013

GELAS PECAH



Oleh : Dr.H.K.Suheimi

Anak saya yang paling kecil adalah yang paling gemuk ,  tapi
paling cepat larinya dan paling kencang dayung sepedanya. Melihat
dia  mengayuh sepeda kecilnya dengan kencang,  seakan-akan  semua
mau  di  tabraknya dan melihat dia berlalri dengan  cepat  tampak
seakan-akan  badannya  membulat, kelihatan lucu, kalau  dia  lagi
berlalri dan bersepeda saya asyik menyaksikannya dari jauh.

Sati  kali diatas rumah dia berlari-lari diatas rumah,  ndak
tahu  apa  yang di kejarnya, dia sedang  bergelut  dengan  kakak-
kakanya.  Tiba-tiba badannya yang gemndut itu menyentuh meja,  di
pinggir meja ada gelas, tak ayal lagi gelas tersentuh, lalu jatuh
berderai ber keping-keping. Dia terkejut dan dia takut karena dia
bersalah, tapi saya tidak menyalahkannya, saya mencari  kesalahan
pihak  lain, siapakah yang telah lalai meletakkan gelas  di  tepi
meja. Usut punya usut, rupanya pem,bantulah yang meletakkan gelas
disitu.  Maka semua kesalahan di timpakan pada pembantu. Si  anak
merasa  puas  dan  lega karena yang di  kambing  hitamkan  adalah
pembantu, dan kesalahannya di tutupi.

Kali  yang lain, pembantu pula yang membuat ulah,  tanpa  di
sengajanya,  tersentuh  olehya  meja dan gelas  jatuh  dan  pecah
kembali.  Tanpa tanya ini dan itu lantas pembantu langsung  disa­
lahkan,  dia di marahi karena tidak hati-hati, lalai dan  matanya
tidak melihat bahwa ada gelas di tepi meja. Padahal yang meletak­
kan  gelas  di tepi meja itu adalah anak saya. Sekali  lagi  anak
saya  terlindung oleh kekuasaan yang saya miliki,  dan  kesalahan
dengan  seenaknya saja saya alihkan pada yang lain, dengan  mudah
saya  mengambing hitamkan orang lain, sehingga anak saya  selamat
dan  terlindung. Anak saya puas dan tampak dia senang akan  kebi­
jaksanaan yang saya buat itu

Begitu  pula  ketika  dia berkelahi  dengan  anak  tetangga,
langsung  yang salah salahkan anak tetangga, sambil berkata  anak
saya  adalah anak baik, anak tetanggalah yang nakal. Dan  sewaktu
dia cabut dari sekolah, lantas dengan berdalih saya berkata  pada
gurunya,  bahwadia anak baik, saya bela dengan  mengatakan  bahwa
anak  itu  terbawa-bawa  teman. Sejak dia  berteman  dengan  anak
nakal, dia pun jadi nakal.

Entah  kenapa  selalu  saya berpihak  pada  anak-anak,  rasa
berpihak  ini  menyebabkan saya tidak objektif  memberikan  peni­
laian,  selalu berat sebelah. Terasa bahwa saya itu  tidak  adil,
tidak  adil pada orang lain, juga tidak adil pada  diri  sendiri.
Sehingga  jika  ada sesuatu yang harus di putuskan,  selalu  saja
saya mementingkan anak dan keluarga.

Lalu  saya merenung pada gelas pecah tadi, Anak  yang  salah
tidak  hati-hati berlari, pembantu juga yang saya salahkan.  Anak
yang salah tidak hati-hati meletakkan gelas di pinggir meja, juga
pembantu yang saya salahkan. Dan semua itu terjadi di depan  mata
anak.  Tentu dalam diri si kecil itu ada penilaian bahwa  ayahnya
tidak adil, pada kasus yang sama tetap orang lain yang di  salah­
kan  dan tetap anak yang di bela. Saya berat sebelah  saya  tidak
adil. TAmpaknya hal itu kecil, tapi dampaknya bisa besar, sehinga
sewaktu dia besarpun dia selalu mengharapkan saya jadi pembelanya
 dan  dia yakin walaupun dia melakiukan kesalahan saya akan  tetap
membelanya.  Kalau ada fasiltas kerja atau  kesempatan  menduduki
salah  satu  jabatan tentu saya akan  memperjuangkanya,  walaupun
sebenarnya dia belum pentas untuk memangku jabatan itu. Lalu saya
semakin tertampar oleh perbuatan dan sikap saya itu, saya  kurang
memberikan keberanian kepada anak saya untuk berani mengaku salah
dan  berani  bertanggung  jawab, tidak  mengajarnya  lempar  batu
sembunyi tangan. Salah satu kesalahan saya tidak berani  mengajar
anak  untuk belajar mengakui kelemahan dan kesalahan  diri.  SAya
terlalu melindunginya, sehingga saya khawatir kalau saya tak  ada
lagi, mampukah dia berdiri dan mandiri sendiri lagi.  Sikap-sikap
seperti  inipun banyak terbaca pada orang-orang yang punya  anak-
anak.  Banyak  orang-orang tua sekarang  memberi  fasilitas  yang
berlebhanpada anak-anaknya, kadang-kadang beban yang di  percaya­
kan itu sebetulnya belum terpikiul oleh anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar