Jumat, 25 Oktober 2013

Masalh Izin Rumah Ibadah


Salahuddin Wahid
Ketua Majelis Pengurus Pusat (MPP) Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI)

Beberapa waktu lalu, di Jawa Barat, terjadi banyak penutupan ''rumah ibadah''. Yaitu rumah tinggal yang dipergunakan sebagai ''gereja''. Tetapi ada juga perusakan terhadap sebuah gereja yang sesungguhnya di Semarang, yang tentu punya izin. Tidak heran kalau banyak kecaman terhadap aksi tersebut. Gus Dur, karena jengkelnya, mengecam Front Pembela Islam (FPI) yang dianggap bertanggung jawab. Dan FPI langsung membantah tuduhan itu.
Untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, saya meminta beberapa kawan untuk mengunjungi beberapa lokasi tempat kejadian itu di Purwakarta dan Bandung. Fakta yang diperoleh menunjukkan bahwa aksi penutupan itu adalah prakarsa warga setempat yang lalu menghubungi Aliansi Gerakan Anti Pemurtadan (AGAP). Yang ditutup itu adalah rumah tinggal yang digunakan sebagai gereja tanpa izin.
Banyak tokoh membuat tulisan atau pernyataan yang menyalahkan aksi penutupan itu dan meminta Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri tentang Izin Mendirikan Rumah Ibadah di cabut. Gus Dur menyatakan bahwa SKB itu ialah akal-akalan untuk menghalangi pendirian gereja. Yang lain menyatakan bahwa SKB Dua Menteri itu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 28E. Karena itu harus segera dicabut atau dibatalkan.
Tampaknya Pemerintah tidak akan mencabut SKB itu tetapi menyempurnakannya. Peraturan bersama dua menteri itu antara lain akan mengatur semacam forum antarpemuka umat beragama yang akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah daerah dalam masalah pemberian izin rumah ibadah.
Kasus Jatimulya
Awal Oktober 2005 saya bertemu dengan Pendeta Anna dari Gereja Kristen Indonesia (Gekindo) dan beberapa pendeta lain dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi yaitu aksi penutupan rumah tinggal yang dipergunakan untuk gereja, yang terletak di RW 11, Desa Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.

Tanggal 9 Oktober 2005 saya mengutus kawan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) untuk mencari fakta di tempat kejadian. Kawan itu menyaksikan jema'ah gereja melakukan kebaktian di jalan dekat ''gereja'' yang telah ditutup jalan menuju ke situ, sehingga mereka tidak bisa masuk kedalam ''gereja''. Kebaktian itu mendapatkan protes dari warga setempat yang merasa terganggu. Kejadian semacam itu telah berlangsung sejak 11 September 2005 lalu.
Apa yang terjadi itu telah menjadi berita di koran Sinar Harapan dan Suara Pembaruan dan juga diliput oleh TV. Beberapa tokoh menyatakan bahwa tindakan menutup gereja itu melanggar hak umat Kristiani untuk beribadah yang bertentangan dengan UUD dan berpotensi menggoyahkan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hari Minggu, 23 Oktober 2005 sore, saya meninjau lokasi dan sempat berdialog dengan warga di mushalla. Antara lain dengan ketua RW 11 dan wakilnya serta ketua RT 18. Saya melihat bahwa ''gereja'' itu adalah beberapa rumah tinggal kecil di jalan selebar kira-kira lima meter. Salah satu rumah tengah dibangun bertingkat. Pembangunan itu yang kemudian diketahui oleh warga untuk dijadikan gereja telah memicu warga untuk menutup ''gereja'' itu. Di seberang jalan gereja itu berdiri sebuah masjid lengkap dengan sekolah Islam. Dari dialog itu saya mendapat informasi bahwa permohonan mendirikan gereja telah ditolak oleh Pemda dengan alasan mendapatkan penolakan dari warga setempat. Menjawab pertanyaan saya, ketua RW 11 menjelaskan di Jatimulya ada delapan RW dengan 1.200 keluarga, sekitar 80 kepala keluarga (KK) beragama Kristen.
Saya jelaskan bahwa di Bali, di mana umat Islam menjadi minoritas, dibutuhkan minimal 40 keluarga Muslim untuk mendirikan sebuah masjid. Ada yang harus menempuh tujuh kilometer untuk menuju masjid. Saya bertanya apakah 80 keluarga Kristen itu tidak berhak mendirikan gereja di sekitar Jatimulya, bukan di lokasi sekarang yang menurut saya memang tidak tepat? Mereka menjawab bahwa tidak jauh dari Jatimulya --sekitar satu kilometer, tetapi di desa lain-- ada gereja. Juga ada gereja lain di Desa Jatimulya, tetapi sedikit lebih jauh. Warga tidak melarang mereka beribadah, tetapi dipersilakan untuk beribadah di gereja yang disebutkan di atas. Ketua RW juga menjelaskan bahwa umat Kristen yang tinggal di Jatimulya kebanyakan tidak ke gereja di situ, dan jema'ah yang ke gereja di situ kebanyakan berasal dari luar Jatimulya.
Masalahnya, di kalangan Kristen terdapat kelompok yang punya gereja sendiri-sendiri. Mereka tidak terbiasa pergi ke sembarang gereja, tetapi ke gereja di mana mereka menjadi jema'at. Tidak seperti umat Islam yang pergi ke masjid mana saja. Karena itu akhirnya banyak berdiri gereja yang rasionya besar kalau dibandingkan jumlah penduduk.
Apakah keadaan ini tidak dapat diubah? Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Yewanggoe, menulis di Suara Pembaruan yang antara lain mengusulkan supaya berbagai kelompok itu bisa bergabung dan mendirikan gereja untuk dipakai bersama. Dia menjelaskan bahwa di Belanda ada keharusan seperti itu yang ternyata bisa dijalankan.
Bersama mencari solusi
Terakhir saya ingin mengulangi pernyataan para wakil masyarakat setempat bahwa tidak ada maksud mereka untuk melarang umat Kristen beribadah, tetapi mempersilahkan mereka beribadah di gereja yang sudah ada --yang tidak terlalu jauh letaknya. Mereka merasa sedih dituduh bertindak anarkis dan mungkin menyebabkan keutuhan NKRI terganggu, apalagi tuduhan itu datang dari tokoh Islam.

Rumah tinggal yang dipakai menjadi gereja itu ditutup secara resmi oleh Pemda. Kegiatan kebaktian di jalan telah berlangsung lama dan suasananya sudah semakin panas. Kalau ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan. Mudah sekali bagi pihak yang tidak bertangung jawab untuk memanfaatkan situasi. Diharapkan semua pihak bisa menahan diri dan bersikap waspada.
Pemda dan pihak aparat keamanan seyogyanya mengantisipasi kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Akan lebih baik apabila anggota DPR dan para tokoh yang berkomentar di media tentang kasus Jatimulya menyempatkan diri untuk meninjau secara langsung ke lokasi dan lalu mencari solusi bersama-sama dengan Pemda, aparat keamanan dan semua pihak yang terkait, termasuk Komnas HAM.
Saya yakin akan bisa diperoleh solusi yang baik kalau semua pihak mau berdialog dengan hati lapang dan tidak emosional. Kalau di Jatimulya kita bisa memperoleh solusi yang baik, Insya Allah di tempat lain juga tidak akan terlalu sulit.

1 komentar:

  1. assalaamu'alaikum...selamat pagi...maaf, saya izin nyimak blognya ya :)

    BalasHapus