Oleh: Dr.H.K.Suheimi
Setiap kami turuni ngarai itu, setiap kali pula
kami bersirobok
dengan oplet
cigak baruak. Kadang-kadang di kelokkan,
kadang-kadang
di pendakian. Kalau di kelokkan, maka oplet
iniselalu
mencuri jalan, memepet jalan kekanan, mungkin stirnya
tak dapat
lagi di banting secara tajam. Kalau terperogok
dipendakian,terdengar
raungannya yang memilukan, seakan-akan
oplet
cigak
baruak itu mambana ndak kuat lagi, sepertinya
bertanya
"jauhkah
lagi pandakian". Terengah-engah, terseot-seot seperti
orang
sesak nafas, oplet itu melenguh mendaki sambil
membawa
muatan
yang sarat. Oplet itu sarat bernuatan, bukan hanya
di
dalam badannya
saja, tapi juga di tendanya, ber ketidng-ketiding
pisang dari
sungai jariang dan nagari lambah di muat orang.Kemudian
di dalam badan
oplet itu sarat dengan penumpang, bagaikan
sardencis,penuh
sesak, sebagian dari penumpang itu bergaut dan
bergelantungan
di pintu mobil. Oplet cigak baruak itu sebetul
sudah
terlalu tua untuk memikul beban yang sebrat dan pendakian
yang setinggi
di lembah ngarai sianok itu. Dindingnya sudah mulai
keropos,
catnya tidak tentu apa warnya, tiap sebentar mesinnya
panas,
bannya pun sudah licin, kata penumpang oplet itu, mobil
chevrolet
ini keluaran tahun 1948, berarti sudah 45 tahun
di
palasah.
Kedalam oplet cigak baruak itu, semua apa saja di muat,
Semen,
minyak tanah, pisang berketiding-ketiding, pokoknya apa
saja, asal
bisa masuk, di purukkan, sehingga oplet tua yang sudah
reot itu
di beri beban yang bukan main beratnya,
disuruh
mendaki lembah ngarai sianok, dan disuruh menempuh jalan
-jalan
berlobang sperti kubangan kerbau serta
berbatu-batu.
Jarang sekali
oplet tua itu menempuh jalan yang licin dan mulus.
Mereka hanya
diizin beroperasi samapai simpang jalan Banto Laweh,
mereka tak
diizinkan masuk kedalam kota, karena didalam kota sudah
ada menunggu
oplet Angkutan Kota yang baru-baru dan bagus-bagus.
Saya perhatikan hampir semua oplet
cigak baruak mengalami
nasib yang
serupa. Mereka tidak boleh masuk kota, ketempat kera
main, ke jalan yang mulus. Tempatnya nun di batas kota, di ping
gir-pinggir,
di jalan yang aspalnya mengelupas, di pendakian dan
di tanjakkan,
di labuh yang telah berlobang-lobang di jalan yang
buruk.
Atapnya di himpit oleh beban yang berat, lambungnya di
penuhi
oleh bermacam-macam muatan, pintunya di pergayuti. Tidak
ada tempat
yang kosong dan tempat yang lowong, semuanya berdesak-
desak
memenuhi oplet cigak baruak ini. Pernah saya menyaksikan
oplet
cigak baruak ini, di sebuah pendakian dekat
belokkan,
bannya meledak
pecah, saya terkejut, oplet itu mulai miring. Saya
perhatikan
wajar bannya meletus dan pecah, mengingat beban yang
di pikulnya
seberat itu, sedangkan bannya sudah tidak ada ragin
ya,
sudah licin, tipis dan dimana-mana nampak benang-benang ban
itu. Iba
hati ini menyaksikan amai-amai yang menompang untuk
pergi ke pekan
menjual pisang-pisangnya, tapi lebih iba lagi hati
ini melihat
penanggungan sang oplet cigak baruak, yang meraung
dan sesak
nafas waktu mendaki, tiba-tiba bannya pecah pula.
Padahal sewaktu mobil itu masih baru,
mesinnya masih kuat,
bodynya
masih utuh, tiap sebentar mobil itu di periksa,olienya
tiap sebentar
harus di ganti, minyak rem tak boleh kurang, ben
sinnya tak
boleh habis, serta dindingnya yang mulus
dan berkilat
itupun
di gosok tiap sebentar, dimana dia berhenti, sang sopir
selalu
melapnya dan membersihkannya. Mobil yang baru, kuat dan
kokoh
itu justru tak boleh memikul beban yang berat, muatannya
tak
boleh berlebih, orang diatasnya berlapang-lapang. Kalau ada
muatan
yang berlebih diturunkan, mobil itu di elus-elus dan di
banggakan
kesana kemari. Hampir semua mobil bernasib demikian.
Begitu pula dengan mobil saya yang sudah
usang, kemaren saya
bertemu
dengannya, berisi sarat dengan semen dan kerikil, mobil
itu tidak
begitu saya pedulikan lagi. Kalau dulu dia cuma mengang
kut manusia,
sekarang semua diangkutnya, mulai
dari semen,
kerekel dan
bahan-bahan bangunan, bentuknya sudah tak menentu dan
tak terurus
lagi, olienya entah sudah diganti entah belum, entah
lah.
Lalu saya merenung, hidup inipun
bagaikan mobil. Sewaktu
masih
muda badan sedang kuat, apapun bisa di kerjakan dan
di
lakukan. Pada
saat itu beban belum ada dan sedikit sekali yang di
pikulnya. Tapi
begitu mulai tua, seperti oplet cigak baruak yang
berumur
45 tahun itu, yang seharusnya bukan bebannyapun
di
pikulnya,
dalam keadaan terseok-seok, dengan nafas yang sesak,
terengah-engah,
tapi di paksakan mendaki pendakian sambil memikul
beban-beban.
Kadang-kadang beban itu seharusnya untuk Truk, tapi
di muat juga
kedalam mobil.
Untuk semua itu agaknya
perlu difikirkan, selagi muda,
tulang,
otot dan otak masih kuat, fikirannya masih jernih, dia
njurkan
untuk menabung sebanyak-banyaknya dan berusaha sekuat-
kuatnya
untuk mempersiapkan akan menempuh hari tua yang mau tak
mau
harus di lalui. Dan di hari tua telah menunggu beban-beban
yang
tidak semestinya dipikul,harus di sandang.Yang bukan
beban kita
harus diangkat, sedangkan badan lah letih, tulang lah
lemah, otot
lah menyusut dan mengkerut, kulit lah keriput, badan
lah
sakit=sakitan, bebanpun semakin berhimpitan, ada yang menimpa
kepala, ada
yang bergayut dan banyak yang menghimpit. Lalu kepada
kita di
mintakan pertanggung jawab. Dan Nabipun menganjurkan.
Pergunakanlah
masa mudamu sebelum datang tua,
Pergunakanlah
kesehatanmu
sebelum datang sakit. Pergunakanlah kayamu sebelum
datang
miskin. Pergunakanlah hidupmu sebelum datang mati. Serta
pergunakanlah
saat lapangmu sebelum datang saat sempit.
Untuk semua itu saya teringat akan
sebuah firman suci_Nya
dalam
Al=Qur'an surat Alam Nasyrah ayat
1-8 :
"Bukankah
Kami telah melapangkan untukmu dadamu.
Dan Kami menghilangkan dari padamu bebanmu
Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada
kemudahan
Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan
Maka apabila Kamu telah selesai (dari sesuatu
urusan), kerjakan
lah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu
berharap".
P a d a n g 5
April 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar