Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Saya
teringat kembali akan ceritra guru saya tentang si
buta
mencari gajah.
Setelah menemukan sang gajah
mereka saling berebut
ingin
menceritakan pada teman-temanya bahwa mereka telah menemu
kan sesuatu
yang bernama gajah karena mereka anggap gajah adalah
barang baru
dan hebat. Kata orang di jepang, Gajah
adalah tung
gangan untuk
menuju nirwana.
Syahdan, kata
guru saya, mereka si buta itu datang
dengan bere
but dan saling
mendahului serta bernafsu ingin segera mengetahui
agar
kemudian bisa segera
diceritakan kepada teman-temannya,
bagaimana
betul sang gajah itu.
Demikianlah, tanpa pikir
pan
jang
pokoknya apa yang tersentuh di depannya kemudian
diambil
satu
kesimpulan bahwa itulah gajah.
Sibuta A
yang kebetulan tersentuh belalainya kemudian cerita
dengan
gaya yang pintar kepada temannya, gajah itu panjang
2
meter,
diameternya 15 cm dan lunak, kalau dinaiki ke surga pas
dan enak di
"selakangan" (pantat/diantara dua kaki).
Kemudian
si buta B yang saat itu sedang nggrayangi
kakinya,
cerita
kalau tunggangan ke surga itu seperti batang
pisang,
dingin
dan pas kalau dipeluk. Si
buta lainnya lagi tak kalah
semangat, cerita kepada temannya karena mereka ada
yang telah
merasa
menyentuh gadingnya, perut dan telinganya. Bahwa gajah itu
keras runcing.
Gajah itu sebesar tambur tak bisa di
peluk. Gajah
itu lunah
lebar dan mengipas seperti telinga. Semua berebut semua
tak kalah
semangat untuk bercerita menurut pengetahuannya.
Singkat
cerita, kata guru saya pokoknya
yang namanya si buta,
yang sudah
barang tentu tidak bisa melihat tapi
ngotot dan nekad
mau
menceritakan yang dia temukan.
Di
tengah asyiknya menndengarkan ceritanya, tiba-tiba pak guru
terbatuk
:"Kamu ngerti kenapa mereka, sibuta itu tidak pas waktu
menceritakan prihal gajah?.
Pak guru
menjawab sendiri, kalau seandainya mereka sibuta tadi
tidak berebut
dan tidak ngotot mau paling tahu sendiri. Tentu si
Pawang gajah
pasti akan memberitahu.
Tapi
sayangnya belum-belum sudah pada rebutan bilang saya yang
benar, aku
yang betul demi agar banyak
teman-temannya bisa ikut
nunggang gajah
ke surga.
jadinya
si Pawangpun diam sambil berciloteh
:"semaumu lah".
Kalau
mereka sibuta itu mau tanya dengan baik-baik
gajah si
tunggangan
nirwana itu bagaimana Wang-Pawang?,
tentu si Pawang
pun akan
bilangi, sehingga paling tidak mereka bisa cerita agak
mendekati
kebenaran, bahwa gajah itu binatang yang besar
ada
belalainya
panjang, ada gadingnya, ada kakinya, telinga ekor dsb,
Lalu
Sang guru berkata lagi :"Mencari kebenaran itu
berbahaya
nak.
Lebih berbahaya lagi bila kamu merasa telah memperolehnya
dan menganggap
hanya dirimu yang benar. Saat itu kau mulai menya
lahkan
orang lain yang tak sesuai dengan kaca matamu".
"Engkau
sering
melihat dengan kacamatamu saja, sehingga lupa mengingat
bahwa orang
lainpun punya kacamatanya sendiri".
Maka
kata guru saya lagi :"Kebenaran itu bagaikan cicak
nak.
Sering orang
hanya menangkap ekornya. Mengira ekornya itulah yang
cicak,
karena bisa bergerak dan melenting bagaikan
cicak.
Sayangnya
sedang asyik-asyiknya dia dengan ekor cicak, Tiba-tiba
dia
terkejut dan baru tahu bahwa cicak yang sebenarnya
sudah
pergi dan
berlalu".
Maka
senantiasa kita meminta dan memohon kehadirat_Nya. Ya Allah
tunjukilah
kami jalan_Mu yang lurus dan yang benar. Jalan orang-
orang yang
telah Engkau beri nikmat. Bukan jalan orang-orang yang
Engkau murkai
dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat".
"Yang
penting" kata guru saya. "Berusahalah untuk menuju kebenar
an, dan
tolonglah orang yang dalam kesulitan. "Bila engkau meno
long
memecahkan kesulitan saudaramu di bumi, insyaAllah,
Yang
dilangit akan
memecahkan segala kesulitan mu."
P a d a n g 14
Juli 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar