HUJAN
turun terlalu pagi. Pagi
jadi kelabu, seperti kelabunya hati ini. Mendung masih menggelantung,
seakan-akan tidak mau beranjak,
tidak mau meninggalkan tempatnya. Awan
belum lagi tersibak, matahari
seakan-akan tidak mau menampakkan dirinya. Kabut begitu tebal.
Biasanya di pagi seperti itu, gunung
Merapi dan Singgalang tampak
cerah. Tetapi pagi ini,
udaranya redup, angin bertiup, itik dan ayam basah kuyup, tidak lagi
terdengar kokoknya. Semuanya diam, semuanya bisu, murai pun tidak
berkicau. Alam bagaikan menyimpan satu
kedukaan.
Rumah
Sakit itu diliputi mendung,
semua berwajah muram, semua
tertekur dan satu-satu ada yang terisak,
menahan tangis dalam sedu.
Sedu sedan diiringi linangan dan tetesan
air mata yang mengalir di pipi
tidak terasa. Badanku basah kuyup ditimpa
hujan, tetapi asinkah air
hujan yang turun di pagi itu?
Terasa asin karena bercampur
dengan air lain yang juga mengalir di pipi
ini.
Pelan-pelan dan secara sembunyi saya seka
air yang mengalir di pipi itu, saya
saksikan satu pemandangan yang memilukan. Di pembaringan itu dia tergeletak,
umurnya terlalu muda, baru menginjak 21
tahun. Biasanya dia pakai kerudung putih
dan baju putih sebagai perawat, namun
hari ini dia tidak memakai semua itu lagi.
Dia terbaring di pembaringan, diam, bisu, bibirnya
kebiruan, dia bertambah kurus, dan benjolan itu, benjolan yang ada di leher
kirinya itu, kentara sekali terlihat,
berbenjol-benjol, merah kebiruan, menakutkan dan tampaknya ganas sekali.
Hari
itu dia baru selesai menjalani operasi untuk yang
kedua kalinya. Operasi yang kedua ini, bukan operasi pada benjolan yang ada di lehernya, tetapi operasi
pada perutnya. Perutnya sakit
melilit di sebelah kanan, semula diduga usus
buntu, ternyata bukan. Dokter bedah baru tahu setelah membuka perutnya.
Rongga perutnya sudah ditumbuhi
oleh penjalaran-penjalaran tumor yang
berasal dari tenggorokannya. Karena terlalu luas tidak
mungkin semua tumor itu diangkat, hanya sebagian kecil yang diambil
untuk diperiksa di laboratorium.
Dia
tampak letih, dia tampak lesu, lebih-lebih ketika disadarinya bahwa dia bukan menderita usus
buntu, tetapi kanker tenggorokan yang dideritanya selama ini, itulah yang telah
menjalar ke mana-mana. Menyadari semua itu, kondisinya cepat sekali menurun. Dia
tidak bisa makan, dia tidak mau minum dan dia tidak bisa tidur. Kadang-kadang dia tidak sadarkan diri,
kadang-kadang dia menggigau, wajahnya
pucat, tulang-tulangnya pada
menonjol, kurus sekali, tidak seperti dulu.
Dulu,
tawanya renyah, setiap pasien kenal dengan dia,
dia mudah senyum, dia tidak pernah mengatakan lelah atau cape, sekalipun tengah
malam disuruh mengangkat atau
membersihkan serta menolong pasien, atau sedang membantu di samping meja
operasi. Dia begitu cekatan,
tangannya lincah dan dia ringan
tangan. Karenanya dia sering dijadikan contoh dan suri
teladan bagi teman-temannya. Dia
sering menggantikan temannya sesama
perawat untuk jaga malam, sifatnya suka dan ingin selalu menolong, menolong
apa yang dapat ditolongnya, meringankan
beban sesama teman-teman. Maka
teman-temannya selalu berkata,
dia adalah tempat kita
meminta tolong, dan tidak sedikit pun
tampak kerut mukanya kalau
kepadanya dimintakan bantuan dan pertolongan. Semua pasien selalu menanyakannya, dia
sederhana, namanya mudah diingat,
sesederhana orangnya.
Dia selau dipanggil Erni. Hari ini Erni tidak bisa tertawa lagi, tidak ada
lagi senyum yang menghias
bibirnya, tidak ada lagi
kelincahan geraknya.
Dipanggil namanya pun, seperti tidak
didengarnya lagi, dia tidak acuh dan tidak peduli lagi dengan
keadaan sekelilingnya. Nafasnya sesak, suaranya hilang, keringat membasahi muka
dan bajunya. Dia tampak sedang menahan
sakit yang hebat, keningnya menyeringit dan dari sana terpancar peluh. Hari demi
hari berlalu dengan cepat,
setiap datang hari baru, bagi Erni bukan berarti datang dan
timbulnya harapan, tetapi hari baru
baginya berarti keparahan dan
sakitnya pun bertambah
larat.
Kadang-kadang dia tidak sadarkan diri, kadang-kadang
dia tahu dan menyapa kita yang
datang, tetapi suaranya tidak terdengar.
Dia seakan-akan minta tolong, dia seakan-akan
minta diringankan beban dan deritanya. Tetapi semua dihadapkan
ke ketidakberdayaan. Terakhir dokter
angkat bahu, tidak ada lagi jalan, tidak mungkin untuk diobati lagi. Erni dan keluarga minta
diizinkan pulang ke kampung ke
Kuraitaji. Di Kuraitaji, di sebuah desa yang tenang, tempat dia dilahirkan , tempat dia dibesarkan
dan tempat dia bermain, tempat dia pernah bergembira
ria, berlari ke sana ke mari,
tertawa cerah bersama
teman-teman. Di sana pulalah,
dia menghabiskan sisa-sisa harinya yang terakhir, dan di sana dia akan menutup
mata, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan dunia yang fana ini. Dan di sana pulalah dia minta dikuburkan.
Permintaan terakhir untuk pulang ke Kuraitaji itupun
dikabulkan oleh dokter.
Sementara dia di pembaringan,
kakaknya berusaha mencarikan obat ke
lereng gunung Merapi, ke rumah seorang
dukun. Pertama minum obat dukun
seperti ada perbaikan dan angsuran, tetapi seminggu kemudian sakitnya semakin dan bertambah
parah, dia tidak bisa lagi
duduk, dia tidak kuat lagi menggerakkan tangan dan
kakinya, dia tidak bisa lagi menelan makanan dan dia tidak sanggup
lagi meminum minuman.
Dia tidak kuat lagi berjuang melawan
kanker yang bersarang di
tubuhnya.
Dan tibalah hari itu, tanggal 16 April 1992,
terjadilah apa yang selama ini tidak
diingini, terjadilah apa yang selama ini dikhawatirkan, hari yang membawa duka
yang sangat dalam. Erni yang telah beberapa bulan menanggung penderitaan,
akhirnya menghadap ke Yang Satu, pergi
untuk selama-lamanya, pergi untuk tidak akan
kembali lagi. Dia meninggal
karena sudah banyak penyakit yang
bersarang di tubuhnya. Semua tidak menyangka, semua tidak menduga
bahwa dia pergi begitu
cepat, usianya terlalu muda, dia
terlalu baik. Kerjanya selama ini
selalu menolong dan meringankan beban
orang, melalui tangan-tangannya banyak yang
telah terselamatkan dan banyak
yang sudah tertolong, tetapi di saat dia butuh pertolongan, seakan-akan semua tidak berdaya,
semua tidak bisa menolongnya.
Sebetulnya semua orang mau, ingin dan
bersedia menolongnya, namun tidak satu daya dan upaya pun yang dapat
membebaskannya dari derita penyakitnya
itu. Penyakit kanker, penyakit
yang sangat menakutkan dan
penyakit yang mudah sekali merenggut nyawa,
penyakit yang menyebar dengan
sangat cepat dan ganas. Penyakit yang sampai hari
ini, membuat dokter angkat
tangan, penyakit yang belum
ditemukan obatnya, penyakit yang membuat
orang bertekuk lutut, penyakit
yang menyebabkan manusia menyerah
dan pasrah. Tiada daya dan
tiada upaya. La haula wala Kuata
illa billahil 'azidhul aziim.
Di hari ini hanya satu kata yang dapat
diucapkan "Innalillahi wa inna illahi Raajiun".
Milik Allah kembali lagi kepada-Nya. Semua tertekur, semua tersedu,
semua kehilangan, kehilangan orang yang
sangat disayangi, kehilangan orang yang senantiasa ingin menolong,
kehilangan putri terbaik di
usia yang sangat muda.
“Erni,
hari ini engkau pergi, engkau yang masih
bersih dan suci, engkau
belum lagi digeluti oleh dosa-dosa
di dunia ini. Umurmu sangat
pendek, tetapi telah memberikan
arti yang sangat dalam
bagi sesama yang pernah mengenalmu. Engkau hanya sebentar mampir di dunia,
tetapi jasamu sangat besar. Engkau
adalah orang yang terbaik
yang pernah kami kenal. Ya Tuhan,
kenapa Engkau kirimkan dia kepada
kami, kalau untuk Engkau ambil kembali dengan cepat? Kami tidak mengerti apa mau-Mu dan rahasia
apa yang terkandung di balik
semua ini. Mengapa tidak Kau biarkan dia
lebih lama lagi bersama kami? Kami ingin rasakan keramahannya,
senyumnya, kepeduliannya dan kebaikannya. Ya Allah, dia
orang baik, terimalah dia sebagai hamba-Mu yang terbaik, tempatkan
dia dalam golongan hamba-hamba-Mu yang
Kau cintai. Tempatkan dia
pada tempat yang sebahagia-bahagianya, pada tempat
yang semulia-mulianya. Ampunilah
segala dosa-dosanya dan maafkan segala
kekeliruan dan kesalahannya. Berilah dia kesenangan di akhirat kelak,
sebagai ganti kesenangan, yang tidak
pernah dirasakannya selama hidup di
dunia ini. Amin, amin.”
Semula
Erni cuma mengatakan dia ada amandel. Itu kan biasa, semua orang kebanyakan menderita
amandel. Dimakannya obat, namun
amandel itu tidak kunjung mengecil.
Sampai selang beberapa tahun, dia mulai sukar menelan. Dia pergi ke
ahli THT, dianjurkan untuk operasi.
Sebetulnya, sesudah operasi amandel, biasanya orang segera sembuh, tetapi tidak
demikian halnya dengan Erni. Betapa
terkejutnya dia, betapa terkejutnya dokter yang merawatnya, betapa
terkejutnya keluarga dan betapa
terkejutnya teman-teman sama-sama perawat. Semua terkejut, semua tercengang dan semua
diam, semua bisu, sewaktu hasil
laboratorium menunjukkan bahwa Erni
menderita kanker. Kanker yang
diidapnya itu sejenis tumor yang sangat ganas, dan cepat menyebarnya.
Memang,
dalam waktu yang tidak begitu
lama, benjolan yang tadinya
hanya di tenggorakan, menyebar ke leher
dan rahang. Tampak lehernya
membengkak dan rahangnya tidak simetris. Dia
dianjurkan berobat dan rontgen ke Jakarta. Sebagai perawat dia tahu, apa itu kanker, bagaimana ganasnya
dan akibat apa yang akan di-
tanggungnya. Begitu dia membaca fonis bahwa yang diidapkannya suatu kanker tenggorokan, dia terisak,
tangisnya tertahan.
Dicarinya setiap orang yang
pernah dikenalnya, dan disalaminya, dia pamit, dia minta maaf,
dia ingin pergi berobat ke Jakarta. Saya betul-betul lupa pada wajahnya di saat
dia berkunjung ke rumah.
Betapa
terkejutnya dan jadi
penyesalan sampai hari
ini, sewaktu Erni dengan lemah
berkata, “Semua orang telah melupakan
Erni.” Bagaimana tidak akan lupa, dia tampak kurus sekali, loyo dan wajah
pun berubah. Saya
menyesal, kenapa dia tidak saya
tegur, padahal dia datang hanya untuk pamit kepada
kami sekeluarga, sedangkan saya pada waktu itu tidak ada di rumah.
Hari itu
dia pamit untuk pergi ke Jakarta.
Kami lepas dia dengan rasa terharu
diiringi doa, semoga kepergiannya itu akan membawa kesembuhan.
Sekembalinya dari Jakarta, tampak dia
sedikit sembuh, bengkak yang
dilehernya mulai mengecil, tampaknya dia
sudah mulai biasa kembali,
dikira sudah sembuh betul,
sampai kami mulai melupakan penyakitnya. Ternyata itupun tidak terlalu lama. Beberapa bulan
kemudian terbetik berita, Erni dioperasi lagi, tetapi di perut.
Waktu akan dioperasi, semula diduga usus
buntu, karena dia mengeluh sakit di perut
sebelah kanan bawah, tetapi ternyata
kanker itu telah menyebar luas
di seluruh perut. Dokter ahli bedah
tidak dapat membongkar semua
tumor itu, hanya mengambil
sedikit jaringan. Sewaktu jaringan
itu diperiksa, ternyata memang
benar kanker yang sudah menyebar
luas.
Erni kesakitan, namun dia tampak pasrah,
penyakit itu telah menggerogotinya sampai
ke semua rongga perutnya, dia
tidak punya harapan lagi. Dengan
pertimbangan yang berat dia minta pulang dan diizinkan, karena tidak ada lagi pengobatan yang dapat
diberikan. Di rumahnya di Kuraitaji, Erni terbaring lunglai. Tubuhnya tinggal lagi kulit pembalut tulang, batuknya tidak
kunjung henti, nafasnya sesak, panasnya tinggi. Dia mulai
beralih pada dukun, yang
selalu saja memberikan harapan dan harapan. Namun
harapan tinggallah harapan,
sakitnya semakin larut. Setiap yang datang menjenguk, tidak
tahan melihat deritanya. Kami
datang, kami terharu dan
kami tersedu. Erni yang terbaring
sekarang, bukan Erni yang dulu
lagi. Setahun yang lalu dia tampak segar,
lincah, penuh tawa dan keramahan,
tetapi kini yang terbaring adalah sosok
tubuh yang lunglai rapuh dan tidak lama lagi
mungkin akan pergi meningalkan kita semua. Memang beberapa
hari kemudian Erni pergi untuk
selama-lamanya dengan goresan kenangan yang dalam untuknya.
Dalam
buku harian yang ditulisnya 4 tahun yang
lalu, dia mengukir namanya ERNI
MAYANA. “Erni artinya hidup, Mayana
artinya mati. Erni tidak lama hidup,
sebentar lagi akan mati,” tulisnya. Kami semua memarahinya waktu membaca
tulisannya itu, kenapa Erni membikin
tulisan yang bukan-bukan. Tetapi entah
kenapa dia mengartikan namanya
begitu, entahlah, mungkin dia
lebih tahu. Atau Tuhan menggerakkan tangannya membikin
itu. Kita yang tidak kunjung mengerti akan apa yang
akan terjadi.
Sekarang barulah kami mengerti akan makna
apa yang ditulisnya itu. Di hari
kepergiannya itu, si Ibu hanya berucap, “Tuhan,
dia anakku yang terbaik, kenapa Engkau berikan ia padaku, kalau untuk
Engkau ambil kembali?” Pertanyaan itu tinggal pertanyaan,
dan kita tahu, semua tahu, burung-burung pun tahu,
bahwa tidak mudah mendapat jawaban dari atas sana.
Erni orang yang terbaik yang pernah saya kenal, pergi terlalu cepat,
usianya sangat muda, namun kanker itu, kanker itu telah merayap ke mana-mana,
sehingga Erni tidak berdaya, dia jatuh dan dia pergi. Hujan turun terlalu pagi, seperti turunnya
hujan di pagi itu, 16 April 1992.
Dan bahwa kepada Tuhanmu akhirnya kau kembali ?
Firman Tuhan
di atas itulah yang dibutuhkan dan merupakan jawaban yang dibutuhkan oleh
setiap insan. Suatu kawasan batiniah yang selama ini mereka cari-cari.
Kesadaran akan “Hari Kemudia” yang akan mendorong manusia untuk terus berbuat
dan berjuang dengan sebaik-baiknya di muka bumi hingga akhir hayat, tanpa perlu
merasa diri sudah ‘mandeg’ (tidak berkembang) seperti itu, atau bertanya,
“Apalagi sekarang?”
Kesadaran
akan ‘Hari Kemudian’ adalah pusat dari segala integritas sekaligus pemenuhan
akan dahaga batiniah. Suatu kesadaran bahwa segala tindakan dan hasilnya kelak
dirancang untuk tidak berhenti hingga di dunia saja, tetapi juga hingga “Hari
Keadilan’ tiba. Teruslah berjuang dengan sebaik-baiknya karena siklus tidak
hanya berhenti di sini. Masih ada siklus lanjutan.
Kesadaran
akan adanya ‘Hari Kemudian’ adalah suatu alat kendali dan pengawasan melekat
yang mandiri, agar mausia selalu berada di jalan terbaiknya, serta terhindar
dari kesalahan yang dibuatnya. Tatkala ia merasa sudah tidka da lagi orang lain
yang mengawasi secara langsung untuk berbuat kejahatan atau kecurangan, maka
kesadaran akan ‘Hari Kemudian’ dengan sendirinya akan megendalikan dirinya.
Inilah sistem pemeliharaan Tuhan terhadap manajemen alam semesta raya. Inilah
dasar dari segala dasar pengendalian kecerdasan emosi itu, yang pada akhirnya
akan menghasilkan sebuah karya terbaik manusia untuk berbuat secara maksimal
dengan cara yang sebaik-baiknya.
Kesadaran
akan ‘Hari Kemudian’ adalah suatu pusat rasa aman yang sesungguhnya, di mana
setiap orang selalu menghadap terhadpa i tekanan dari kondisi lingkungan yang
terus berubah dengan cepat tanpa bisa dikendalikan. Ia akan merasa aman dengan
adanya janji Tuhan itu.
Sikap
proaktif yang selalu dikumandangkan oleh para
penulis Barat itu, bagi saya barulah sebatas metode atau baru berupa kulit (surface),
bukanlah jawaban yang tuntas untuk masalah ini. Sikap proaktif tanpa prinsip
yang benar, bagi saya adalah seperti orang buta yang sudah bisa melihat kembali
namun tidak bisa menentukan mana warna merah dan mana warna biru. Ia buta warna
meskipun sudah mampu melihat. Begitu juga konsep visinya. Tidak akan
efektif seratus persen. Terbukti
orang-orang yang telah sukses mewujudkan visinya di dunia, tetapi setelah
mereka mencapai usia lima
puluhan, mereka kembali menyadari bahwa mereka telah menaiki tangga yang salah.
Konsep visi mereka barulah orientasi jangka menengah, belum menjangkau siklus
yang sesungguhnya, yaitu “Hari Kemudian”.
Namun,
janganlah anda salah mengartikan penjelasan saya ini menjadi suatu pengertian
bahwa hidup di dunia ini tidak penting, dan kehidupan akhiratlah yang tutama,
tanpa mau berusaha bekerja dengan sungguh-sunguh di duia. Tuhan menurunkan dan
menciptakan anda sebagai ‘ wakil Tuhan’ di muka bumi, justru bertugas sebagai
“rahmatan lil ‘alamin”. Kalau anda tidak mau berjuang dan tidak pernah
memberikan upaya, bagaimana Tuhan menimbang pekerjaan dan usaha yang telah anda
berikan selama anda bertugas di dunia ini? Berikan yang terbaik di dunia, maka
niscaya kemenanganan akan anda raih, baik di dunia dan di ‘Hari Kemudian’.
Cobalah
simak puisi Hasan Al Fatihah Bashri, pada zaman Rasulullah masih hidup :
Aku tahu rizkiku tak mungki diambil orang lain
Karenanya hatiku tenang
Aku tahu, amal-amalku tak mungkin dilakukan orang lain
Maka, aku sibukkan diriku bekerja dan beramal
Aku tahu, Allah selalu melihatku
Karenanya, aku malu bila Allah mendapatiku melakukan maksiat
Aku tahu, kematian menantiku
Maka, kupersiapkan bekal untuk berjumpa dengan Rabbku
Tuhan tidak menciptakan segala
sesuatu dengan sia-sia. Di bawah ini akan saya sampaikan perkataan manusia
ketika di “Hari Pembalasan”, menurut FirmanTuhan,
Ia (manusia) berkata : “aduhai! (dahulu) kubuat persiapan untuk
hidupku ini!”
Q.S. 89 Surat Al Fatihah Fajr
(Fajar) Ayat 24
II.5.f.
SIKLUS KEHIDUPAN DAN JAMINAN MASA DEPAN
Ia-lah yang menciptakan semula, Dan kembali
(menghidupkan)
Q.S.
85 Surat Al
Fatihah Buruuj (Gugusan Bintang) Ayat 13
Siklus
kehidupan diciptakan tiga kali. Siklus pertama adalah alam Dzuriyah atau
alam sebelum dunia. Siklus kedua adalah alam nyata, dan siklus ketiga
adalah alam akhir atau kembali ke alam pertama. Inilah lingkaran siklus yang
sesungguhnya atau life cycle. Siklus pertama adalah alam
Dzuriyah, sebelum anda diciptakan, namun anda masih bisa megenal alam ini
melalui pemahaman tentang suara hati yang telah saya jelaskan pada pemahasan
prinsip pertama, pada bagian sebelumnya. Anda masih bisa merasakan keindahannya
melalui perenungan suara hati anda sendiri yang terdiri dari sembilan puluh
sembilan dorongan suara Tuhan yang masih “membekas”. Contohnya, dorongan suara
hati igin selalu bersikap rahman dan rahim, ingin selalu indah, ingin selalu
mulia, ingin selalu teratur, atau ingin selalu kekal atau kaya dan makmur. Itu
semua masih tetap dirasakan hingga saat ini. Inilah rekaman suara hati dair
alam ruh sebelumnya.
Siklus
kedua, ketika manusia sudah dilahirkan ke muka
bumi, dan ia ditugaskan untuk mensejahterakan bumi dengan modal suara hati yang
serba agung, kecerdasan otak serta pancaindera. Kemudian tuhan menyerahkan
tugas yaitu sebuah bumi untuk dikelola. Kemudian manusia diberikan oleh-Nya
sebuah buku pedoman atau buku manual tentang pengelolaan alam semesta, yaitu Al
Qur’an Al Karim. Namun manusia sering lupa bahwa hidup di dunia adalah sebuah
tugas mulia dan kepercayaan yang diberikan oleh Sang Pemiliki alam semesta ini.
Oleh karena, itu anda diminta untuk memberikan upaya terbaik yang anda miliki
untuk mensejahterakan bumi. Tidak selayaknya anda mengharapkan sebuah “surga”
dengan cara menghindarkan diri atau melarikan diri dari sebuah tugas dan
perjuangan untuk tidak hanya menegakkankebenaran, namun juga menciptakan
kemajuan.
Siklus
ketiga, yaitu ketika fisik manusia sudah tidak
berfungsi laig. Maka otomatis ia makan kembali lagi ke alam pertama. Ia, tentu
saja seperti lazimnya, harus mempertanggungjawabkan kepercayaan dan tugas yang
pernah diemban untuk mengelola bumi. Harapan Sang Pemilik tentu saja agar anda
berhasil melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya tugas tersebut
akan diteruskan lagi oleh generasi berikutnya didunia. Masa tugas anda
rata-rata antara enam puluh sampai dengan tujuh puluh tahun. Begitulah
seterusnya, sehingga suatu saat kelak bumi ini semakin sejahtera. Di mana
idealisme suara hati sebagai ciptaan pertama menemukan bentuknya pada ciptaan
kedua di alam nyata ii. Tidak mudah memang, karena tantangan dan rintangan
berat pasti akan menghadang dan merintangi perjuangan kita. Kita pasti akan
menghadapi lawan yang keras. Masih ingat perjuangan Rasulullah ketika
menghadapi kaum Quraisy? Itulah misi Tuhan, dan itulah seni serta keindahan
hidup yang sesungguhnya.
Apakah mereka menunggu sampai (azab) Allah datang
kepada mereka dalam naungan awan gemawan dengan para malaikat? Tetapi perkara
telah diputuskan, dan kepada Allah dikembalikan segala urusan.
Q.S. 2
Surat Al
Baqarah (Sapi Betina) Ayat 210
II.5.g. TIADA KERAGUAN
Pergunakan
suatu metode historis untuk membaut suatu prediksi akan masa depan. Seperti
layaknya sebuah proyeksi, data masa lalu dikumpulkan dan dianalisa kebenarannya,
berdasarkan data masa lalu dan kondis saat ini. Kemudian, bandingkan
kebenarannya dengan Al Qur’an, niscaya anda akan terkesima dengan kebenaran
sejarah dan kondisi saat ini. Semua terbukti benar adanya. Contoh, kisah
Fir’aun, yang begitu terlambat mengakui dosa-dosanya, hingga ‘mummi’-nya yang
dalam posisi membungkuk diabadikan pada sebuah museum mesir kuno, dalam kisah
Nabi dan Rasul yang masih bisa dilihat peninggalannya. Sekarang pelajari semua
ajaran-ajarannya, lalu bandingkan dengan kondisi saat ini, seperti konsep EQ
atau barangkali buku ini, yang membahas tentang Rukun Iman dan Rukun Islam,
atau penemuan-penemuan ilmiah tentang alam semesta, misalnya kebenaran ilmiah
Surat Yunus ayat 5 tentang matahari, bulan, dan bintang, atau tentang keseimbangan
jumlah kata-kata yang berlawanan atau sepadan di dalam Al Qur’an.
Tiadakah mereka perhatiakn unta-unta bagaimana
diciptakan ?
Dan langit, bagaimana ditinggikan? Gunung-gunung,
bagaimana ditegakkan?
Dan bumi, bagaimana dihamparka?
Q.S.
88 Surat Ala
Ghaasyiyah (Hari Pembalasan) Ayat 17 – 20
Hai kumpulan jin dan manusia !
Jika sanggup kamu menembus keluar ari daerah-daerah
Langit dan bumi, tembuslah ?
Tanpa kekuasaan(kami), tiada sanggup kamu menembusnya.
Maka karunia manakah dari Tuhanmu yang kamu dustakan?
Yang merah laksana minyak berkilauan.
Maka karunia manakah dair Tuhamu yang kamu dustakan ?
Q.S.
55 Sruat Ar Rahman (Maha Pengasih) Ayat 33, 34, 35
Catatan :
Pelajari Big
Bang (Ldakan bear) Stephen Hawkings (Black Hole). Tampak bahwa Big Bang
adalah seperti bunga mawar raksasa yang merah berkilauan di angkasa.
HASIL ISION PRINCIPLE – PRINSIP MASA DEPAN
|
Katakalah : “Hai kaumku! Berbuatlah menurut
kehendakmu! Sungguh, aku pun akan melakukan (kehendakku). Nanti kamuakan
mengetahui, siapa (di antara kita) yang (paling baik)tempat kediamannya pada
akhirnya.”
Sungguh, orang durjana tiadakan mendapat kejayaan
Q.S. 6
Surat Al An’aam
(Binatang Ternak) Ayat 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar