Oleh
: Dr.H.K.Suheimi
Galuaklah
yang menyebakan saya sering pulang ke kampung di
Pariaman.
Galuaklah permaian yang paling saya gemari waktu kecil.
Kalau
sedang bermain galuak saya seperti lupa dengan
keadaan
sekeliling, lupa pulang, lupa mandi dan lupa
makan. Kalau saya
hilang dari rumah, cari saja ke tempat anak-anak
bermain galuak,
tentu saya ada disana. Galuak, sayak atau
tempurung atau batok
kelapa sangat banyak di Pariaman
karena memang Pariaman sejak
dula kala adalah penghasil kopra.
Bermain galuak membutuhkan
lapangan yang agak luas. Dengan menjepit galuak di tumit kaki,
kemudian galuak itu di gesekkan dan di
putarkan dengan menjijit
kedua ujung jari kaki, sehingga galuak
itu dapat di lemparkan
jauh pada garis batas yang di tentukan.
Kemudian galuak itu di
jepit diantara jari-jari kaki dan di genggong,
dengan cara dan ke
terampilan tersendiri. Tapi yang paling
sulit dan sukar adalah
waktu
samapai pada "Kadiak" Yaitu dengan kaki lurus badan dika
diakkan atau di bengkokkan
kebelakng sampai kepala mencecah
tanah, lalu dengan galuak di tangan di
usahakan memukul galuak
lawan. Kalau sudah sampai Kadiak ini saya
selalu kalah, karena
badan saya gemuk, dari kecil memang saya selalu di
cemeeh dengan
gelar "si Gapuak" Sebagai anak semok
pinggang saya kaku dan tidak
elastis, dalam hal kadiak mengadiak
saya selalu kalah, karena
pinggang harus lentur selentur=lenturnya, bagaikan
manusia plas
tik yang bisa di bentuk. Kelebihan
anak-anak Pariaman adalah
dalam hal kadiak ini, sehingga setelah
dewasa dan tua jarang
terdengar mereka mengeluh sakit pinggang. Karena
dari kecil ping
gangnya sudah terlatih dalam hal
Kadiak mangadiak setiap kali
mereka bermain Galuak....
Permainan Galuak, untuk bergembira, untuk bersuka
ria, untuk
ketawa ria, untuk olah raga dan
untuk melatih keterampilan,
melatih kaki dan tangan, melatih otot
paha dan pinggang serta
melatih otak. Dan dengan peraturan-peraturan yang
harus di patu
hi, menyebabkan pemainnya menghormati
peraturan yang telah di
gariskan.
Namun kini setelah lama saya ndak pulang kampung,
di kampung
tak saya temui lagi permainan "Galuak".
Mungkin karena pekarangan
rumah tak seluas dulu. Di lapangan itu,
tempat dimana dulu kami
bermain Galuak dan main "Cak bur" sudah
berdiri rumah-rumah baru.
Dan anak-anak sudah banyak yang hanya senang
dengan video game,
banyak yang duduk statis tidak bergerak di
depan TV, karena TV
bisa di tonton dari pagi sampai malam, entahlah. Namun
permainan
galuak yang sangat berfaedadh dan bermanfaat
itu sekarang sudah
langka, cuma mereka yang pernah merasakan
nimatnya bermain ga
luaklah yang ingin dan rindu akan permainan itu
lagi. Teman-teman
seangkatan saya dulu sekarang sudah pada tua
dan sebagian telah
tiada, dan permainan galuakpun
seakan-akan mulai meninggalkan
kita. Entah akan di budayakan oleh siapa dan entah
akan dimainkan
dimana. entahlah saya ndak tahu,
entah pabila dan entah kan
ð73[1]
ð73[1]
ð73[1] Šdimana, dan siapakah lagi yang akan mepopulerkan main galuak yang
sangat baik dan sangat berfaedah.
„
„
Dulu
kami bermain dibawah kerindangan batang "Baguak" atau
malinjo,
sambil memungut setiap buah baguak yang berguguran, dan
kadang-kadang
memanjat batang baguak untuk mengambil putik dan
pucuknya
sebagai sayur yang sangat lezat dan bergizi tinggi serta
perlu
untuk menurunkan kadar cholesterol. Dan dalam kerimbunan
daun-daun
baguak itu pulalah kami mendengarkan nyaringnya bunyi
uir-uir
yang berterbangan antara pohon yang satu ke pohon yang
lain.
Ah masa kecil yang gembira dan bahagia, hanya bisa untuk di
kenang,
tapi tak bisa untuk di gapai lagi, dia telah berlalu dan
pergi
sebagaimana berlalunya umur yang semakin tua.
„
„
Galuak ini di B. Tinggi di sebut orang sayak. Dibersihkan
di
rapikan dan di jadikan barang antik dan di bikin
sanduak pariuak.
Dan kalau kita makan ketupat rang kapau, maka kita
di beri minum
di dalam sayak. "Minumlah kawa"
kata amai-amai si penjual ketu
pat. Saya senang sekali minum kawa, hangat dan
menyegarkan.
„
„
Kawa
dibuat dari daun kopi yang sudah di sengai dan
di
keringkan
diatas paran tungku didapur-dapur. Berbeda dangan air
teh atau kopi. Air Kawa mempunyai rasa tersendiri
dan mengharum
kan nafas. Tapi
semua itu hilang sudah, lenyap di telan masa.
Masa kecil dulu penuh dengan kesenangan dan
kenangan, untuk di
ingat dan di ulang-ulang. Kalau
hari ini saya di B. Tinggi makan
ketupat lalu meminta air kawa, maka si
penjual ketupat hanya
tersenyum-senyum. "Bapak urang lamo,
kuno ". "Sekarang tak ada
lagi sayak dan juga tak ada lagi kawa. Sayak dan
kawa hanya bisa
di peroleh dalam mimpi". Ciloteh
si penjual. Dan sayup-sayup
terdengar alunan lagu Cik Uniang Elly Kasim :
ð73 Š
ð73 Š
Sungai nyalo urang mamukek
Kanai bada jo Ambu-Ambu
Kok basuo indak kadapek
Baok lalok dimimpi kok lai basuo.
„
„
Saya
pendam keinginan minum kawa sebagaimana saya pendam
keinginan
untuk bermain galuak. Rupanya saya ini telah termasuk
"Out Going Generation" yang sering
bermimpi dan sering mengingin
kan masa lalu dan sering merenung dan sering
bernostalgia. Tapi
ini hanyalah sekedar cerita untuk anak-anak bahwa
dulu.... Galuak
banyak fungsinya. Sebagai alat-alat dapur,
sebagai hiasan dalam
rumah tangga, sebagai ukiran, sebagai
permainan. Yang paling
asyik ialah galuak di gunakan orang untuk
menari, namanya tari
Galuak yang aktif, ceria. lincah
melantunkan kegembiraan muda
mudi sedang merajuk hati. Tarian Galuak ini
dengan irama musik
yang riang dan gembira, di tingkah
oleh bunyi pukulan antara
galuak sesama galuak. Dan banyak pula orang yang
berjalan di atas
galuak. Galuak yang di beri bertali,
kemudian tali itu di jepit
dengan kedua jari kaki, lalu siapa yang tercepat
dan tidak jatuh
dalam mengendalikan galuak. Galuak
perlu di kendalikan, kalau
tidak dia akan melenceng kesana
sini. Yang mengendalikannya
adalah si pemegang tali kendali. Sebagaimana
hidup, dia perlu di
kendalikan.
„
„
Galuak banyak manfaatnya kalau kita
tahu cara memanfaat
kannya. Hiduppun akan sangat
bermanfaat bila kita berdoa pada
Allah :"Ya Allah jadikanlah setiap
detik dalam hidupku, menjadi
detik-detik yang bermanfaat". Dan
kita berusaha mematuhi dan
menepati doa yang telah kita lafaskan itu.
Supaya jangan setiap
ð73 Šwaktu yang kita lalui, kita dianggap merugi. Karena orang yang
rugi adalah mereka yang waktunya
berlalu tapi imannya tidak
bertambah. Orang-orang yang waktunya berlalu
tapi amalnya tidak
bertambah. Orang-orang yang waktunya berlalu
tapi kebenarannya
tidak bertambah dan orang-orang yang waktunya
berlalu tapi kesa
barannya
tidak bertambah.
„
„
Lalu saya teringat akan sebuah Firman
suci-Nya dalam surat
Al
Asr
„
„
"Demi masa, sesungguhnya
manusia dalam keadaan merugi,
kecuali orang-orang yang beriman, beramal saleh,
berfatwa dengan
kebenaran
dan kesabaran",
P
a d a n g 2 September 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar