Oleh
: Dr.H.K.Suheimi
Anak saya yang paling kecil adalah yang paling gemuk ,
tapi
paling cepat larinya dan paling kencang dayung sepedanya.
Melihat
dia mengayuh sepeda kecilnya dengan kencang,
seakan-akan semua
mau di tabraknya dan melihat dia berlalri
dengan cepat tampak
seakan-akan badannya membulat, kelihatan
lucu, kalau dia lagi
berlalri dan bersepeda saya asyik menyaksikannya dari
jauh.
Sati kali diatas rumah dia berlari-lari diatas
rumah, ndak
tahu apa yang di kejarnya, dia sedang
bergelut dengan kakak-
kakanya. Tiba-tiba badannya yang gemndut itu
menyentuh meja, di
pinggir meja ada gelas, tak ayal lagi gelas tersentuh,
lalu jatuh
berderai ber keping-keping. Dia terkejut dan dia takut
karena dia
bersalah, tapi saya tidak menyalahkannya, saya mencari
kesalahan
pihak lain, siapakah yang telah lalai meletakkan
gelas di tepi
meja. Usut punya usut, rupanya pem,bantulah yang
meletakkan gelas
disitu. Maka semua kesalahan di timpakan pada
pembantu. Si anak
merasa puas dan lega karena yang di
kambing hitamkan adalah
pembantu, dan kesalahannya di tutupi.
Kali
yang lain, pembantu pula yang membuat ulah, tanpa di
sengajanya, tersentuh olehya meja dan
gelas jatuh dan pecah
kembali. Tanpa tanya ini dan itu lantas pembantu
langsung disa
lahkan, dia di marahi karena tidak hati-hati, lalai
dan matanya
tidak melihat bahwa ada gelas di tepi meja. Padahal yang
meletak
kan gelas di tepi meja itu adalah anak saya.
Sekali lagi anak
saya terlindung oleh kekuasaan yang saya miliki,
dan kesalahan
dengan seenaknya saja saya alihkan pada yang lain,
dengan mudah
saya mengambing hitamkan orang lain, sehingga anak
saya selamat
dan terlindung. Anak saya puas dan tampak dia
senang akan kebi
jaksanaan yang saya buat itu
Begitu pula ketika dia berkelahi
dengan anak tetangga,
langsung yang salah salahkan anak tetangga, sambil
berkata anak
saya adalah anak baik, anak tetanggalah yang nakal.
Dan sewaktu
dia cabut dari sekolah, lantas dengan berdalih saya
berkata pada
gurunya, bahwadia anak baik, saya bela dengan
mengatakan bahwa
anak itu terbawa-bawa teman. Sejak dia
berteman dengan anak
nakal, dia pun jadi nakal.
Entah kenapa selalu saya berpihak
pada anak-anak, rasa
berpihak ini menyebabkan saya tidak objektif
memberikan peni
laian, selalu berat sebelah. Terasa bahwa saya itu
tidak adil,
tidak adil pada orang lain, juga tidak adil pada
diri sendiri.
Sehingga jika ada sesuatu yang harus di
putuskan, selalu saja
saya mementingkan anak dan keluarga.
Lalu saya merenung pada gelas pecah tadi, Anak
yang salah
tidak hati-hati berlari, pembantu juga yang saya
salahkan. Anak
yang salah tidak hati-hati meletakkan gelas di pinggir
meja, juga
pembantu yang saya salahkan. Dan
semua itu terjadi di depan mata
anak. Tentu dalam diri si kecil
itu ada penilaian bahwa ayahnya
tidak adil, pada kasus yang sama tetap orang lain yang di
salah
kan dan tetap anak yang di bela. Saya berat sebelah
saya tidak
adil. TAmpaknya hal itu kecil, tapi dampaknya bisa besar,
sehinga
sewaktu dia besarpun dia selalu mengharapkan saya jadi
pembelanya
dan dia yakin walaupun dia melakiukan kesalahan saya akan tetap
dan dia yakin walaupun dia melakiukan kesalahan saya akan tetap
membelanya. Kalau ada fasiltas kerja atau
kesempatan menduduki
salah satu jabatan tentu saya akan
memperjuangkanya, walaupun
sebenarnya dia belum pentas untuk memangku jabatan itu.
Lalu saya
semakin tertampar oleh perbuatan dan sikap saya itu, saya
kurang
memberikan keberanian kepada anak saya untuk berani
mengaku salah
dan berani bertanggung jawab, tidak
mengajarnya lempar batu
sembunyi tangan. Salah satu kesalahan saya tidak berani
mengajar
anak untuk belajar mengakui kelemahan dan kesalahan
diri. SAya
terlalu melindunginya, sehingga saya khawatir kalau saya
tak ada
lagi, mampukah dia berdiri dan mandiri sendiri lagi.
Sikap-sikap
seperti inipun banyak terbaca pada orang-orang yang
punya anak-
anak. Banyak orang-orang tua sekarang
memberi fasilitas yang
berlebhanpada anak-anaknya, kadang-kadang beban yang di
percaya
kan itu sebetulnya belum terpikiul oleh anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar