Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Saya sedih mendengar kuda
laut naik dok, lama benar kapal ini diatas dok, sampai 1,5
bulan, tentu banyak saudara-saudara saya di ke pulauan
Mentawai yang ternanti-nanti. Dan saya lebih sedih lagi ketika kuda
laut tak boleh melaut. Padahal kapal ini adalah andalan dan harapan bagi
orang tepi dan orang pagai.
Saya pernah naik kuda laut ini,
enak nyaman dan cepat. Cuma karena saya berangkat di penghujung
Juli 1995, tepatnya tanggal 26 Juli 1995 dalam rangka pengabdian
Masyarakat dalam acara Lustrum ke VIII Fakultas Kedokteran UNAND. Dimusim
Selatan itu arus kuat dan ombak besar, angin sering berubah arah. Kapal
tergoncang dan orang-orang tergetar, muntahpun mulai berhamburan dari
mulut-mulut penompang, Kapal terombang-ambing dan sekali-sekali seakan
terbanting, karena harus memecah gelombang yang besar dan tinggi. Rata-rata
semua penumpang mabuk laut, mereka pada muntah. Bau
muntah dan bau tumpukan manusia
menyebabkan saya meninggalkan ruangan penumpang, pergi ke
ruangan jurumudi bersama kapten kapal Aidil sambil menimba penglamannya. Tidak
sedikit pengalamannya diatas laut bersama kapal kuda laut ini. Saya
asyik dan terpesona akan derita dan pengalaman-pengalaman yang telah
di tempuhnya. Dia masih muda tapi kaya dengan pengalaman dan
kepahitan hidup ini. Enak berbincang bersamanya
sebagaimana enak bersama anak kapal yang lain, karena
mereka ramah, sekalipun kapal sedang dihantam gelombang,
wajah mereka biasa-biasa saja. Keramahan awak kapal inilah yang membikin saya
betah dan tak puas walaupun sudah 5 jam berada di atas kuda laut ini. Saya
nikmati keramahan itu, saya nikmati perjalanan itu dan saya
nikmati pemandangan dan pulau-pulau yang kami lewati.
Betapa ramahnya kapten
kapal Aidil yang berceritra tentang suka dukanya di
kuda laut, betapa tabahnya dia ketika harus mengharungi
dan memecah gelombang besar. Gelombangnya samudra
Indonesia, apalagi jika berembus angin Selatan. Di persilahkannya saya duduk di
kursi jurumudinya dan dia tegak berdiri mengendalikan kuda laut. Sambil
memecah gelombang di tunjukkannya
juga bagaimana kiat-kiat mengemudi. Diajarnya saya membaca radar
yang ada di samping jurumudi. Diperlihatkannya daerah batu karang
dan ditunjukkannya dimana daerah yang banyak
ikan. Diajarkannya bagaimana membaca cuaca. Hampir 5 jam saya
duduk disampingnya. Sewaktu hampir sampai ke sikakap di
ajaknya saya memakan nasi bungkus nasi ramas bekal yang di bawanya
dari tanah tepi. Dia mau berbagi nasi bungkus dan di berinya
saya segelas kopi untuk menghangatkan badan karena
hujan yang lebat dan angin yang kencang serta gelombang yang besar, perut
harus diisi dan kopi harus di minum. Lihatlah di ruangan penompang hampir
semua penompang muntah-muntah, namun kuda laut melaju dengan
kencang. Sehingga si kakap yang bisanya di tempuh dalam waktu sehari
semalam dengan kapal lain, dengan kapal kuda laut hanya 5 jam. Teman-teman
yang berangkat kemarin, kapalnya sama-sama merapat dengan
kuda Laut pada tanggal 26 Juli 1995 itu.
Itulah pertama kali saya naik
kapal kuda laut, kapal yang di disain sangat baik sebagai kapal pembelah
gelombang, berkecepatan tinggi dan ruangannya pakai Air Condition. Harga
karcisnya sangat murah hanya Rp 17.500,- dan untuk anak sekolah Rp 10.000,. Ketika
hujan deras dan ombak besar, lalu kapten Aidil berkata :"Sebagai
pelaut Ombak adalah bantal dan hujan adalah selimut kami, setiap hari
kami berbantalkan ombak dan berselimutkan hujan, kami serimg mengalami pahit
getirnya hidup dilaut, namun laut adalah kehidupan kami dan laut memberi kami nafkah" ulasnya
sambil memelas dan menjalankan kemudi dan di kemudi itu ada
tulisan yang saya tak pernah lupakan "Lengah sedikit berarti
maut". Maka tak pernah sedetikpun jurumudi itu lepas dari tangannya.
Lebih-lebih jika cuaca buruk seperti waktu kami berangkat
dulu. Kalau cuaca agak baik jurumudi itu di serahkan pada awak yang lain.
Saya tak akan
pernah melupakan kenangan manis berlayar dengan
bersama kapal kuda laut, sebagaimana saya tak
pernah melupakan Aidil, kapten kapal yang masih muda punya dua anak yang
masih kecil-kecil, tinggal di Bayang Pasar Baru. Melalui tulisan ini
saya titip salam untuknya dan saya ingin kembali berlayar
bersamanya.
Kenangan manis itu
terhenti ketika hari ini terbaca di koran. Puluhan
penompang tak bisa di berangkatkan. Kapal Kuda laut tak
dapat izin untuk berlayar. Saya menyadari bahwa Kuda Laut
bagi penduduk Kepulauan Mentawai (Minta diawai)
adalah sangat vital, punya arti strategis. Maka saya
berdoa didalam hati, kiranya penguasa didaerah ini, bapak-bapak
rakyat dan semua pihak menolong dan ikut membantu kelancaran hubungan Mentawai
dan tanah tepi. Di Mentawai perhubungan adalah sangat perlu sekali.
Terbayang kembali dalam ingatan saya betapa lugu, dan
betapa baiknya penduduk asli
mentawai. Ketika saya menjelahi
pelosok=pelosok dan kampung-kampung kecil di pedalaman mentawai. Di
sebuah jembatan yang licin hanya dari sebatang pohon,
saya gamang. Orang Mentawai itu mengendong saya di punggungnya. Setiap
kali mereka saya beri obat, mereka menadahkan
tangan sambil berucap terima kasih.
"Mudahkanlah, nanti kamu akan di mudahkan, pesan Rasul. Lapangkanlah,
nanti kamu akan di lapangkan". Jangan persulit dan jangan persempit, nanti
kamu akan mengalami kesulitan pula. Itulah pesan Rasul yang mulia,
apalagi kita berada dalam bulan yang mulia, penghulu dari
segala bulan yaitu bulan Ramadan, dimana kebaikan dan amal kita
akan di balas berlipat ganda. "Irhammu
fil Ardh, Yarhamkum fissamak" Kasihanilah yang di Bumi, nanti
yang dilangit akan mengasihimu"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar