Oleh :
Dr.H.K.Suheimi
Sebagai
penjaja koran, saya harus bangun pagi-pagi, lalu
menunggu
di simpang tembok, menunggu sang agen membagi-bagikan
koran.
Saya perlu beradu cepat dulu mendahului, karena begitu
kita dapat
koran, langsung berlari dan berjalan cepat di sepan
jang
jalan, maka koran akan banyak terjual karena kitalah yang
pertama
bertemu dengan pembeli, dan orang-orang yang di belakang
kita,
korannya tidak akan banyak laku lagi karena jalan yang di
tempuh
itu telah didahului oleh penjaja yang lain. Saya masih
kecil,
baru kelas 5 Sekolah Rakyat, dalam berebut koran sering
kalah,
biasanya saya dapat jatah dari tangan kedua, tentu harga
nya sedikit
lebih. Kalau dari tangan pertama, saya
selalu kalah
berebut
dengan penjaja-penjaja koran yang lebih besar dan lebih
berpengalaman.
Disamping saya dapat dari tangan yang kedua, juga
saya
kalah cepat menyelusuri jalan-jalan di B. Tinggi, sehingga
saya sering
kalah bersaing. Saya ingat tahun itu adalah 1958,
Sumatera Barat
bergolak. B.Tinggi sudah diduki oleh tentara pusat
APRI. Suara letusan masih sering terdengar
di sana sini. Kami
telah terbiasa
mendengar letusan itu, kami telah terbiasa menyak
sikan mayat
terbujur di jalanan kena tembak. Kami pernah menyak
sikan puluhan
mayat di jejal di bawah jam gadang (sekarang tempat
parkir
mobil), ada yang terburai perutnya ada yang pecah kepala
nya dan darah
terserak disana sini. Peristiwa itu terjadi 23 Juli
1958,
saat Tentara PRRI sempat menduduki B.Tinggi hampir satu
hari.
Dari balik dinding rumah terdengar tentara berlari-lari
memberikan
perintah sambil menembak. Semua peristiwa itu tidak
ð73 Šmenyebabkan kami berhenti berusaha, tidak, kami terus menjajakan
koran. Koran
waktu itu yang laris adalah Aman Makmur, Pedoman dan
Haluan.
Mulai dari simpang tembok saya teriakkanlah koran-koran
yang
saya bawa, terus ke pasar atas, simpang kangkung, lapangan
kantin
dan terus ke Tarok. Biasanya sesampai di tarok, koran
itupun habis
terjual. Dan di simpang Tarok itu pula biasanya saya
di
titipi Bulletin atau stensilan "Berita Front". Berita Front
itu
adalah stensilan yang dibuat oleh tentara PRRI, dan Berita
Front
itu cepat lakunya, belum lagi sampai ke pasar bawah, bia
sanya
berita Fron yang saya bawa itupun habis. Memang
barang-
barang
terlarang dan tak boleh beredar itu lebih laku dan sering
di cari
dan di minati orang. Saya
sebagai anak kecil kelas 5 SR
tidak
mengerti, bahwa sebenarnya membawa berita front itu kedalam
kota
dilarang dan berbahaya, yang terbayang di otak saya adalah
dengan
menjojokan berita front akan menghasikan uang.
Tidak
terbayang
akan bahaya yang mengancam. Begitulah sebagai penjaja
Koran
dan penjaja Berita Front saya dapat mengumpulkan uang dan
dapat
membeli baju dan celana serta belanja ke sekolah. Hari-
haripun
berlalu, pekerjaan menjajakan koran membikin saya asyik,
karena
berjalan di terik Matahari, kulit inipun tampak semakin
masak. Yang
palin saya takutkan adalah kalau turun hujan, kemana
akan
menyuruk dan berteduh, karena kertas koran itu rapuh
dan
akan
segera layu dan robek bila tertimpa hujan. Agen tidak mau
menerima
kalau korannya rusak. Kalau hari hujan, biarlah tubuh
dan baju
ini yang basah asalkan korannya dapat di selamatkan.
Dengan
berbagai cara saya uasahakan agar koran terlindung dari
siraman
hujan, biarpun hujan telah menyirami tubuh dan
baju,
namun koran
masih bisa di selamatkan.
ð73 Š
ð73 Š
„
„
Hari-hari
berlalu dengan cepat, saya tidak mengira sekarang
saya
bisa pula menulis di koran yang dulu saya jojokan,
koran
yang dulu saya
harus berebut, ber sitegang urat leher menjualnya
kesana
sini. Saya sudah naik kelas dari penjaja koran menjadi
pengisi
rubrik dalam koran. Dan setiap kali saya melihat
si
pengencer
dan si penjaja koran, saya selalu ingat bahawa peker
jaan itu
penuh perjuangan dan penuh tantangan. Berjalan kaki
keliling
kota, berjemur diteriknya panas dan harus
bersaing
dengan
penjaja koran yang lain yang lebih unggul dan lebih kuat
serta lebih lihai.
„
„
Saya tertegun setiap kali menyaksikan seorang penjaja
koran
yang rabun yang selalu berjalan di koridor RSUP
Dr.M.Jamil Pa
dang.
Sering dia di panggil dengan si datuk, matanya buta dia
sukar melihat,
tapi dia kenal dengan kita melalui suara. Dia tahu
persis
kalau saya membeli koran dan membeli majalah Tempo. "Ini
pasti
pak Suheimi" katanya sambil memberikan koran dan majalah
kesayangan
saya. Dengan meraba-raba uang yang saya berikan, dia
tahu persis,
itu uang Rp 10.000,- Rp 5.000,- atau uang Rp 1000,-
Entah
bagaimana caranya, tapi hanya dengan meraba dia tahu persis
uang
berapa yang di tangannya itu. Mungkin karena dia buta dia
punya instink dan kelebihan yang tak dimiliki oleh
orang lain.
Setiap saya menerima uang kembali, selalu saya
selatkan di saku
nya sedikit uang recehan. Dia senyum dan
dia senang menerima
tambahan itu. Setiap hari saya ketemu dengannya dan
setiap kali
pula saya dapat senyum, senyuman dari si buta.
Walaupun senyu
mannya tidak senyaman senyuman seorang gadis
cantik, tapi dari
senyuman si Buta itu terpancar satu ke ichlasan dan
ke tulusan,
ð73 Šdalam hati saya mengaguminya dan senang padanya. Dengan mata
butanya dia berjuang dan mencari nafkah untuk
menghidupi anak
istrinya. Setiap kali saya melihatnya, saya
teringat bahwa saya
juga pernah seperti dia, sebagai penjaja Koran. Saya kira
peker
jaan itu tak ada hinanya. Hinanya satu pekerjaan
adalah tergan
tung bagaimana niat si pelaku pekerjaan itu. Kalau
niatnya nyele
weng, memakan dan mengambil hak orang lain, agaknya
lebih hina
disisi_Nya. Atau dalam pekerjaannya dia berdusta dan
berkhianat,
mungkin lebih hina lagi. Karena setiap amal atau
pekerjaan itu
tergantung pada niat sewaktu akan memulainya.
„
„
Tuhan memang selalu memerintah dan menyuruh agar kita
selalu
melakukan pekerjaan yang baik dan yang halal.
Untuk semua itu
saya teringat akan sebuah Firman suci_Nya dalam
surat At Taubah
ayat 105 :" Dan
katakanlah:"Bekerjalah kamu, maka Allah dan
rasul_Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu,
dan kamu akan di kembalikan kepada (Allah) Yang
mengetahui yang
gaib dan yang nyata, lalu di beritakan_Nya kepada
kamu apa yang
telah kamu kerjakan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar