Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Gamang
saya meniti diatas saluran air di puncak bukit batu
busuk.
Betapa tidak, jaringan dan saluran air yang dibuat oleh
Belanda
itu, sekarang di pertinggi dan diperbaharui, Demikian
tingginya
saluran dan dam air itu di buat, sehingga jurang yang
terhampar
di kiri kanan saluran air itu setinggi batang kelapa.
Dan
kalau kita tukikkan pandangan, nun jauh kebawah sana terben
tang
hamparan sawah dan sungai Batang kuranji yang airnya biru
dan
deras membuih di sela-sela bebatuan.
Saya
tahu tak akan jatuh, karena kita berjalan diatas beton
yang
cukup lebar, namun berada di ke tinggian dan langsung mena
tap
jurang yang dalam itu membuat hati saya bergiming dan jadi
gamang.
Gamang rasa-rasakan jatuh. Gamang, rasa-rasa kan datang
bahaya,
perut saya, meloyo, mual kepingin muntah. Namun karena
pergi
berombongan tak saya nampakkan betul, padahal perut ini
sudah
"Marumeh". Badan terasa ringan, rasanya
seperti tanpa
bobot,
rasa mengapung. Bermacam rasa yang datang kalau
hati sedang gamang. Saat itu saya berbisik dari dalam hati "Ya
Allah
bimbinglah hamba_Mu. Ternyat bukan saya
sendiri yang gamang.
Armijn
Raymond rupanya lebih gamang lagi di bandingkan saya, dia
nulai
berkeringat dingin. "Pak dokter, bagaimana ini"
katanya
sambil
berpegang pada lengan saya; "badan saya tidak rasa badan
lagi".
Dia tampak cemas. Untunglah Yonda Jabar memberi semangat,
jangan
berhenti dan jangan melihat ke bawah, jangan menekur,
nanti
bertambah gamang. Tegakkan kepala, melihat jauh kedepan
atau
keatas". Dan nasehat Yonda inilah yang kami ikuti,
namun
gamang
itu masih tetap tak mau hilang. Padahal ketika saluran air
itu
tidak melintasi jurang, kami enak saja berlari dan berjalan
cepat
diatasnya. Tapi begitu saluran itu melintas jurang yang
dalam.
Jangankan berlari mengangkat kaki sajapun terasa berat,
takutkan
jatuh, takut masuk jurang. Inilah gamang.
Dalam
menghadapi hiduppun kita sering tergamang, padahal
belum
tentu yang kita takutkan itu jadi kenyataan. Kita terlalu
sering
memikirkan dan membayang resiko yang terlalu besar dan
suka
memperberat persoalan, dan suka melihat dari segi jelek dan
buruknya.
Saya
lihat orang kampung disitu dan pekerja yang setiap hari
disana,
enak saja dia meniti di ketinggian, bahkan di pinggir
jurang
yang sangat dalam, betapa cepat dan gesitnya langkah kaki
mereka.
Padahal diatas kepalanya ada beban dan
di tangannya ada
jinjingan.
Saya jadi malu diri kepada orang kampung dan pekerja
itu
Dizaman
Belanda dulu betapa payahnya orang membuat saluran
air
dan dam ini, dengan segala kesulitan dan kesukaran,
saya
hanya
meniti saja kok gamang?. Pertanyaan ini yang melecut diri
saya,
sehingga sedikit demi sedikit gamang itu dapat saya kuran
gi.
Saya sadari gamang yang terjadi dalam diri adalah gamang yang
di
buat dan di ciptakan sendiri. Akibatnya yang jadi
korban
adalah
diri sendiri. Yang terlalu takut dan terlalu gamang terha
dap
sesuatu yang belum terjadi.
Hari
Minggu 2 November, kami memcari lintas alam ke puncak
bukit
batu busuk. Untuk sampai ke puncak ini, kami selusuri jalan
pendakian
yang terjal di sepanjang pipa air yang akan memutar
turbin
listrik. Turbin listrik ini menghasilkan listrik untuk PT
Semen
Indarung. Sekarang sedang di
buat lagi pipa yang lebih
besar
bergandengan dengan pipa yang di buat belanda, agar bisa
memutar
beberapa turbin mesin listrik. Untunglah disamping pipa
besar
ditebing yang sangat curam ini. Belanda membuat jenjang.
Bermandi
peluh kami tapaki dan kami jejakki jenjang itu. Demikan
banyak
dan demikian tingginya pendakian, sehingga tak terhitung
berapa
jumlah anak jenjangnya. Namun di setiap tempat dan setiap
sisi,
kami menyaksikan pemandangan yang aduhai luar biasa indah
nya,
dengan udara yang sangat segar dan sejuk, di kelilingi bukit
barisan,
dan sungai nun jauh di bawah sana mengalir dengan buih
nya
yang memutih, dan dari jauh tampak kota padang dengan lautan
Indonesia.
Ah tempat ini luar biasa untuk berolah raga dan mengo
lah
jiwa. Jiwa jadi tentram, tenang penuh kedamain terhindar dari
stress
dan kesinukkan sehari-hari.
Sebetulnya
kami akan menyusuri saluran air yang panjangnya
hampir
3 km baru samapai di kampung "Pertemuan". Kampung dimana
bertemunya
dua buah sungai dan menumpuknya air. Tapi sayang Hand
phone
saya berdering. Dari Rumah Sakit Bunda ada berita, seorang
pasien
sedang menunggu dan minta pertolongan. Teman-teman yang
lain
mengerti, bahwa pasien harus di utamakan. Kami balik kanan
dan
langsung pulang menuruni bukit-bukit yang terjal.
Saya
bersyukur memiliki telepon genggam dengan kode nomor
081-160-2227.
Kami banyak terbantu, walaupun di puncak bukit,
komunikasi
selalu lancar, berita apapun cepat dapat di pantau.
Pasien
banyak berkonsultasi melalui telepon ini. Dan kalau terse
sat,
kami dapat memberi kabar langsung di mana posisi, pada ordi
nat
berapa. Dari hutan lebat dan dalam lembahpun, dapat memberi
kan
order dan petunjuk pada karyawan di tempat kerja. Beberapa
kali
sewaktu sedang diatas mobil di kampung B Tinggi, telepom ini
berdering,
karena pasien membutuhkan. Telepon genggam, artinya
dunia dalam sebuah genggaman, karena bisa
menerima dan memberi
berita seperti layaknya sebuah telepon.
Gamang
saya sudah hilang, kami segera pulang, pasien mulai
terbayang.
Sebentar lagi kembali lagi dengan kerja rutin yang
itu-itu
juga. Untuk semua itu saya
teringat akan sebuah Firman
suciNya
dalam Al-Qur'an surat At'Taubah ayat 45:
"Sesungguhnya
yang akan meminta izin kepadamu hanyalah orang-
orang
yang tidak beriman kepada Allah dabn hari kemudian dan hati
m
ereka ragu-ragu karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-
raguannya"
P a
d a n g 3 November 1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar