LAIN
rasanya berada di puncak Gunung
Salju, terasa sepi dan mencekam, sunyi yang merasuk, dingin
yang menusuk sampai ke sumsum tulang.
Termometer menunjukkan suhu di bawah
nol derajat Celsius. Di ujung lereng yang sangat curam, di puncak
gunung yang tertinggi, di atas itulah pesawat Helicopter kami mendarat.
Hanya 7 menit saya mampu bertahan di luar, kemudian sudah
tidak kuat lagi. Jari-jari
sudah mulai kaku, untuk menekan
tombol tustel saja rasa ndak bisa lagi. Di puncak gunung salju
itu, kaki kami terbenam
di dalam es, menggigil kedinginan
dengan geraham yang gemeletuk, ujung hidung, ujung telinga
dan ujung jari kaki kaku sudah.
Di puncak
gunung salju yang sunyi itu, di dekat
kota Queens-town, di daerah yang mendekati Kutub Selatan,
walaupun di musim semi, namun
saljunya tetap membeku berwarna
putih. Di puncak gunung salju
yang seperti ini, saljunya akan selalu
ada, walaupun memasuki musim panas, disebut sebagai
salju abadi. Apalagi ketinggian 3.000 meter di atas permukaan
laut.
Di
lereng-lerengnya yang terjal, sebagian salju itu tampak meleleh. Lelehannya berubah menjadi air terjun yang
sangat banyak dan sangat
tinggi di sepanjang lereng-lerengnya yang curam. Dari puncak
gunung salju, pemandangan terasa
lebih luas, apa-apa yang tidak terlihat dari bawah jelas sekali
dari puncak gunung ini. Menyaksikan
panorama yang bukan alang kepalang indahnya,
dengan danau Waikapu di bawah terbentang
membiru dengan pulau-pulau dan
rumah-rumah penduduk serta dikelilingi
oleh hijaunya padang rumput
tempat domba-domba berkembang biak. Tidak
pernah sebelum ini
saya menyaksikan pemandangan yang
sangat menakjubkan itu.
Menyaksikan semua itu ada 2 hal yang
bergema di hati. Rasa syukur yang
sedalam-dalamnya, atas rahmat dan karunia-Nya. Karena saya berhasil menjejakkan
kaki di puncak gunung salju. Tidak
semua orang bisa berhasil sampai
ke sana. Kalau
bukanlah karena limpahan rahmat-Nya tentu saya tidakkan mungkin
sampai ke sana.
Di puncak gunung salju itu cakrawala menjadi luas, alam terbentang dengan sangat besarnya, di sana terasa betapa kecilnya diri ini
dan tidak berarti serta tidak
berdaya sama sekali. Terlafas kata-kata "Allahu Akbar" sewaktu menyaksikan
betapa besar ciptaan-Nya
ini. Ke mana pun mata dipandangkan yang
tampak hanya kebesaran demi
kebesaran-Nya.
Di puncak gunung salju
itu hati tergetar ingin mendekat kepada-Nya. Ingin bersujud ke haribaan-Nya.
Oh, alangkah indahnya jika Yang
Maha Perkasa mengizinkan hamba yang hina dina ini
menyembah menghadap-Nya. Di atas Helicopter, sewaktu mau turun dari
puncak gunung salju, tampak
puncak-puncak gunung salju yang lain, juga terlihat kokoh, anggun dan mengesankan. Di atas Helicopter
hati ini terenyuh, ingin berbakti dan
mengabdi kepada-Nya.
Puncak
gunung salju, sekarang
engkau telah kutinggalkan, namun sampai nanti engkau tetap
anggun dan kokoh, kendatipun aku telah
tiada, kendatipun aku telah meninggalkan dunia ini. Engkau masih
dan akan tetap begitu-begitu
juga. Sejak dulu kala
dan sampai hari akhir nanti. Sedangkan aku hanya singgah
sekejap, tidak lama, hanya 7 menit berada di puncakmu.
Lalu saya berfikir untuk apa membanggakan
dan menyombongkan diri, untuk apa suatu
kesombongan itu? Ada satu hal yang dirasakan oleh orang yang berada
di atas suatu puncak, ialah cakrawalanya bertambah luas,
dan dirinya terasa semakin kecil.
Di puncak sana orang tidakkan mungkin
menyombongkan diri, di puncak sana orang tidakkan mungkin pongah
dan takabur, serta menepuk dada mengatakan hanya dia yang
paling berjasa. Di puncak sana,
terasa diri ini sangat kecil tidak
berarti apa-apa. Dan kalau kita sempat berada di puncak, itu hanya berkat rahmat dan karunia-Nya jua adanya.
Untuk
semua ini, di mana pun kita berada,
Tuhan menginginkan agar kita
jangan sampai sok-sok-an. Sok itu adalah
sigkatan dari sombong, ongeh dan ka
gadang-gadangan. Karena salah
satu sifat yang sangat dibenci
Tuhan adalah sombong. Sebagaimana
firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong
dan membanggakan diri.” (Surat Annisa’
ayat 36).
“Air mengalir
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah”. Begitu juga belas kasih yang
tulus selalu mengalir kepada orang yang rendah hati. Sangat jarang belas kasih
diberikan ke orang yang sombong
Kegagalan akan
menghapus kebiasaan yang buruk. Kegagalan, akan menghancarukan kesombongan,
sehingga menciptakan sikap yang rendah hati, dan akan meningkatkan kecerdasan
emosi
-
-
Mungkin anda memberikan
sumbangan kepada orang yang tidak punya. Kemudian anda akan merasa riya’ dan
sombong. Tiba-tiba ada suara yang samar-samar berbicara : “jangan mencari
pujian!” Ingatlah, itu suara hati Sang Maha Mulia, Al Raqiib (Sang Maha Pembaca
Rahasia).
-
Anda baru saja membeli mobil
baru, ada suara hati berbicara : “jangan sombong!” Ingatlah, itu suara hati
Sang Maha Kaya, Al Ghaniy (Sang Maha Kaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar