Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Alhamdulillah, saya bersyukur karena apa yang saya
cemaskan dan saya khawatirkan selama ini tidak terjadi. Saya cemas karena dapat
kabar, kalau pak datuk meninggal dunia, susah, bertele-tele, bisa
berlarut-larut, rundingan tidak sekali putus. Datuk belum boleh di kubur
sebelum dapat pengganti untuk meneruskan jabatan penghulu ini. Bayangan
kecemasan itulah yang menghantui saya sewaktu membawa jenazah Mertua saya
Zainuddin Dt Nan Gadang, pulang kampung. Karena sebagai datuk, mau tak mau
boleh tak boleh beliau harus di makamkan di pandam pekuburan kemenakan dan
disana pulalah di tetapkan siapa yang akan mengganti untuk meneruskan tongkat estafet
kepenghuluan ini. Oh betapa leganya hati ini karena jenazah dapat
terkubur sebelum waktu lohor di Magek Bukit Tinggi.
Penyelenggaraan pemakaman ini dapat belangsung cepat karena jauh
sebelumnya kami telah melihat dan meramalkan bahwa ayah ini tak bisa
bertahan lagi. Janjiannya.... tak akan lama lagi. Maka kami berembuk dengan anak
dan kemanakan, sepakat akan mensegerakan pelaksaan penyelenggaraan jenazah.
Maka dirundingkanlah siapa yang pantas memikul jabatan datuk berikutnya.
Sehingga sewaktu jenazah sampai dikampung tak banyak mengalami rintangan,
sehingga ayah tercinta dapat beristirahat dengan tenang. Kami puas orang
kampungpun lega.
Beberapa kali saya menyaksikan selengkang
pentang, bertengkar berkeras arang, sampai memukul meja menepuk dada dan
mengeluarkan kata-kata yang tak senonoh di dekat jenazah. Hanya karena prihal
rebutan antara anak dan kemenakan dan rebutan antara kemenekan
dan kemenakan. Si anak ingin orang tuanya di selenggarakan di
rumah anak karena sakit senangnya di rumah anak. Anak lah yang menyelenggarakan
selama almarhum sakit. Kadang-kadang waktu sakit, lama tergeletak
tak banyak yang hirau. Tapi waktu meninggal semua pada berebutan dan
bertengkar di depan jenazah.
Pernah kejadian si bapak berpesan
meninggalkan, amanah sebelum wafat agar di kubur kelak di Tunggul hitam. Tungul
hitam lebih bersih lebih terpelihara, agar anak bisa sering ziarah ke
pusara dan akan dapat kiriman do'a. Karena selama hidup si bapak sangat
rukun bersama anak dan istrinya dan selama sakitpun di
selenggarakan oleh anak istri. Dan doa anaklah nanti yang
akan
sampai. Namun
setelah semua argumentasi di terangkan, pihak kemenakan tak bisa terima.
Sebagai Datuk dia adalah milik kaum, milik nagari maka pusaranya pun harus di
pandam pekuburan kaumnya. Pertengkaran tak putus malam itu,
berakhir dengan sakit hati. Esok harinya datang rombongan anak kemenakan
sebanyak 3 mobil,dengan kepala diikat kain hitam dan kain merah. Mungkin ada
juga yang menyandang senjata, bagaikan mau perang. Perintah dari kampung
"jemput terbawa". Dia mamak kita dia penghulu kita, dia milik
kita, dalam hal ini anak dan istri tak berhak. bermacam-macam
kata-kata dan mungkin juga sumpah serapah di lontarkan,
bersitegang, hampir saja terjadi pertempuran.
Berulang kali saya menyaksikan
kematian seorang datuk, bukannya tangis
kepiluan yang terdengar, bukan memudahkan penyelenggaraan pemakaman jenazah
yang jadi pembicaraan, tapi bertengkar. Tidak jarang pada hari itu putus
hubungan keluarga dan sanak saudara yang selama ini telah terbina. Putus
bakarek rotan, tidak akan saling menjelang. Kalau mau di himpun banyak
susahnya dan banyak mudaratnya dari manfaatnya, serta bermacam-macam kejadian
yang dapat saya catat.
Anak saya Ihsan berbisik di telinga
saya :"Pa....Jadi Datuk hidup susah, matipun payah ya...?". Saya
mengangguk membenarkan pendapat yang murni dari seorang anak yang masih jernih
fikirannya. Lalu saya berfikir, kenapa kebanyakan orang tidak siap menghadapi
kematian seorang datuk?, kenapa jauh sebelumnya tidak diatur di rencanakan,
dimana makam pekuburan, siapa yang akan gantinya, bagaimana kedudukan harta
yang di tinggalkannya?. Haruskah dalam kematian yang sangat menyedihkan,
berpisah selama-lamanya dengan orang yang paling di cinta, pergi
dan tak akan mungkin kembali lagi?. Lalu kita asyik mempertengkarkan
hal-hal yang membebani jenazah. Padahal yang dipertengkarkan itu hanyalah hal
yang sepele. Dan saling memperebutkan jenazah yang sudah tak ada apa-apanya dan
sudah kaku jadi mayat?. Padahal ketika almarhum masih hidup, banyak yang tak
peduli. Ketika sakit betapa ingin dia berada di tengah anak kemenakan,
tidak di tengah perawat yang dianggapnya sebagai orang lain. Dan itu tak di
dapatkannya. Sewaktu sakit tak banyak yang peduli, tapi setelah mati?, seakan
semua orang memperebutkan, memperebutkan apa...?, tuah...? nama....?
jabatan...? atau harta peninggalan... ? entahlah, semuanya berbaur jadi satu.
Saya melamun, andaikan sedang
memperebutkan mayat itu, tiba-tiba si mayat bangun dan bergerak. Barangkali
semua yang hadir akan putih tapak kakinya lari ketakutan, semua akan
meninggalkan yang di perebutkan tadi. Mungkin mayat itu hanya berpesan,
"jangan bertengkar, jangan bebani saya dengan pertengkaran yang
tak ada
gunanya jangan kalian memutus tali silaturrahim. Kenapa kamu halangi juga sya
untuk segera menghadap Tuhan yang saya cintai?".
Baru-baru ini seorang teman saya, Syamsul Hadi, sewaktu menunaikan
ibadah Haji, meninggal di rumah sakit di Mekkah jam 2 malam. Penyelenggaraan
jenazah sangat cepat, sebelum Shalat subuh dia sudah di makamkan. Sewaktu di
tanya kenapa tidak di tunggu sampai subuh?. Petugas menjawab "jangan
lalaikan orang baik ini untuk menemui Tuhannya dengan segera". Bayangkan
Jam 2 parak siang meninggal, jam 4 sebelum fajar menyingsing pelaksanaan
pemakaman sudah selesai. Mereka mematuhi ajaran agama yang dianutnya.
Nah kita semua tahu akan akan sebuah
plakat yang dikenal sebagai Piagam Bukit Marapalam "Adat bersandi syara'.
Syara' ber sandi kitabullah. Syara' mangato adat makai". Artinya orang
beradat adalah orang yang memakaikan atau menjalankan perintah agama dalam
bentuk nyata, Jadi pembawa adat dan petugas adat pada hakikatnya adalah
orang-orang yang melaksanakan dakwah bilhal. Tingkah laku perbuatan dan fiilnya
adalah mencerminkan agama yang di peluknya dan akan mensegerakan perintah
agamanya. Lalu Agama memerintahkan segerakan menguburkan mayat yang terbujur.
Tidak jarang saya lihat kalau
datuk yang meninggal, banyak pelayat yang datang, tapi mengelak sewaktu diajak
melaksanakan rukun penyelenggaraan mayat. Menolak sewaktu diajak
memandikan, menolak dan menghindar sewaktu mengapani, serta tidak banyak
yang masuk ke Mesjid untuk menyembahyangkan. Kebanyakam mereka berdiri di luar
mesjid menghota hilir mudik. Sehingga kesempatan beramal
dan berbuat
sesuatu yang baik bagi jenazah terabaikan. Bahkan tidak jarang saya lihat orang
sudah azan di Mesjid tapi pelayat yang datang dengan pakaian kebesaran, takut
pakaiannya terjiprat air dan remoh karena duduk bersimpuh. Mereka tidak
melaksanakan hal yang wajib, tapi larut oleh hal-hal yang kurang
bermanfaat yang sebetulnya jauh dari ajaran agama.
Saya perhatikan lagi. Bagi orang yang
menang berhasil merampok dan memboyong jenazah ke tepat kaumnya. Saya bertanya
sendiri apa untungnya?, apa kemenanganya? dan untuk apa kemenangan yang seperti
itu kalau akan mengorbankan hal-hal yang sangat manusiawi?. Putus tali silaturahim, menghina dan mngejek,
menepuk meja, mau bertinju dan berkelahi dan kadang-kadang menghunus parang atau
golok mengancam kalau tak terbawa awas!.
Tidak jarang juga setelah berhasil mayat di bawa, dalam penyelenggaraannya
terlihat tidak tulus, hanya mencari nama. Padahal kalau jenazah di tangan anak
dan istri yang telah menjalin kasih sayang puluhan tahun agaknya sentuhan
tangan waktu memandikan, ikhlasnya doa yang dipanjatkan dan khusuknya
hati sewaktu menyembahyangkan akan terpancar dari wajah-wajah anak -anak
tercinta.
Dilain pihak saya pernah
berfikir kalau seorang datuk meninggal diluar negeri atau jauh di rantau
apakah mesti juga dia berkubur di pandam perkuburan?. Atau kalau di kampung
anak tak ada kemenakanpun jauh, rumah di kampung pun sudah reot, sehingga kalau
jenazah di semayamkan di rumah duka, akan mengundang bahaya. Apakah mesti juga
dan di paksakan untuk harus begini dan begitu?. Agaknya adat kita bukanlah adat
yang kaku, tapi adalah adat yang fleksibel dapat menyesuaikan dengan keadaan.
"Dimana tanah di pijak disana langit di junjung". Saya hanya
berfikir-fikir, kenapa tak di beri kelonggaran dan alternatif.
Kenapa dalam suasana duka di cemari oleh pertengkaran-pertengkaran. Kenapa
harus di sulitkan, kenapa tidak di mudahkan?. Terngiang di telinga saya pesan
baginda Rasul, "mudahkanlah nanti kamu akan di mudahkan".
Untuk semua itu saya teringat
akan sebuah Firman Suci_Nya dalam Surat At Taubah ayat 128:
"Sesunguhnya
telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin."
P a d a n g 9 Juni
1995
Tidak ada komentar:
Posting Komentar