Kamis, 10 Oktober 2013

C A P I L L A N O


Oleh : Dr.H.K.Suheimi

      Satu  hal  yang menarik dari Tour kami selama  di  Vancouver adalah  kami di bawa ke Capillano. Capillano adalah  perkampungan Indian.  Semua peradaban-peradapan Indian tampil dan di  pamerkan disini. Khusus kami dijak menyaksikan Capillano Park. SuatU cagar alam  yang sangat menarik. Dan kami di bawa meniti Jembatan  gantung yang sangat panjang menyeberangi ngarai yang dalamnya  kira-kira  100  meter  dan di bawahnya mengalir  dengan  deras  sungai capilano.  Jembatan gantung yang menghubungi tepi dua buah ngarai sengaja di buat bergoyang dI sebut dengan Suspensi Bridge. Banyak yang  ndak  tahan  menyeberangi jembatan ini,  karena  curam  dan jauhnya  ngarai di bawah dan ngeri, kemudian panjangnya  jembatan yang  akan di seberangi, sehingga jembatan itu  terlihat  semakin jauh  dan  semakin  panjang. konstruksi  bangunan  jembatan  yang nampaknya sengaja di buat bergoyang. Dilangkahkan kaki yang kiri, maka dia akan bergoyang dan berayun kekanan, diayunkan kaki  yang kanan  maka  ia akan bergoyang kekiri, membuat kita  mabuk.  Saya saksikan raut-raut wajah yang ada dia atas jembatan itu.  Seorang tua  orang barat terpacak peluh dinginnya, dia kekatakutan  cemas dan  khawatir  di tengah-tengah jembatan dia  berhenti  berpegang pada  tali  jembatan. Makin di pegangnya  pingir  jembatan,  maka semakin terasa goyang jembatan itu. Karena setiap orang yang lalu lalang  di jembatan itu akan menambah goyangnya.  Sebaiknya  kita tidak  berpegang  pada pinggir jembatan, karena  dengan  demikian kita bisa mengikuti kemana goyangnya dan kemana ayunnya jembatan. Setelah saya ikuti irama goyangnya jembatan dan saya ikuti kemana ayunannya, serta tidak melawan arah goncangan, maka diatas jembatan  itu justru terasa enak, terasa berbuai-buai. Agaknya  itulah sebabnya jembatan di kampung saya di namaknan jembatan buai.
      Kalau  sudah  menurut irama, sebetulnya kita  bisa  berjalan cepat,  bahkan bisa berlari, karena sewaktu berjalan cepat  badan bergoyang seirama dengan goyangnya jembatan dan berlaripun  demikian. Maka benar gaya orang Indian, Mereka justru di jembatan itu berlari kencang, berburu dan menaikii kuda. Terbayang dalam ingatan  saya  sewaktu Dr Carl May yang berceritra  tentang  Winnetou kepala  suku Apache. Masuk keluar hutan dengan kuda putihnya  dan rambut suri yang tergerai, turun naik bukit, meniti diatas jembatan  dengan  jurang dan ngarai yang sangat  dalam  terbentang  di bawahnya. Maka memasuki daerah Indian di Capillano park,  mengingatkan  saya akan kisah-kisah Old Sutterhand yang mengembara  dan bersahabat  dengan Orang Indian. Saya adalah penggemar  dan  suka sekali  membaca ceritra karangan Dr Karl May  yang  mengungkapkan pengembaraannya di hutan-hutan di perkampungan Indian. Dan  sekarang saya alami tempat-tempat yang di ceritrakannya.  Betul-betul mendebarkan  dan  mengerikan di lereng-lereng bukit  yang  curam. Akhirnya  saya  bisa menyeberangi jembatan  itu  sambil  setengah berlari. Di seberang kami selusuri jalan-jalan setapak, masuk  ke
 hutan-hutan  dengan  pohon kayu yang besar dan  tua,  seperti  di hutan raya saja layaknya.
      Sebetulnya  beberapa  meter di pintu gerbang  jembatan  saya bertemu  dengan  Dr  Sumedi. Dia berusaha berpegang  ke  tali  di pinggir  jembatan, dia pucat keringat dingin  membasahi  dahinya, dia  ngak kuat dan dia takut. "Saya memang ndak tahan  di  tempat yang  tinggi"  katanya sambil memejamkan mata,  "dan  saya  ngeri dengan  goyangan  jembatan ini", dia kelihatan agak  pucat.  Saya antar dia ke pangkal jembatan dan Dr Sumedi hanya bisa  memandang kami pergi. Memang ada saja yang takut berdiri di ketinggian  dan ada saja yang gamang karena goncangan. Bukan karena di buat-buat,walaupun kita yakin, tidak pernah ada orang yang jatuh di  jembatan itu karena sistem pengamannya sangat baik, namun bergoyang di ketinggian,  sedangkan  di bawah terbentang  jurang  yang  sangat dalam  dengan air deras dan bebatuan. Apalagi kalau  di  tolehkan kepala  ke bawah bertambah ngerinya. Namun kapan lagi  kita  akan berayun  di  atas jembatan dan kapan lagi kita bisa  ke  seberang melihat perkampungan Indian dulu kalanya.
      Ini  adalah  daerah dan kerajaan Indian dulu  kalanya,  kata Pemandu Wisata di tempat itu. Seorang pemandu wisata yang  sangat tinggi  dan  sangat cantik dan masih muda,  susan  namanya,  yang selalu tersenyum. Maka semua anggota rombongan, termasuk saya dan istri  berebutan ingin di dekatnya berada disisinya dan ingin  di potret  bersamanya. Dengan senyum yang selalu  menghias  bibirnyadia  kabulkan setiap keinginan pelancong yang ingin berada  didekatnya  dan  berpoteret bersamanya. Dia  tinggi  semampai  cantik bagaikan boneka , dengan hidung mancung dan pipi merah dan seulas bibir yang merah megubarkan senyum kesetiap tamu yang datang.  Ke
ramah tamahan dan keindahan alam serta goyangnya jembatan, menambah  lekatnya  hati di Taman Capillano. Serta  olah  raga  keluar masuk  rimba  dan turun ke lembah di seberang  ngarai,  menyusuru lereng-lereng  bukit  yang tajam. Kemudian shoping  di  pertokoan yang memperlihatkan ke tinggian Budaya Indian di zaman dulu  kala dan  rimbun  dan besar-besarnya pohon yang terpelihara  di  cagar alam  itu  menyebakan kami terlambat pulang, karena  sudah  payah kiki mengumpulkan anggotanya untuk berangkat namun masih saja ada yang berfoto di patung-patung Indian, masih ada yang bersandar di Rodeo,  kereta  Indian  kuno yang di  guanakan  untuk  berpindah-pindah.  Masih  ada saja yang  keluar  masuk  perumahan-perumahan Indian dan mencobakan peralatan-peralatan panah dan kampak  Indian.
      Merasakan  goncangan, berjalan, bergoyang  dan  berlari-lari kecil  diatas  Suspensi Bridge menimbulkan kesan  tersendiri  dan meningatkan  saya bahwa di Padangpun banyak jembatan gantung,  di Muaro, di Sungai sapih di Kurawo dan di si Guntur Muda di  daerah pesisir  dan  sebuah lagi jembatan alam di  daerah  asam  kumbang bayang  ialah  jembatan akar yang hanya terbuat dari  akar  kayu, lambang  percitaan  antara  2 pohon  Beringin,  sehingga  akarnya berjalain  menyeberangi  sungai sepanjang 30  meter  dan  menjadi jembatan yang di sebut jembatan akar. Jembatan yang menghubungi 2 buah desa.
      Tidak  ada di dunia lain, jembatan akar, satu-satunya  hanya ada  di Ranah minang di kabupaten pesisir selatan.  Setelah  saya banding-bandingkan ternyata masing-masing punya kelebihan. Jembatan di Capillano sengaja di buat dan di promosikan, sehingga hari itu  saja  saya lihat bukan main banyak pengunjungnya  dan  bukan main banyak uang yang di belanjakan di tempat itu,sehingga untuk membayar souvenir yang kita beli di toko di dalam taman itu  saya antri  cukup lama hampir 30 menit, antri hanya untuk sekedar  mau membayar  belanjaan di situ. Sedangkan di kampung  saya  jembatan yang  terbuat  betul-betul secara alamaih  hanya  karena  jalinan antara  akar 2 buah batang kayu, disana tidak ada toko  souvenir, disana tak banyak orang datang, padahal alamnya tak kalah  hebatnya,  disekitar  itupun terdapat sarasah ekor  koda,  air  terjun bertingkat  tiga  yang  bagus sekali. Namun  dasar  reseki  belum nyampai  dan  uang banyak beredar dan berputar di  negeri  orang.
      Saya  tinggalkan kampung Indian, capillano Park  dengan  suspensi Bridgenya dan ingat akan kampung halaman, di Padang dan  sekitarnya  banyak  obyek-obyek wisata yang sangat  menarik  hati  namun kalah  promosi. Di Padang banyak alamnya yang masih perawan  asli dan  belum di olah, tapi sayang belum masuk  perhitungan.  Selalu saja si Bule yang tiap kali menyaksikan alam Ranah minang  berdecah  kagum. "Kamu punya potensi yang bukan main, tinggal  sedikit pengelolaan  dan  promosi, lalu juallah ke seantero  dunia,  maka tempatmu yang di lewati Equator, khatulistiwa sangat menarik  dan sangat  kaya".  Saya rasakan di alam yang kaya  ini  hidup  sanak saudara saya yang jauh di bawah garis kemiskinan.
      Sedangkan di belahan dunia sana, Alam mereka tak begitu kaya dan penuh kekerasan, karena di musim dingin mereka tak bisa kerja sama  sekali. Sedangkan di kampung saya, setiap hari  dari  siang sampai malam kita bisa bekerja dan berusaha.
      Satu  kelebihan mereka yang saya perhatikan, sekeras  apapun alam,  di  jinakkannya  dan di jadikannya  mata  pencaharian.  Di
kelola  dan di olahnya dengan sepenuh hati dan  bekerja  sungguh-sungguh  sehingga alam yang keras itu menjadi jinak dan dapat  di jualnya  dengan harga yang tinggi sehingga hidup  merekapun  jadi makmur.  Kita bisa pula makmur, karena alam kita  makmur,  setiap detik  dan  setiap  saat bisa bekerja, tinggal  lagi  kemaun  dan kemampuan.  Saya selalu berdoa, kiranya Tuhan  menunjukkan  jalan yang  lurus  dan yang benar, agar kita  bekerja  secara  sungguh-sungguh  mengejar  ketinggalan yang sudah jauh.  Dan  tidak  lagi bertengkar memperebutkan sesuatu yang tidak jelas.
      Untuk  itu  saya tringat akan sebuah Firman  Suci_Nya  dalam Al_Qur'an surat Az_Zumar ayat 39 :
"  Katakanlah :"Hai kaumku, bekerjalah sesuai  dengan  keadaanmu,sesungguhnya aku akan bekerja pula, maka kelak kamu akan mengetahui".

Capillano , Vancouver  16 September 1994.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar