Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Satu hal yang menarik dari
Tour kami selama di Vancouver adalah kami di bawa ke
Capillano. Capillano adalah perkampungan Indian. Semua
peradaban-peradapan Indian tampil dan di pamerkan disini. Khusus kami dijak
menyaksikan Capillano Park. SuatU cagar alam yang sangat menarik. Dan
kami di bawa meniti Jembatan gantung yang sangat panjang menyeberangi
ngarai yang dalamnya kira-kira 100 meter dan di
bawahnya mengalir dengan deras sungai capilano. Jembatan gantung yang menghubungi tepi dua
buah ngarai sengaja di buat bergoyang dI sebut dengan Suspensi Bridge. Banyak
yang ndak tahan menyeberangi jembatan ini, karena
curam dan jauhnya ngarai di bawah dan ngeri, kemudian
panjangnya jembatan yang akan di seberangi, sehingga jembatan itu
terlihat semakin jauh dan semakin panjang.
konstruksi bangunan jembatan yang nampaknya sengaja di buat
bergoyang. Dilangkahkan kaki yang kiri, maka dia akan bergoyang dan berayun
kekanan, diayunkan kaki yang kanan maka ia akan bergoyang
kekiri, membuat kita mabuk. Saya saksikan raut-raut wajah yang ada dia atas jembatan itu. Seorang
tua orang barat terpacak peluh dinginnya, dia kekatakutan cemas dan
khawatir di tengah-tengah jembatan dia berhenti berpegang
pada tali jembatan. Makin di pegangnya pingir jembatan,
maka semakin terasa goyang jembatan itu. Karena setiap orang yang lalu
lalang di jembatan itu akan menambah goyangnya. Sebaiknya
kita tidak berpegang pada pinggir jembatan, karena dengan
demikian kita bisa mengikuti kemana goyangnya dan kemana ayunnya
jembatan. Setelah saya ikuti irama goyangnya jembatan dan saya ikuti kemana
ayunannya, serta tidak melawan arah goncangan, maka diatas jembatan itu
justru terasa enak, terasa berbuai-buai. Agaknya itulah sebabnya jembatan
di kampung saya di namaknan jembatan buai.
Kalau sudah menurut irama,
sebetulnya kita bisa berjalan cepat, bahkan bisa berlari,
karena sewaktu berjalan cepat badan bergoyang seirama dengan goyangnya
jembatan dan berlaripun demikian. Maka benar gaya orang Indian, Mereka
justru di jembatan itu berlari kencang, berburu dan menaikii kuda. Terbayang
dalam ingatan saya sewaktu Dr Carl May yang berceritra
tentang Winnetou kepala suku Apache. Masuk keluar hutan dengan
kuda putihnya dan rambut suri yang tergerai, turun naik bukit, meniti
diatas jembatan dengan jurang dan ngarai yang sangat dalam
terbentang di bawahnya. Maka memasuki daerah Indian di Capillano
park, mengingatkan saya akan kisah-kisah Old Sutterhand yang
mengembara dan bersahabat dengan Orang Indian. Saya adalah
penggemar dan suka sekali membaca ceritra karangan Dr Karl
May yang mengungkapkan pengembaraannya di hutan-hutan di
perkampungan Indian. Dan sekarang saya alami tempat-tempat yang di
ceritrakannya. Betul-betul mendebarkan dan mengerikan di
lereng-lereng bukit yang curam. Akhirnya saya bisa
menyeberangi jembatan itu sambil setengah berlari. Di
seberang kami selusuri jalan-jalan setapak, masuk ke
hutan-hutan dengan pohon kayu yang
besar dan tua, seperti di hutan raya saja layaknya.
Sebetulnya beberapa meter di
pintu gerbang jembatan saya bertemu dengan Dr
Sumedi. Dia berusaha berpegang ke tali di pinggir
jembatan, dia pucat keringat dingin membasahi dahinya, dia
ngak kuat dan dia takut. "Saya memang ndak tahan di
tempat yang tinggi" katanya sambil memejamkan mata,
"dan saya ngeri dengan goyangan jembatan
ini", dia kelihatan agak pucat. Saya antar dia ke pangkal
jembatan dan Dr Sumedi hanya bisa memandang kami pergi. Memang ada saja
yang takut berdiri di ketinggian dan ada saja yang gamang karena
goncangan. Bukan karena di buat-buat,walaupun kita yakin, tidak pernah ada
orang yang jatuh di jembatan itu karena sistem pengamannya sangat baik,
namun bergoyang di ketinggian, sedangkan di bawah terbentang
jurang yang sangat dalam dengan air deras dan bebatuan.
Apalagi kalau di tolehkan kepala ke bawah bertambah ngerinya.
Namun kapan lagi kita akan berayun di atas jembatan dan
kapan lagi kita bisa ke seberang melihat perkampungan Indian dulu
kalanya.
Ini adalah daerah dan kerajaan
Indian dulu kalanya, kata Pemandu Wisata di tempat itu. Seorang
pemandu wisata yang sangat tinggi dan sangat cantik dan masih
muda, susan namanya, yang selalu tersenyum. Maka semua
anggota rombongan, termasuk saya dan istri berebutan ingin di dekatnya
berada disisinya dan ingin di potret bersamanya. Dengan senyum yang
selalu menghias bibirnyadia kabulkan setiap keinginan
pelancong yang ingin berada didekatnya dan berpoteret
bersamanya. Dia tinggi semampai cantik bagaikan boneka ,
dengan hidung mancung dan pipi merah dan seulas bibir yang merah megubarkan
senyum kesetiap tamu yang datang. Ke
ramah tamahan
dan keindahan alam serta goyangnya jembatan, menambah lekatnya hati
di Taman Capillano. Serta olah raga keluar masuk rimba
dan turun ke lembah di seberang ngarai, menyusuru
lereng-lereng bukit yang tajam. Kemudian shoping di
pertokoan yang memperlihatkan ke tinggian Budaya Indian di zaman dulu
kala dan rimbun dan besar-besarnya pohon yang terpelihara
di cagar alam itu menyebakan kami terlambat pulang,
karena sudah payah kiki mengumpulkan anggotanya untuk berangkat namun
masih saja ada yang berfoto di patung-patung Indian, masih ada yang bersandar
di Rodeo, kereta Indian kuno yang di guanakan
untuk berpindah-pindah. Masih ada saja yang
keluar masuk perumahan-perumahan Indian dan mencobakan peralatan-peralatan
panah dan kampak Indian.
Merasakan goncangan, berjalan,
bergoyang dan berlari-lari kecil diatas Suspensi Bridge
menimbulkan kesan tersendiri dan meningatkan saya bahwa di
Padangpun banyak jembatan gantung, di Muaro, di Sungai sapih di Kurawo
dan di si Guntur Muda di daerah pesisir dan sebuah lagi
jembatan alam di daerah asam kumbang bayang ialah
jembatan akar yang hanya terbuat dari akar kayu, lambang
percitaan antara 2 pohon Beringin, sehingga
akarnya berjalain menyeberangi sungai sepanjang 30
meter dan menjadi jembatan yang di sebut jembatan akar.
Jembatan yang menghubungi 2 buah desa.
Tidak ada di dunia lain, jembatan
akar, satu-satunya hanya ada di Ranah minang di kabupaten pesisir
selatan. Setelah saya banding-bandingkan ternyata masing-masing
punya kelebihan. Jembatan di Capillano sengaja di buat dan di promosikan,
sehingga hari itu saja saya lihat bukan main banyak pengunjungnya
dan bukan main banyak uang yang di belanjakan di tempat
itu,sehingga untuk membayar souvenir yang kita beli di toko di dalam taman itu
saya antri cukup lama hampir 30 menit, antri hanya untuk sekedar
mau membayar belanjaan di situ. Sedangkan di kampung saya
jembatan yang terbuat betul-betul secara alamaih hanya
karena jalinan antara akar 2 buah batang kayu, disana tidak
ada toko souvenir, disana tak banyak orang datang, padahal alamnya tak
kalah hebatnya, disekitar itupun terdapat sarasah ekor
koda, air terjun bertingkat tiga yang bagus
sekali. Namun dasar reseki belum nyampai dan uang
banyak beredar dan berputar di negeri orang.
Saya tinggalkan kampung Indian,
capillano Park dengan suspensi Bridgenya dan ingat akan kampung
halaman, di Padang dan sekitarnya banyak obyek-obyek wisata
yang sangat menarik hati namun kalah promosi. Di Padang
banyak alamnya yang masih perawan asli dan belum di olah, tapi
sayang belum masuk perhitungan. Selalu saja si Bule yang tiap kali
menyaksikan alam Ranah minang berdecah kagum. "Kamu punya
potensi yang bukan main, tinggal sedikit pengelolaan dan
promosi, lalu juallah ke seantero dunia, maka tempatmu yang
di lewati Equator, khatulistiwa sangat menarik dan sangat
kaya". Saya rasakan di alam yang kaya ini hidup
sanak saudara saya yang jauh di bawah garis kemiskinan.
Sedangkan di belahan dunia sana, Alam
mereka tak begitu kaya dan penuh kekerasan, karena di musim dingin mereka tak
bisa kerja sama sekali. Sedangkan di kampung saya, setiap hari dari
siang sampai malam kita bisa bekerja dan berusaha.
Satu kelebihan mereka yang saya
perhatikan, sekeras apapun alam, di jinakkannya dan di
jadikannya mata pencaharian. Di
kelola
dan di olahnya dengan sepenuh hati dan bekerja
sungguh-sungguh sehingga alam yang keras itu menjadi jinak dan
dapat di jualnya dengan harga yang tinggi sehingga hidup
merekapun jadi makmur. Kita bisa pula makmur, karena alam
kita makmur, setiap detik dan setiap saat bisa
bekerja, tinggal lagi kemaun dan kemampuan. Saya selalu
berdoa, kiranya Tuhan menunjukkan jalan yang lurus dan
yang benar, agar kita bekerja secara sungguh-sungguh
mengejar ketinggalan yang sudah jauh. Dan tidak
lagi bertengkar memperebutkan sesuatu yang tidak jelas.
Untuk itu saya tringat akan
sebuah Firman Suci_Nya dalam Al_Qur'an surat Az_Zumar ayat 39 :
"
Katakanlah :"Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan
keadaanmu,sesungguhnya aku akan bekerja pula, maka kelak kamu akan
mengetahui".
Capillano , Vancouver
16 September 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar