Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Ketika mahasiswa saya berambisi jadi anggota
senat, karena saya lihat mereka terhormat dapat kursi dan tanda
tangannyapun mahal, di pundak dan didanya ada selempang. Jika ada acara-acara resmi Fakultas, duduknya dideretan
depan pada kursi yang telah di sediakan.
Bermacam-macam langkah yang
saya jalankan, hingga akhirnya bisa
menjadi anggota senat. Kemudian saya
ber ambisi pula menjadi
ketua plonco, karena sebagai ketua,
kekuasannya besar dan kata-katanya di dengar dan dituruti.
Bermacam pula usaha saya
kearah itu akhirnya bisa
pula jadi ketua
panitia perploncoan. Kemudian saya berambisi pula ingin jadi ketua dewan perwakilan Mahasiswa,akhirnya inipun terwujud.
Rupanya penyakit ambisi ini tidak habis-habisnya, sampai saat-saat
terakhir ini. Ambisi ingin terkenal,
ambisi igin di hargai, ambisi dapat menduduki
tempat yang terhornmat. Dikampung ingin jadi ketua RT, Di
Mesjid ingin jadi ketua mesjid, supaya
tenar dan ternama ingin memberi
ceramah di mana-mana. Tidak
peduli siang atau
malam, bahkan sering memberi ceramah itu di hari minggu dan hari libur, dalam
kota atau luar kota. Setiap selesai memberi
ceramah ada rasa bangga, rasa puas dan bakatpun tersalur. Pada
awalnya saya berdalih, untuk masyarakat, demi masyarakat. Tapi setelah
saya renung-renungkan, sebetulnya disamping untuk masyarakat,
juga adalah untuk kepentingan
diri sendiri, ingin ternama dan ingin terkenal. Tapi sayang untuk mencapai
ambisi dan mendapatkan yang di ingini itu, saya menghabiskan waktu yang
sangat banyak. Persiapan mencari bahan
yang akan di ceramahkan, mencari buku kesana dan kesini. Membaca ini dan membaca itu. Kemudian pergi lagi ke tempat ceramah yang kadang-kadang memakan
waktu berjam-jam. Waktu yang saya korbankan untuk mencapai satu ambisi sangat
banyak. Akibatnya fikiran, seluruh daya dan upaya saya
tercurah pada ambisi yang akan saya capai. Konsentrasi saya terpusat
kesana. Sampai pada satu hari, di hari minggu, sepulang
memberi satu ceramah saya tanya anak saya yang sulung Irham,
kok tidak kelihatan. Lalu saya
dapat jawaban bahwa Irham pergi kamping. Tadi saya
di tunggu-tunggunya untuk minta
izin pergi, tapi saya tak pulang-pulang, lantas anak saya pergi saja
bersama teman-temannya. Anak saya pergi
kamping saya tak tahu, dia ingin minta izin tapi saya tak
punya waktu dan bertemu dengannya. Oh demikian
jauh dan demikian jarakkah saya
dengannya?. Saya terperangah dan menyesali diri, kenapa waktu saya habis melayani orang
lain, sedang anak yang
mungkin minta nasehat, mungkin
minta perbekalan, mungkin minta pandangan tentang kamping,
mungkin sangat membutuhkan saya, tidak sempat ketemu dengan saya.
Dalam renungan,
saya menghitung-hitung berapa
waktu yang saya berikan untuk
anak-anak dan keluarga, dan berapa pula
waktu yang saya gunakan untuk
kepentingan masyarakat atau kepentingan
dan kepuasan saya sendiri?. Saya coba menghitung-hitung, ternyata saya tidak
adil, waktu saya banyak di
habiskan bersama orang lain, melayani orang, mengobati orang,
mengoperasi orang, memberi ceramah orang. Dan sangat sedikit waktu yang saya
tumpahkan untuk anak, istri dan famili lainnya. Setelah saya hitung-hitung
lantas saya terpana, ternyata waktu saya
banyak di habiskan untuk memburu dan
mencapai ambisi-ambisi. Memang yang saya
idamkan dan inginkan itu dapat di
capai, tetapi sesudah tercapai,
what Next ?,lalu apa lagi?. Korban sudah terlalu banyak
dan yang
menjadi korbanpun, kadang-kadang
diri sendiri, tidak jarang orang yang paling terdekat dengan kita yang jadi
korban ambisi-ambisi pribadi. Yang namanya manusia tetap tidak
puas-puasnya, dapat yang satu
kepingin yang lain. Tapi saya rasakan saya banyak
rugi, anak-anak kalau mau
pergi kemana, dia tidak
minta izin lagi karena saya selalu saja sedang kerja. Pekerjaan
Rumah mereka yang biasa saya kontrol,
sekarang tidak lagi, karena ketika
saya pulang praktek mereka sudah tertidur. Di hari-hari saya di rumah,
anak-anak pula yang pergi Les. Di hari libur yang seharusnya kami bisa
berkumpul, saya di jemput pula untuk memberi ceramah kesana dan
kemari. Lantas kapan kami bisa bersama seperti dulu
lagi?, ketika saya belum menjadi orang penting seperti sekarang. Ketika ambisi saya belum tercapai seperti
saat ini.
Saya tidak
adil, saya berat sebelah, saya
terlalu egois, mementingkan diri sendiri dan kebutuhan sendiri,
sehingga sering menyendiri, berfikir, membaca dan berangan-angan ingin
jadi ini dan ingin jadi itu. Akibat saya
menyisihkan diri dari anak-anak,
akhirnya saya tersisih, saya terpisah, tidak
dapat mengikuti kegiatan
anak-anak dan tidak dapat membantu memecahkan
pekerjaan rumahnya. Anak-anak sering
memberi saya gelar "Jarum
Super" Jarang dirumah Suka pergi.
Memang
saya lihat, semakin penting seseorang semakin
tinggi jabatannya, semakin besar mejanya, semakin besar kamarnya
dan semakin sendirian dia dalam
kamar yang besar itu, serta semakin sepi dan
sunyilah dia karena mulai terisolasi
dan tersisih. Semakin susah
menemuinya dan semakin sedikit kawannya. Dipuncaknya, tinggalah
lagi dia sendiri di balut sepi. Semakin
rendah seseorang semakin kecil mejanya, semakin banyak temannya.
Penyakit sepi sendiri inilah yang sering dialami
oleh top-top manager,
orang-orang yang di puncak
dan orang-orang yang berada
di pucuk pimpinan. Lalu timbul
takut saya meng ayunkan langkah ke puncak yang tertinggi itu.
Sekarang saja saya mulai di tinggalkan anak, dia pergi kamping tanpa
sepengetahuan saya. Saya harus
banting stir saya harus merubah
sikap, saya harus
adil membagi waktu, waktu untuk diri sendiri, waktu untuk keluarga dan
waktu untuk orang banyak harus seimbang. Jadi saya harus
bisa menahan diri untuk mencapai keinginan dan memenuhi ambisi-ambisi pribadi. Apalah artinya sebuah
ke tenaran kalau sampai tidak ada
waktu untuk keluarga. Apalah arti satu jabatan kalau harus
me ngorbankan kepentingan
dan waktu bersama anak-anak.
Bukankah dalam mencapai satu ambisi, kita sering terisolasi,
tersisih dan terpisah dari keluarga?. Dalam memperjuangkan kepentingan
diri sendiri.kita sering di tinggal pergi?.
Lalu saya
cari akal, bagaimana supaya
banyak waktu bisa bersama
keluarga. Bermacam-macam acara saya adakan. Antara lain saya
beli meja pimpong. Kami main bersama, kami ketawa bersama, dan saya sering menjadi juru kunci. Ternyata
anak-anak jauh lebih gesit dan lebih
pintar. Dan merekapun bangga dapat mengalahkan papanya. Jam
berapapun saya pulang praktek,
kalau anak-anak mengajak makan
bersama, kami selalu pergi, walaupun hanya sekedar makan mie
so. Rupanya sikap saya yang
berubah, ingin bersama mereka selalu membuahkan hasil yang
bukan main. Kami akrab, kami
membikin teka teki, kami berceritra kak
kancil, saat-saat yang bahagia
bersama keluarga.
Hampir
saja saya terlupa dan hampir saja saya hanyut
mementingkan diri sendiri. Hampir saja saya tidak adil, tidak
adil pada diri, tidak adil pada
keluarga, tidak adil pada anak-anak. Untung
belum terlambat, dalam hidup ini rupanya harus ada keseimbangan, seimbang dalam segala hal, kalau tidak akan
jadi penyakit. Pada hakekatnya penyakit
yang terjadi adalah karena ketidak
seimbangan. Tidak seimbang antara yang masuk dan yang keluar.
Tidak seimbang antara jasmani dan
rohani. Tidak seimbang dalam metabolisme, tidak seimbang dalam
segala hal.
Adat minangpun sangat mengutamakan
keseimbangan ini, suksesnya
seseorang juga karena keseimbangan yang bisa di jaganya. Dalam mencapai
dan mengejar sesuatu juga harus seimbang, alangkah manisnya satu ungkapan
minang "Lamak di awak, katuju dek urang"
Dan
Al-qur'anpun sangat mengutamakan ke seimbangan, lihatlah ternyata jumlah
kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur'anpun sangat seimbang, menandakan Tuhan
berpesan agar kita jangan berat sebelah,
harus adil. Marilah kita simak, keseimbangan kata dalam Al-Qur'an
yang sangat unik, misalnya Kata "panas" dalam
Al-Qur'an disebut 4 kali, lawannya "dingin" ternyata
juga 4
kali. Kata "Malaikat"
di sebut 88 kali. Lawannya "setan" juga 88 kali. Kata "dunia" di sebut 115 kali dan lawannya
"akhirat" juga 115 kali.
"Hidup" disebut 125 kali, lawannya "mati" juga 125 kali.
Dan do'a
sapu jagat yang sering kita hafal ialah : Ya
Allah berilah kami kesenangan didunia dan kesenangan di akhirat, serta jauhilah diri kami dan keluarga kami
dari siksaan api neraka. Ini adalah do'a kesimbangan. Seimbang dunia dan
akhirat.
Untuk itu saya teringat akan sebuah Firman suci_Nya
dalam Al-Qur'an surat Al-Mulk ayat 3 :"Yang telah menciptakan
tujuh langit berlapis-lapis. Kamu
sekali-kali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan sesuatu yang tidak
seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang,
adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?.
Dan Surat Al
Infithaar ayat 7 :"Yang telah menciptakan
kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikan (susunan
tubuh)mu seimbang".
P a d a n g 18 Mai
1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar