Senin, 07 Oktober 2013

AMBISI



Oleh : Dr.H.K.Suheimi 

            Ketika  mahasiswa saya berambisi jadi anggota senat,  karena saya  lihat mereka terhormat dapat kursi dan  tanda  tangannyapun mahal, di pundak dan didanya ada selempang. Jika ada  acara-acara resmi Fakultas, duduknya dideretan depan pada kursi yang telah di sediakan.  Bermacam-macam  langkah  yang  saya  jalankan,  hingga akhirnya  bisa  menjadi anggota senat. Kemudian saya  ber  ambisi pula  menjadi  ketua plonco, karena  sebagai  ketua,  kekuasannya besar  dan  kata-katanya di dengar dan  dituruti.  Bermacam  pula usaha  saya  kearah  itu akhirnya bisa pula  jadi  ketua  panitia perploncoan. Kemudian saya berambisi pula ingin jadi ketua  dewan perwakilan  Mahasiswa,akhirnya inipun terwujud. Rupanya  penyakit ambisi  ini tidak habis-habisnya, sampai saat-saat terakhir  ini. Ambisi ingin terkenal, ambisi igin di hargai, ambisi dapat menduduki  tempat yang terhornmat. Dikampung ingin jadi ketua  RT,  Di Mesjid  ingin jadi ketua mesjid, supaya tenar dan  ternama  ingin memberi  ceramah  di mana-mana. Tidak peduli  siang  atau  malam, bahkan sering memberi ceramah itu di hari minggu dan hari  libur, dalam  kota  atau luar kota. Setiap selesai memberi  ceramah  ada rasa  bangga, rasa puas dan bakatpun tersalur. Pada awalnya  saya berdalih,  untuk masyarakat, demi masyarakat. Tapi  setelah  saya renung-renungkan,  sebetulnya  disamping untuk  masyarakat,  juga adalah  untuk kepentingan diri sendiri, ingin ternama  dan  ingin terkenal. Tapi sayang untuk mencapai ambisi dan mendapatkan  yang di  ingini itu, saya menghabiskan waktu yang sangat banyak.  Persiapan mencari bahan yang akan di ceramahkan, mencari buku kesana dan kesini. Membaca ini  dan membaca itu. Kemudian pergi lagi  ke tempat ceramah yang kadang-kadang memakan waktu berjam-jam. Waktu yang  saya  korbankan untuk mencapai satu ambisi  sangat  banyak. Akibatnya  fikiran,  seluruh daya dan upaya  saya  tercurah  pada ambisi  yang akan saya capai. Konsentrasi saya  terpusat  kesana. Sampai  pada  satu hari, di hari minggu,  sepulang  memberi  satu ceramah  saya tanya anak saya yang sulung Irham, kok  tidak  kelihatan. Lalu  saya  dapat jawaban bahwa Irham pergi kamping. Tadi  saya  di tunggu-tunggunya  untuk minta izin pergi, tapi saya  tak  pulang-pulang, lantas anak saya pergi saja bersama teman-temannya.  Anak saya pergi kamping saya tak tahu, dia ingin minta izin tapi  saya tak  punya  waktu  dan bertemu dengannya. Oh  demikian  jauh  dan demikian jarakkah saya dengannya?. Saya terperangah dan menyesali diri,  kenapa waktu saya habis melayani orang lain,  sedang  anak yang  mungkin  minta nasehat, mungkin minta  perbekalan,  mungkin minta pandangan tentang kamping, mungkin sangat membutuhkan saya, tidak sempat ketemu dengan saya.
            Dalam  renungan,  saya menghitung-hitung berapa  waktu  yang saya berikan untuk anak-anak dan keluarga, dan berapa pula  waktu yang  saya gunakan untuk kepentingan masyarakat atau  kepentingan dan kepuasan saya sendiri?. Saya coba menghitung-hitung, ternyata saya  tidak  adil, waktu saya banyak di  habiskan  bersama  orang lain, melayani orang, mengobati orang, mengoperasi orang, memberi ceramah orang. Dan sangat sedikit waktu yang saya tumpahkan untuk anak, istri dan famili lainnya. Setelah saya hitung-hitung lantas saya  terpana, ternyata waktu saya banyak di habiskan untuk  memburu  dan  mencapai ambisi-ambisi. Memang yang saya  idamkan  dan inginkan itu dapat di capai, tetapi sesudah tercapai,  what  Next ?,lalu  apa lagi?. Korban sudah terlalu banyak dan  yang  menjadi korbanpun,  kadang-kadang diri sendiri, tidak jarang  orang  yang paling terdekat dengan kita yang jadi korban ambisi-ambisi pribadi.  Yang  namanya manusia tetap tidak puas-puasnya,  dapat  yang satu  kepingin  yang  lain. Tapi saya rasakan saya  banyak  rugi, anak-anak  kalau  mau  pergi kemana, dia tidak  minta  izin  lagi karena saya selalu saja sedang kerja. Pekerjaan Rumah mereka yang biasa  saya  kontrol,  sekarang tidak lagi,  karena  ketika  saya pulang praktek mereka sudah tertidur. Di hari-hari saya di rumah, anak-anak pula yang pergi Les. Di hari libur yang seharusnya kami bisa berkumpul, saya di jemput pula untuk memberi ceramah  kesana dan  kemari. Lantas kapan kami bisa bersama seperti  dulu  lagi?, ketika saya belum menjadi orang penting seperti sekarang.  Ketika ambisi saya belum tercapai seperti saat ini.
            Saya  tidak  adil, saya berat sebelah, saya  terlalu  egois, mementingkan  diri sendiri dan kebutuhan sendiri, sehingga  sering menyendiri,  berfikir, membaca dan berangan-angan ingin jadi  ini dan ingin jadi itu. Akibat saya menyisihkan diri dari  anak-anak, akhirnya  saya  tersisih, saya terpisah,  tidak  dapat  mengikuti kegiatan anak-anak dan tidak dapat membantu memecahkan  pekerjaan rumahnya.  Anak-anak  sering  memberi saya  gelar  "Jarum  Super" Jarang  dirumah  Suka pergi.
            Memang saya lihat, semakin penting seseorang semakin  tinggi jabatannya,  semakin  besar mejanya, semakin besar  kamarnya  dan semakin  sendirian dia dalam kamar yang besar itu, serta  semakin sepi  dan  sunyilah  dia karena mulai  terisolasi  dan  tersisih. Semakin susah menemuinya dan semakin sedikit kawannya. Dipuncaknya,  tinggalah  lagi dia sendiri di balut  sepi.  Semakin  rendah seseorang semakin kecil mejanya, semakin banyak temannya.
            Penyakit  sepi sendiri inilah yang sering dialami oleh  top-top  manager,  orang-orang yang di puncak  dan  orang-orang  yang berada  di  pucuk pimpinan. Lalu timbul takut saya  meng  ayunkan langkah ke puncak yang tertinggi itu. Sekarang saja saya mulai di tinggalkan anak, dia pergi kamping tanpa sepengetahuan saya. Saya harus  banting  stir saya harus merubah sikap,  saya  harus  adil membagi waktu, waktu untuk diri sendiri, waktu untuk keluarga dan waktu  untuk  orang banyak harus seimbang. Jadi saya  harus  bisa menahan diri untuk mencapai keinginan dan memenuhi  ambisi-ambisi pribadi. Apalah artinya sebuah ke tenaran kalau sampai tidak  ada waktu  untuk  keluarga. Apalah arti satu jabatan kalau  harus  me    ngorbankan  kepentingan  dan waktu  bersama  anak-anak.  Bukankah dalam mencapai satu ambisi, kita sering terisolasi, tersisih  dan terpisah  dari keluarga?. Dalam memperjuangkan  kepentingan  diri sendiri.kita sering di tinggal pergi?.
            Lalu  saya  cari akal, bagaimana supaya  banyak  waktu  bisa bersama  keluarga. Bermacam-macam acara saya adakan. Antara  lain saya  beli meja pimpong. Kami main bersama, kami ketawa  bersama, dan saya sering menjadi juru kunci. Ternyata anak-anak jauh lebih gesit  dan lebih pintar. Dan merekapun bangga  dapat  mengalahkan papanya.  Jam  berapapun  saya pulang  praktek,  kalau  anak-anak mengajak makan bersama, kami selalu pergi, walaupun hanya sekedar makan  mie  so. Rupanya sikap saya yang  berubah,  ingin  bersama mereka selalu membuahkan hasil yang bukan main. Kami akrab,  kami membikin  teka teki, kami berceritra kak kancil,  saat-saat  yang bahagia  bersama  keluarga.
            Hampir saja saya terlupa dan hampir saja saya hanyut  mementingkan  diri  sendiri. Hampir saja saya tidak adil,  tidak  adil pada  diri, tidak adil pada keluarga, tidak adil pada  anak-anak. Untung belum terlambat, dalam hidup ini rupanya harus ada keseimbangan,  seimbang dalam segala hal, kalau tidak akan jadi  penyakit. Pada hakekatnya penyakit yang terjadi adalah karena  ketidak seimbangan.  Tidak  seimbang antara yang masuk dan  yang  keluar. Tidak  seimbang antara jasmani dan rohani. Tidak  seimbang  dalam metabolisme, tidak seimbang dalam segala hal.
            Adat  minangpun sangat mengutamakan keseimbangan  ini,  suksesnya  seseorang juga karena keseimbangan yang bisa di  jaganya. Dalam mencapai dan mengejar sesuatu juga harus seimbang, alangkah manisnya satu ungkapan minang "Lamak di awak, katuju dek urang"
            Dan Al-qur'anpun sangat mengutamakan ke seimbangan, lihatlah ternyata jumlah kata-kata yang terdapat dalam Al-Qur'anpun sangat seimbang, menandakan Tuhan berpesan agar kita jangan berat  sebelah, harus adil. Marilah kita simak, keseimbangan kata dalam  Al-Qur'an  yang sangat unik, misalnya Kata "panas"  dalam  Al-Qur'an disebut  4  kali, lawannya "dingin" ternyata juga  4  kali.  Kata "Malaikat" di sebut 88 kali. Lawannya "setan" juga 88 kali.  Kata "dunia"  di sebut 115 kali dan lawannya "akhirat" juga 115  kali. "Hidup" disebut 125 kali, lawannya "mati" juga 125 kali.
            Dan do'a sapu jagat yang sering kita hafal ialah : Ya  Allah berilah kami kesenangan didunia dan kesenangan di akhirat,  serta jauhilah diri kami dan keluarga kami dari siksaan api neraka. Ini adalah do'a kesimbangan. Seimbang dunia dan akhirat.
            Untuk  itu saya teringat akan sebuah Firman  suci_Nya  dalam Al-Qur'an  surat  Al-Mulk ayat 3 :"Yang telah  menciptakan  tujuh langit  berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada  ciptaan  Tuhan sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah  berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?.
            Dan Surat Al Infithaar ayat 7 :"Yang telah menciptakan  kamu lalu  menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan  tubuh)mu seimbang".


P a d a n g   18 Mai 1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar