Oleh :
Dr.H.K.Suheimi
Katakanlah sesuatu dengan
"bunga", kata sebuah ungkapan. Bebahasalah dengan
"bahasa bunga" kata ungkapan yang lain; Ungkapkanlah
sesuatu dengan bunga, begitu pesan sponsor. Bunga digunakan
untuk mengungkapkan perasaan, perasaan sedih dan duka, perasaan
gembira, rasa syukur, rasa cinta dan banyak lagi rasa-rasa
yang lain. Demikian menularnya bahasa bunga ini, sehingga
biarpun bunga itu mahal harganya tidak menjadikan halangan untuk
menyampaikan rasa. Rasa cinta diungkapkan dengan
memberikan sekuntum bunga, rasa duka, di rumah duka dan di pusara duka
juga di taburkan bunga. "Harum bungamu di pusaraku, menyampaikan
rasa cintamu" lirik sebuah lagu. Waktu peresmian sebuah
toko, waktu pelantikan dan wisuda di penuhi oleh karangan bunga.
Warna bunga pun menunjukkan dan melambangkan suasana saat itu. Berbeda
warna bunga di pusara dengan bunga di tempat pesta, dan juga
berbeda
warnanya waktu
orang bezoek, menjenguk dan menyilau orang sakit.
Demikian membudayanya bahasa bunga,
sehingga tidak ada kesempatan yang di lewatkan begitu saja tanpa kuntum-kuntum
bunga, sehingga bungapun di karnavalkan dan di pawaikan, di jadikan
pameran dimana-mana. Bunga juga di pakai sebagai lambang untuk pamer dan jadi
ukuran, apakah suatu pesta itu meriah atau tidak, di hitung dari
banyaknya karangan bunga yang di terima, sebagai
pelambang, seseorang terkenal dan ternama, di nilai dari banyaknya
karangan bunga yang di perolehnya. Demikianlah bunga masuk
kemana-mana, mulai dari kuburan sampai ke tempat-tempat elite di
penuhi oleh bunga.
Cuma yang namanya dunia, selalu saja
ungkapan-ungkapan itu di sampaikan secara berlebih-lebihan dan
pamer yang bukan main, melampaui batas. Satu kali saya
menyaksikan suatu acara peresmian, tidak tanggung-tanggung
banyaknya karangan bunga, hampir penuh ruangan olehnya, bahkan
melimpah memenuhi pekarangan gedung itu. Semua mata kagum dan
terpesona menyaksikan demikian banyaknya karangan bunga dan
besar-besarnya karangan bunga itu. Tapi didalam hati saya
mulai mereka-reka dan menghitung-hitung, berapa uang yang
habis untuk semua karangan bunga itu?. Satu karangan bunga saja
harganya ratusan ribu rupiah, dan untuk sekian banyak
karangan bunga, berapa juta uangnya?. Tidak tanggung-tanggung
mahalnya, yang hanya berguna dan di perlukan untuk sehari itu saja.
Habis alek, orangpun pergi, tinggallah si tuan rumah mengemasi
bunga-bunga dan sampah-sampah.
Esoknya bunga itupun layu, tidak ada lagi bau semerbak di
ruangan itu, berobah menjadi bau yang pahit dan menyenak hidung, kalau
tidak segera di musnahkan dan di buang dia akan mendatangkan
penyakit, maka di upahkan pulalah orang untuk membuang
bunga-bunga yang layu itu. Tambah lagi biaya dan dana. Lalu
saya tercenung, apakah itu bukan penghamburan dana yang
sia-sia? apakah semua itu bukan sesuatu yang mubazir?. Ah
andaikan uang dan dana yang sebesar itu di himpun lalu di serahkan pada
seseorang yang membutuhkan, atau dengan dana yang sedemikian besar
dapat membuka satu lahan dan lapangan kerja baru bagi rakyat
kecil yang sudah payah melarat hidupnya dan terlunta-lunta.
Diwaktu saya menyaksikan demikian
banyaknya karangan bunga,
saat itu pula
saya teringat akan seorang anak kecil yang namanya Syahrul. Syahrul
pelajar kelas 5 SD Paguh. Paguh itu 2,5 km dari Kurai Taji
Pariaman. Setiap hari sepulang sekolah dengan rajin dia
mengumpulkan lidi dari daun-daun kelapa yang jatuh. Lidi-lidi itu di rautnya dan
di rajutnya dengan rotan yang di belikan ibu, lalu jadilah dia sapu lidi.
Dalam sehari dia bekerja tidak begitu
banyak
sapu lidi yang siap. Setelah siap sapu lidi itu di junjungnya
dan di bawanya ke Padang. Saya ketemu dengannya sewaktu dia
menjunjung sapu lidi, hasil penjualan sapu lidi selama enam bulan
ini akan dibelikannya sepatu baru untuk ke sekolah, karena sepatu lama
sudah menganga tapaknya. Waktu saya tanya harga sapu lidi itu
sebuah Rp 250,-. Jadi hasil bersih dari membuat sapu lidi
itu, syahrul mendapat ke untungan Rp 100,-. Ah
andaikan sebuah karangan bunga di peruntukkan bagi Syarul, sebagai
hadiah kerajinan dan ketekunannya membuat dan
menjojokan sapu lidi, betapa terbelalak dan
bersyukurnya dia, karena satu karangan bunga itu
harganya ratusan ribu rupiah, taroklah harga sebuah karangan
bunga itu Rp 250.000,-. Bagi Syahrul artinya itu adalah sapu lidi
sebanyak 2500 buah. Mungkin kalau di kumpulkan itu
adalah hasil titik peluh sekampung orang di kampung Syahrul.
Sayapun teringat akan Syahrul, sewaktu
berada di Singapura, di traktir oleh seorang teman makan di
sebuah restoran mewah. Waktu dia membayar saya intip,
makan malam kami itu harganya lebih dari Rp 300.000,-.
Oh uang yang sebanyak itu ludes hanya dalam semalam sekali
makan di restoran mewah. Berati kami telah menghabiskan dalam semalam
3000 (tiga ribu buah) keuntungan sapu lidi Syahrul. Bagi orang berduit,
uang sebanyak itu mungkin tidak berarti apa-apa, tapi bagi Syahrul
mungkin bisa di permodalnya dan dapat membantu
kehidupannya se umur-umur. Kadang-kadang didiri saya
timbul rasa penyesalan memakan dan menghamburkan uang yang demikian
banyak yang hanya habis dalam sekejap, sedangkan bagi orang lain,
itu bukan main nilainya.
Banyak sekali kepincangan-kepincangan
yang terjadi di bumi tempat kita ber mukim ini. Yang kenyang sudah mau
muntah, tambah di suguhi makanan yang luar biasa
banyaknya, sebaliknya yang kelaparan, merintih
menanggung sakit, dijauhi, di hina dan di caci. Pada hal menurut
Tuhan "beri makanlah orang-orang kelaparan dan bantulah orang-orang
miskin, lepaskanlah orang dari kesulitan dan penderitaannya".
Untuk semua itu saya teringat akan
sebuah Firman suci_Nya dalam surat Al_Balad ayat
10-16:
"Dan
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.Tetapi dia tiada
menempuh jalan mendaki lagi sukar.Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi
sukar itu?.Yaitu kamu melepaskan orang dari kesulitan dan beban-beban
yang menimpa, melepaskan budak dari perbudakkannya.Atau memberi makan di
hari kelaparan Kepada anak Yatim yang ada hubungan kerabat.Atau orang miskin
yang sangat fakir”.
P a d a n g 20
Maret 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar