Kamis, 10 Oktober 2013

KARANGAN BUNGA



Oleh : Dr.H.K.Suheimi

      Katakanlah  sesuatu  dengan "bunga", kata  sebuah  ungkapan. Bebahasalah  dengan "bahasa bunga" kata ungkapan yang  lain;  Ungkapkanlah  sesuatu dengan bunga, begitu pesan  sponsor.  Bunga digunakan untuk mengungkapkan perasaan, perasaan sedih dan  duka, perasaan  gembira, rasa syukur, rasa cinta dan banyak lagi  rasa-rasa  yang lain. Demikian menularnya bahasa bunga  ini,  sehingga biarpun bunga itu mahal harganya tidak menjadikan halangan  untuk menyampaikan  rasa.  Rasa  cinta  diungkapkan  dengan  memberikan sekuntum bunga, rasa duka, di rumah duka dan di pusara duka  juga di taburkan bunga. "Harum bungamu di pusaraku, menyampaikan  rasa cintamu"  lirik sebuah lagu. Waktu peresmian sebuah  toko,  waktu pelantikan dan wisuda di penuhi oleh karangan bunga. Warna bunga pun menunjukkan dan melambangkan suasana saat itu. Berbeda  warna bunga  di pusara dengan bunga di tempat pesta, dan  juga  berbeda
warnanya waktu orang bezoek, menjenguk dan menyilau orang  sakit.
      Demikian membudayanya bahasa bunga, sehingga tidak ada kesempatan yang di lewatkan begitu saja tanpa kuntum-kuntum bunga,  sehingga bungapun di karnavalkan dan di pawaikan, di jadikan pameran dimana-mana. Bunga juga di pakai sebagai lambang untuk pamer dan jadi ukuran, apakah suatu pesta itu meriah atau tidak, di hitung  dari banyaknya  karangan  bunga  yang di  terima,  sebagai  pelambang, seseorang terkenal dan ternama, di nilai dari banyaknya  karangan bunga  yang di perolehnya. Demikianlah bunga  masuk  kemana-mana, mulai  dari kuburan sampai ke tempat-tempat elite di penuhi  oleh bunga.
      Cuma  yang namanya dunia, selalu saja ungkapan-ungkapan  itu di  sampaikan secara berlebih-lebihan dan pamer yang bukan  main, melampaui batas. Satu  kali  saya menyaksikan suatu  acara  peresmian,  tidak tanggung-tanggung banyaknya karangan bunga, hampir penuh  ruangan olehnya,  bahkan melimpah memenuhi pekarangan gedung  itu.  Semua mata kagum dan terpesona menyaksikan demikian banyaknya  karangan bunga  dan besar-besarnya karangan bunga itu. Tapi  didalam  hati saya  mulai mereka-reka dan menghitung-hitung, berapa  uang  yang habis  untuk semua karangan bunga itu?. Satu karangan bunga  saja harganya  ratusan ribu rupiah, dan untuk sekian  banyak  karangan bunga,  berapa juta uangnya?. Tidak  tanggung-tanggung  mahalnya, yang  hanya berguna dan di perlukan untuk sehari itu saja.  Habis alek,  orangpun pergi, tinggallah si tuan rumah mengemasi  bunga-bunga  dan sampah-sampah.  Esoknya bunga itupun layu,  tidak  ada lagi bau semerbak di ruangan itu, berobah menjadi bau yang  pahit dan menyenak hidung, kalau tidak segera di musnahkan dan di buang dia  akan  mendatangkan penyakit, maka di upahkan  pulalah  orang untuk  membuang bunga-bunga yang layu itu. Tambah lagi biaya  dan dana.  Lalu  saya tercenung, apakah itu bukan  penghamburan  dana yang  sia-sia? apakah semua itu bukan sesuatu yang  mubazir?.  Ah andaikan uang dan dana yang sebesar itu di himpun lalu di  serahkan pada seseorang yang membutuhkan, atau dengan dana yang  sedemikian  besar  dapat membuka satu lahan dan lapangan  kerja  baru bagi rakyat kecil yang sudah payah melarat hidupnya dan terlunta-lunta.
      Diwaktu saya menyaksikan demikian banyaknya karangan  bunga,
saat itu pula saya teringat akan seorang anak kecil yang  namanya Syahrul. Syahrul pelajar kelas 5 SD Paguh. Paguh itu 2,5 km  dari Kurai  Taji Pariaman. Setiap hari sepulang sekolah  dengan  rajin dia mengumpulkan lidi dari daun-daun kelapa yang jatuh. Lidi-lidi itu di rautnya dan di rajutnya dengan rotan yang di belikan  ibu, lalu jadilah dia sapu lidi. Dalam sehari dia bekerja tidak begitu
banyak  sapu lidi yang siap. Setelah siap sapu lidi itu  di  junjungnya  dan di bawanya ke Padang. Saya ketemu dengannya  sewaktu dia  menjunjung sapu lidi, hasil penjualan sapu lidi selama  enam bulan ini akan dibelikannya sepatu baru untuk ke sekolah,  karena sepatu lama sudah menganga tapaknya. Waktu saya tanya harga  sapu lidi  itu  sebuah Rp 250,-. Jadi hasil bersih dari  membuat  sapu lidi  itu,  syahrul mendapat ke untungan Rp  100,-.  Ah  andaikan sebuah karangan bunga di peruntukkan bagi Syarul, sebagai  hadiah kerajinan  dan  ketekunannya membuat dan  menjojokan  sapu  lidi, betapa  terbelalak  dan bersyukurnya dia,  karena  satu  karangan bunga  itu  harganya ratusan ribu rupiah, taroklah  harga  sebuah karangan bunga itu Rp 250.000,-. Bagi Syahrul artinya itu  adalah sapu  lidi  sebanyak 2500 buah. Mungkin kalau  di  kumpulkan  itu adalah hasil titik peluh sekampung orang di kampung Syahrul.
      Sayapun teringat akan Syahrul, sewaktu berada di  Singapura, di  traktir  oleh seorang teman makan di sebuah  restoran  mewah. Waktu  dia  membayar saya intip, makan malam  kami  itu  harganya lebih  dari Rp 300.000,-. Oh uang yang sebanyak itu  ludes  hanya dalam  semalam sekali makan di restoran mewah. Berati kami  telah menghabiskan dalam semalam 3000 (tiga ribu buah) keuntungan  sapu lidi Syahrul. Bagi orang berduit, uang sebanyak itu mungkin tidak berarti  apa-apa, tapi bagi Syahrul mungkin bisa  di  permodalnya dan  dapat  membantu  kehidupannya  se  umur-umur.  Kadang-kadang didiri saya timbul rasa penyesalan memakan dan menghamburkan uang yang  demikian banyak yang hanya habis dalam  sekejap,  sedangkan bagi orang lain, itu bukan main nilainya.     
      Banyak  sekali kepincangan-kepincangan yang terjadi di  bumi tempat kita ber mukim ini. Yang kenyang sudah mau muntah,  tambah di  suguhi  makanan yang luar biasa  banyaknya,  sebaliknya  yang kelaparan,  merintih  menanggung sakit, dijauhi, di hina  dan  di caci. Pada hal menurut Tuhan "beri makanlah orang-orang kelaparan dan bantulah orang-orang miskin, lepaskanlah orang dari kesulitan dan penderitaannya".
      Untuk  semua itu saya teringat akan sebuah  Firman  suci_Nya dalam  surat  Al_Balad  ayat 10-16:
"Dan  Kami  telah  menunjukkan kepadanya dua jalan.Tetapi dia tiada menempuh jalan mendaki lagi sukar.Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?.Yaitu  kamu melepaskan orang dari kesulitan dan beban-beban  yang menimpa, melepaskan budak dari perbudakkannya.Atau memberi makan di hari kelaparan Kepada anak Yatim yang ada hubungan kerabat.Atau orang miskin yang sangat fakir”.


P a d a n g    20 Maret 1993






Tidak ada komentar:

Posting Komentar