Oleh : dr.H.K. Suheimi
Cukup lama pesawat berputar-putar menembus
awan hitam, lebih kurang 20 menit. Selama itu pula di dalam pesawat yang jumlah penumpangnya kira-kira
300 orang itu, tidak terdengar
yang berbicara, semua diam, semua bisu, setiap wajah tampak
tegang. Pada saat seperti itu, terdengar anak kecil yang berciloteh dan kemudian dia bernyanyi. Dia
berciloteh dan dia bernyanyi karena dia
tidak menyadari dan tidak tahu apa yang sedang
terjadi. Mungkin goncangan pada
pesawat dianggapnya suatu kesenangan
tersendiri, seperti dalam buaian. Maka
anak itu
senang, lalu dia pun bernyanyi.
Kemudian saya perhatikan pula awak pesawat
dan pramugarinya. Mereka kelihatan
tenang-tenang saja. Mereka bisa
tenang karena mereka telah terlalu sering mengalami peristiwa
seperti itu, dan mereka yakin bahwa sang pilot akan berhasil
mendaratkan pesawat dengan baik. Seperti
waktu itu, setelah berputar-putar selama
20 menit, akhirnya pesawat mendarat dengan mulus.
Dengan memakai peralatan komputer yang canggih, pesawat dengan
mudah mendarat. Dan semua penumpang memancarkan rasa
syukur. Dari samping saya terdengar ucapan Alhamdulillah dari
mulut isteri saya. Saya pegang
tangannya, masih saja dingin dan
berkeringat. Memang dia berkeringat dingin karena kecemasan.
Peristiwa
itu menimbulkan kesan tersendiri bagi saya. Lalu 'iktibar apa yang dapat dipetik
dari peristiwa ini? Anak kecil yang
tidak mengerti dan tidak tahu apa-apa
dan tidak memikirkan yang
bukan-bukan, hatinya tetap aman dan tenteram,
goncangan pada pesawat dianggapnya sebagai mainan, dianggapnya seperti berada di atas buaian,
dia tidak tahu apa itu awan hitam dan
dia juga tidak mengerti
bahaya yang dapat
terjadi akibat awan hitam. Awak pesawat, pramugari serta pilot, kelihatan
tenang-tenang saja. Karena pengalaman mengajarkan kepadanya, bahwa
hal itu dapat diselesaikan, dan pendaratan dapat dilakukan.
Pilot punya kepercayaan diri yang kuat,
dia yakin dia bisa mengatasi kesulitan
itu, dan memang dia berhasil.
Yang
cemas hanya penumpang, cemas dan takut
karena mereka membayangkan kemungkinan-kemungkinan jelek
yang akan terjadi. Padahal dalam
hidup ini sering kita
menemukan apa yang
kita takutkan itu, namun
kenyataannya, apa yang terjadi tidak seperti yang kita bayangkan semula. Bayangan terhadap ketakutan itulah yang
menghantui serta menimbulkan cemas dan khawatir.
Dalam
suasana seperti itu, sebetulnya untuk
apa khawatir, untuk apa cemas? Apa gunanya cemas, serta
perlukah cemas itu? Dapatkah kecemasan dan kekhawatiran itu
menolong kita? Bukankah kita dalam pesawat itu telah mempercayakan
diri kepada pilot? Pilot
dengan segala pengalaman dan kemampuannya tentu akan berhasil mengatasi
masalah yang dihadapinya. Orang yang sedang
dalam ketakutan dan kecemasan
sering menjadi panik dan melakukan gerakan dan tindakan yang tidak
perlu. Gerakan dan tindakan atau
perbuatan yang tidak perlu ini sering memperburuk keadaan dan menyusahkan pilot yang sedang berjuang dalam
mengambil keputusan. Di dalam pesawat,
yang jadi pemimpin dan memutuskan sesuatu terletak di tangan pilot.
Berdasarkan pengalaman dan
kepercayaan yang diberikan kepadanya,
maka keselamatan penumpang
terletak pada keputusan yang
diambil sang pilot.
Di saat
pesawat memasuki awan hitam, kita sebagai penumpang memang tidak
dapat berbuat apa-apa dan
tidak boleh melakukan tindakan dan gerakan apa-apa. Semua harus duduk di
tempat dengan tenang, jangan
membikin keributan. Tegakkan
sandaran kursi, pasang ikat
pinggang, perhatikan instruksi-instruksi yang diberikan pilot.
Tidak perlu melakukan
tindakan dan perbuatan yang
mungkin akan merugikan orang lain atau diri sendiri. Agaknya juga tidak perlu cemas dan khawatir,
karena kecemasan dan kekhawatiran itu tidak menolong sama sekali, apalagi
kecemasan yang berlebihan, karena kita tidak tahu dan tidak mengerti. Agaknya
perlu dicontoh sikap anak kecil yang masih bisa tenang dan
bernyanyi, atau ditiru sikap pramugari
yang masih tersenyum dalam
suasana demikian.
Menghadapi
peristiwa itu, saya hanya bermohon
dan berdoa, seperti yang
diajarkan Rasulullah: “Ya
Allah, beri kami kekuatan
untuk dapat mengubah apa yang bisa kami ubah dan
beri kami ketabahan untuk dapat menerima apa yang tidak
bisa kami ubah.”
“Dalam
hubungan anatomi antara otak dan tubuh yang baru ditemukan, yang menghubungkan
keadaan mental kita dengan kesehtan fisik, pusat-pusat emosi memainkan peran
yang penting, terutama melalui jaringan penghubung yang sangat kompleks baik ke
sistem kekebalan tubuh maupun sistem kardiovaskuler. Hubungan biologis ini
menjelaskan mengapa perasaan-perasaan yang menekan – sedih, frustasi, marah,
tegang, cemas berlebihan – melipat gandakan resiko penyakit jantung untuk
mengalami berkurangnya aliran darah ke jantung sampai ke tingkat yang membahayakan
selama ia mengidap perasaan-perasaan tersebut. Berkurangnya aliran darah ini
kadang-kadang dapat memicu serangan jantung.
Saat kelelahan dan ketegangan otot meningkat, misalnya,
banyak diantara kita yang akan terjebak dalam suasana hati yang tidak
menyenangkn, sehingga kita kehilangan semangat dan keuletan. Anda tentu pernah
merasakan yang berikut ini : Masalah kecil terasa sebagai hambatan besar ;
penundaan semenit tersa seperti satu jam; komentar main-main terasa bagai
celaan yang menyakitkan hati.
Entah disadari atau tidak, perubahan suasana hati dapat
mendorong kita mengambil tindakan untuk mengatur atau mengubahnya. Dengan
suasana hati yang memburuk, kita mungkin terasa terdorong untuk mencari seorang
teman, mencari sesuatu untuk dimakan, menyesap soda atau secangkir kopi, atau
pergi berjalan-jalan. Ketika anda merasa lelah atau merasa tertekan, misalnya,
anda meraa sulit membedakan apa yang dirasakan oleh tubuh anda (lesu, lapar,
letih, ingin istirahat) dengan apa yang dirasakan oleh pikiran (gelisah,
bingung) dan emosi anda (frustasi, tidak sabar, cemas, enggan).
Kecemasan yang biasa dihadapi setiap kali menghadapi tugas
yang menantang dipandang sebagai penegasan atas ketidakmampuan mereka, dan ini
pada gilirannya. Menurut Steel, walaupun mereka mempunyai potensi untuk
berprestasi dengan baik, kecemasan yang dipicu oleh informasi stereotip yang
negaif terbukti merusak kinerja mereka.
Lalu
saya teringat buku esq karangan pak ary gibajar tentang kepasrahan
Ibadah
qurban melambangkan tingkat kepasrahan/berserah diri tertinggi hanya kepada
Allah dengan segala keikhlasan jiwa dan raga, sekaligus melatih melepaskan
berhala-berhala yang mungkin telah kita sembah selain Allah Yang Maha Esa,
disadari atau tanpa disadari. Kita tidak mempersembahkan hewan qurban kepada
Allah Yang maha Kaya itu, tetapi justru untuk membebaskan diri dari
belenggu-belenggu yang telah membuat kita lupa dengan prinsip tunggal kita
yaitu Allah Yang maha Esa. Menyembah sesuatu yang sangat kita cintai, seperti
kedudukan, uang, harta, nama, keluarga, atau anak, membuat iman kita goyah.
Qurban,
bukan berarti Allah melarang kita mencintai anak-anak atau harta kita. Bukankah
semua itu fana dan akan hilang? Marilah kita berpikir sejenak. Apabila terlalu
mencintai hal itu secara berlebihan, bahkan melebihi cinta kepada Allah Yang
Maha Esa, maka ketika semua itu hilang, anda akan kehilangan pegangan. Allah
Maha Tahu. ‘Idul Qurban justru merupakan perwujudan sifat Allah Yang Maha
Melindungi Batin.
Ketahuilah bahw akekayaanmu dan anak-anakmu hanyalah ujian (bagimu) Dan bahwa Allah, pada-Nyalah pahala yang besar
Qurban
adalah suatu pelatihan untuk mengembalikan diri kita kepada fitrah diri, yaitu
Star Principle. Monotheisme, hanya menyembah dan berprinsip kepada Allah Yang
Maha Tunggal, tidak ada yang lain. Laa Ilaaha Illallah.
… “Sungguh, kita
adalah milik Allah, dan kepada-Nya kita kembali”
.
IV.2.h. Ka’bah Sebagai Pusat Jiwa
Akhirnya sampailah kita pada akhir
sebuah perjalanan, untuk datang melihat dan membuktikan bahwa akhir dari semua
ini adalah untuk tiba di suatu tempat untuk pertama kalinya. Di pusat dari
seluruh jiwa manuisa. Pusat yang menarik seluruh jiwa, sebuah energi dahsyat
tak terperi, cahaya diatas cahaya. Kita bukanlah diri kita. Kita bukanlah
manusia. Kita adalah makhluk spiritual yang menjelma menjadi manusia, yang pada
akhirnya kita akan kembali menuju dimensi suci, mistis, penuh kedamaian.
Wahai jiwa yang tenang …. Wahai
belahan jiwa. Kembalilah engkau kepada-Nya dengan jiwa yang penuh kedamaian. Ia
sangat mencintaimu. Ia sangat merindukanmu bagai buluh perindu …
Laa mahbuba ila huwa Allah …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar